Share

Rama Lelaki Romantis

"Keluar!" pekik lelaki itu meminta Mas Rama keluar. Mas Rama pun membuka pintu mobil dan turun.

"Serahkan hartamu, dompet, HP, apa aja!"

Aku memutar bola mata. Belum tahu dia siapa Mas Rama. Mas Rama pernah juara bela diri Capuera tingkat kota. Ia juga pernah menghajar tujuh orang hanya dalam lima menit.

Debak debug! Dua menit Mas Rama menyelesaikan mereka berdua.

"Ayo jalan!" pintanya kemudian sambil ngos-ngosan, menyandarkan tangan ke mobil. Aku pun turun dari mobil dan akan ikut Mas Rama jalan kaki.

"Terus mobil sama barang-barang kita gimana?"

"Nanti ada yang urus, insyaAllah."

Mas Rama meraih dompet dan mengeluarkan uang lima ratus ribu.

"Pak, ini uang untuk Bapak berdua." Suamiku yang berkulit coklat itu mengulurkan tangannya dengan lima helai uang kertas.

Lembut sekali hati Mas Rama. Bahkan pada orang yang menodongnya pun ia masih berbelas kasih.

"Apa maksudnya ini?" Lelaki yang dihajar tadi masih memegangi dadanya.

"Bapak melakukan ini karena terpaksa, 'kan? Ini pertama kali Bapak mau berbuat jahat, 'kan?"

"Kok kamu bisa tahu?"

"Jelas saya tahu, cara Bapak berkelahi terlalu payah."

Lelaki itu malah menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Padahal saya sudah berpakaian seperti preman begini."

"Itu juga yang membuat saya semakin yakin kalau sebenarnya Bapak orang baik. Mana ada orang tua berpakaian seperti ini meski preman."

"Ah, iya, saya nggak paham."

"Pak, ambil saja uangnya," cetus lelaki di sebelah Bapak itu. Ia jauh lebih muda. "Lumayan untuk biaya berobat Ibu," lanjutnya.

"Berobat?" Mas Rama kembali bertanya.

"Ya. Istri saya sedang sakit." Bapak yang terduduk itu menunduk lesu ketika menyebut istrinya, "butuh biaya besar untuk operasi, setidaknya delapan juta. Akan saya lakukan apa pun agar istri saya selamat. Makanya saya berani merampok begini."

"Kapan operasinya?"

"Kira-kira tiga hari lagi." Bapak itu menghela napas, masih sambil meringis kesakitan.

"Masih kurang berapa uang untuk operasinya, Pak?" Aku ikut menanyai orang itu.

"Kurang sekitar lima juta." Wajah lelaki berumur itu berubah sendu. Seperti harapannya telah hilang, yang tampak hanya gurat putus asa.

"Biar saya yang menanggung biaya operasi istri Bapak. Bapak punya rekening?" Mas Rama memegang bahu lelaki itu, membuatnya seketika mendongak melihat wajah Mas Rama.

Seketika aku merasa tak menyesal telah memilih Mas Rama sebagai suami, meski sebelumnya banyak yang memintaku, tapi tak ada yang seperti Mas Rama. Ia tegas pada kemungkaran dan lembut serta penuh belas kasihan pada sesama.

"Kamu sudah terlalu baik pada kami. Bahkan kami hampir saja mencelakai kalian. Kami jadi malu untuk menerima bantuan dari kalian."

Mas Rama mengibaskan tangan menepis angin. "Tidak usah sungkan, Pak. Saya minta nomor rekening sekarang juga."

"Saya tidak ingin punya hutang."

"Siapa bilang Bapak berhutang."

"Saya tidak ingin berhutang budi, maksudnya."

"Sebagai gantinya, Bapak bisa kerja dengan kami. Ini anak Bapak juga bisa kerja di kantor saya. Nanti gaji Bapak akan dipotong untuk mencicil biaya operasi. Bagaimana, Pak?"

Aku mengangguk dua kali meyakinkan lelaki itu. Sambil tersenyum tipis tentunya. Lamat-lamat kemudian, mata si Bapak sudah berkaca-kaca dan suara napasnya serak.

"Beneran, Kak?" tanya lelaki muda di samping Bapak itu yang kemungkinan adalah anaknya sendiri.

"Ya." Mas Rama mengeluarkan kartu nama dari sakunya, "Rama Corporation. Datang dan temui saya, atau Lovarena Cinta, istri saya. Kebetulan kami sedang mencari pegawai karena beberapa karyawan harus diberhentikan.

Bapak itu malah mengusap matanya yang mulai berair.

"Kalau begitu, ini silakan diterima dulu." Mas Rama meletakkan uang lima ratus ribu itu di tangan si Bapak. "Kami izin melanjutkan perjalanan ya, Pak?"

"Tapi, mobilnya kempes, maaf tadi kami yang pasang paku di jalan."

"Jadi Bapak yang pasang paku dan kena ke mobil saya?"

Si Bapak mengangguk pelan.

"Tidak apa-apa, Pak." Mas Rama menepuk bahu lelaki itu dua kali, "kami jalan kaki saja. Hitung-hitung olahraga sambil romantisan sama istri di jalan biar dikira orang gila. hehe." Alis Mas Rama terangkat dua kali sambil melirikku. Langsung saja kutepuk lengannya.

"Sekali lagi maaf dan terimakasih untuk kalian berdua. Kalian memang pasangan yang serasi."

"Tuh, 'kan?" Mas Rama mengedip padaku.

"Apa sih! Mana ada aku yang cantik jelita begini serasi sama om-om kayak kamu, Mas!"

"Eh, aku baru dua puluh sembilan ya. Bukan om-om!"

"Secara gitu, aku masih dua puluh satu. Kalau kamu nggak pinter ngebaperin aku nggak bakal mau sama kamu."

"Dih, gitu amat jadi istri. Katanya mau jadi istri shalihah seperti Khadijah, Aisyah atau Fatimah."

"Ya kamu juga harus jadi Rasulullah atau Ali bin Abi Thalib dulu, Mas."

"Jadi gemes sama kamu, Lov, pengen gigit."

"Emang aku klepon!"

"Maaf, apa romantisannya bisa nanti sambil jalan saja?" celetuk Bapak itu.

"Eh iya, maaf, Pak. Nah, mulai sekarang, Bapak dan adik ini adalah karyawan saya. Kalian bekerja langsung untuk saya."

"Terima kasih, ya Allah, beruntung sekali kami bisa menodong kalian tadi."

"Tugas pertama Bapak, tolong jagain mobil saya sampai asisten saya datang menjemput mobil ini, bisa?"

"Oh, tentu bisa."

"Baik. Kami jalan dulu."

Mas Rama menutup pintu mobil yang tadi masih terbuka.

"Sayang, lepas aja sepatunya. Ganti sendal jepit!" pinta Mas Rama seraya membuka sepatunya dan mengambil dua pasang sendal sepit dari dalam mobil, ia kemudian meletakkan salah satu pasang sendal jepit itu ke depan kakiku sambil berjongkok.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status