Sore itu, sepulang dari kerja, tiba-tiba motor Mas Bayu berbelok ke sebuah apotik. “Mau ngapain, Mas?” Aku bertanya saat aku terpaksa harus turun. Dia tidak bilang apa-apa sebelumnya. Apa dia sakit ingin membeli obat-obatan? Mas Bayu memarkir motornya di pelataran apotik itu. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Lelaki itu hanya menggandeng tanganku untuk diajaknya masuk ke apotik itu yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggal kami ini. Mas Bayu langsung menuju etalase yang dibelakangnya duduk seorang petugas apotik. “Mbak, ada test pack?” tanyanya. Aku mengerutkan kening, seraya melirik sekilas padanya. Testpack? buat apa Mas Bayu membelinya? Bahkan, Mas Bayu menyebutkan namanya tanpa rasa sungkan. Aku menatap tajam ke Mas Bayu minta penjelasan. Tapi, dia tak menyahut, bahkan hanya tersenyum tipis seraya tetap menatap pada petugas yang langsung bergegas mengambil sesuatu dari rak kaca yang berada tepat berada di belakangnya. Dengan cekatan petugas itu kembali mendekat dan men
"Jangan lupa bawa ini!" Mas Bayu segera mengangsurkan testpack itu saat aku hendak ke toilet. Bahkan azan subuh belum berkumandang. Tak biasanya aku ingin ke belakang. Padahal biasanya aku bangun setelah Mas Bayu pulang dari masjid. Duh, sebenarnya aku sudah tak tahan mau ke belakang, tapi, terpaksa aku harus membaca dulu instruksi di bungkus itu. Maklum, semalam aku langsung tidur. "Mas!" Aku berteriak dari kamar mandi. Tidak terjadi perubahan apapun di sana. "Gimana?" wajah Mas Bayu menyembul karena aku sengaja membuka sedikit pintu kamar mandi. Aku belum sepenuhnya merapikan pakaianku. "Nih lihat sendiri!" aku menyerahkan benda asing yang sudah aku celupkan pada urine yang tadi aku tampung. Ya, mungkin Mas Bayu berharap terlalu lebih. Padahal kan kami juga belum lama menikah. Malah Sinta saja juga belum beres. "Dik! cepetan keluar!" Suara Mas Bayu berteriak sambil menggedor pintu kamar mandi. Padahal usai menunaikan hajat, aku masih mau mengambil air wudhu. "Kenapa?
“Mau kemana, Mas?” tanyaku saat melihat Mas Bayu hendak pergi lagi, sesaat setelah kami tiba di rumah.Bahkan, dia pun belum mengganti baju kerjanya, apalagi bersih-bersih. Dia hanya meletakkan tas kerjanya dan menggantinya dengan tas kecil tempat ia menaruh HP dan dompetnya.“Mau ada urusan sama temen,” jawabnya. Tak lupa sebuah kecupan lembut mendarat di keningku. Meski dia berlaku lembut seperti itu, tetap saja aku penasaran. Jawaban ada urusan seperti itu menandakan dia tak ingin aku tahu urusannya lebih detil. Terpaksa, aku urung untuk bertanya. Karena aku hanya menginginkan keterbukaan. Buat apa sebuah hubungan tanpa saling percaya. Toh, aku tak akan membicarakan urusannya ke orang lain. “Kamu belum makan lho, Mas.” Aku mengingatkan. Sebenarnya aku hanya ingin menahannya saja, karena aku pun juga belum masak. “Nanti Mas makan sama temen,” jawabnya sambil memasang helmnya. Bergegas dibukanya pintu pagar untuk mengeluarkan motornya. Lalu dia pergi meninggalkanku yang masih term
"Kamu dari mana, Mas?" tanyaku. Dia tak menyahut. Entah karena tidak dengar, atau menganggap pertanyaanku tidak penting untuk dijawab. “Aku bersihkan dapur dulu ya,” katanya, lalu meninggalkanku. Aku hanya terdiam di tempat tidur. Aku kembali ke alam pikiranku sendiri. Apakah ini yang harus kuterima saat aku tidak mengikhlaskan kepergian Mas Bayu tadi? Tak kusadari, air mata menetes dari sudut mataku. “Nggak usah terlalu dipikirkan, Dik,” kata Mas Bayu saat dia melihatku menitikkan air mata. Mungkin dipikirnya aku merasa bersalah atas kejadian ini. Mungkin dipikirnya aku memikirkan dapur yang hitam penuh jelaga, sementara rumah ini adalah rumah kontrakan. Padahal aku sedang memikirkan dirinya. Dia dan perempuan itu. Dia dan curhatan di email itu. Dia dan masa lalu yang sepertinya terus membelenggu. “Mas, aku lapar,” rajukku. Aku teringat janjiku dalam hati, kalau aku hanya perlu memikirkan diriku sendiri. Karena memikirkan orang lain, hanya akan membuatku terluka. Aku i
Pukul lima sore. Biasanya Mas Bayu menjemputku. Jika aku belum ada di pelataran lobi, dia akan menelponku. Tapi, ini sudah jam lima lewat. Aku menunggu-nunggu saat dia menelponku dan mencari keberadaanku. Aku berharap dia akan merasa bersalah jika tak mendapatiku di lobi. Atau paling tidak dia akan cemas karena aku pulang lebih awal, sebagaimana dia perhatian selama ini. Namun, lagi-lagi aku salah. Mungkin, sejak saat ini aku harus menghilangkan harapanku pada Mas Bayu. Aku harus pelan-pelan melupakannya. Pukul lima lewat, dia tidak menelponku. Mengirim pesan padaku pun tidak. Baiklah, Mas. Akan kuikuti apa maumu! Lebih baik aku mengurusi diriku sendiri. Aku ingin bahagia. Kubuka aplikasi makanan online. Aku ingin makan yang enak. Aku tidak peduli harganya yang mahal. Selama ini aku tahan-tahan semua keinginanku, agar aku bisa menabung. Agar aku bisa membeli rumah impian bersama Mas Bayu. Agar aku bisa membeli kendaraan bersamanya. Tapi impianku telah sirna. Aku tak ingin ap
Pagi-pagi sebelum berangkat kerja, seperti biasa aku menghidangkan sarapan untuknya.Mas Bayu tidak menyukai sarapan yang terlalu berat. Hanya roti bakar dengan olesan krim keju atau krim coklat dan juga segelas kopi dengan kreamer dan gula.Aku tidak membahas apa yang akhir-akhir ini kulihat tentangnya. Pun juga tidak membahas sikapnya yang berubah. Aku ingin menunggu saat yang tepat. Biarlah saat ini aku pura-pura tidak tahu saja. Aku ingin tahu, apa yang akan Mas Bayu lakukan kemudian. Toh, posisiku jauh lebih kuat dari seorang Sinta. Aku istri sahnya. Aku diterima di keluarganya. Dan aku juga mengandung anaknya. Hanya saja, hatinya yang masih separuh kudapatkan. Aku yakin, cepat atau lambat, hati Mas Bayu akan utuh untukku. “Dik, Mama jadi mau ke sini,” Mas Bayu membuka percakapan tanpa menatap padaku. Pandangannya tertuju pada roti bakar yang ditangannya. Sesekali melihat ke cangkir kopi di depannya. Aku hanya diam. Mataku menatap setiap inci pergerakannya. Hingga kurasakan di
Deru mobil berhenti di depan rumah. Segera kuintip dari celah pintu siapa yang datang. Senyumku mengembang saat terlihat seorang ibu seusia ibuku keluar dari pintu penumpang. Bergegas aku berlari keluar untuk menyambutnya. “Kamu sehat kan, Ndhuk?” tanya Mama Mertua saat aku mencium punggung tangannya. Lalu kami berjalan masuk beriringan. Kubantu Mama membawa tas bawaannya dan masuk ke dalam kamar yang telah tersediakan untuknya. Ibu mertua datang sendirian karena bapak mertua belum pensiun dan masih harus bekerja di kantor. Sejak kami menikah, sebenarnya Mama mertua ingin segera melihat tempat tinggal kami. Namun, Mas Bayu selalu mengulur waktu. Dulu, karena kami masih tinggal di rumah petak. Dan kini, tak ada lagi alasan baginya untuk mengulur kembali setelah kami pindah di rumah yang lebih lega. “Alhmadulillah, Ma,” jawabku seraya meletakkan tas tenteng itu di atas ranjang di kamar tamu. “Mama mau bersih-bersih dulu, atau ngobrol dulu? Anita buatkan teh panas,” tawarku. Ha
Kepulangan Bayu ke rumah orang tuanya saat itu, seolah menjadi titik balik pagi Sinta. Gadis yang sudah selama karir Bayu di kantor, menjadi pacarnya. Hampir tiga tahun menjalin hubungan, bahkan sudah berencana hendak ke jenjang serius, terpaksa terhempas begitu saja. “Mamaku menjodohkanku dengan wanita pilihannya, Sin,” ujar Bayu dengan berat. Rongga dadanya serasa sesak menyampaikan kabar itu. Tapi, diapun tak kuasa menolak keinginan mamanya. Tak ada alasan sakit atau pun warisan yang rata-rata menjadi alasan perjodohan. Tapi hanya semata-mata tradisi keluarganya, menikah dengan berjodoh di lingkaran keluarga besarnya. Bayu bukan tak kenal Anita. Tapi sudah menganggap Anita sebagai adiknya. Tak tega rasanya menolak perjodohan itu. Anita selain masih ada hubungan saudara jauh, juga mamanya dan mama Anita berteman dekat. Sejak remaja Anita telah dibidik oleh sang mama untuk dijodohkan dengannya. Bukan Bayu tak tahu atas perjodohan itu dan tetap melanjutkan hubungan dengan Sinta. Da