Hamid tidak kenal lelah. Ia terus mencari keberadaan mobil yang membawa Raline tengah malam itu dari rumah sakit.
Sejak pagi, ia mengelilingi ibukota tidak lelah. Hingga akhirnya, pukul 16.45, seorang kawannya memberikan info jika mobil yang diduga membawa Raline itu berada di sebuah gudang tua. Gudang yang berada di sekitar pelabuhan kapal.[Hamid, tolong kamu segera datang ke gudang dekat pelabuhan Tanjung Priok. Aku share lokasinya. Kamu segera ke sini ya.][Ok.]Setelah Hamid mendapatkan lokasi di mana Raline kemungkinan berada, Hamid pun bingung. Karena lokasinya sangat dekat dengan gedung miliknya. Gedung itu dijadikan tempat untuk pengiriman barang-barangnya dari dan ke Jepang."Loh, ini kan? Jika benar, ini pasti kerjaan Lexy. Karena hanya aku dan Lexy yang bisa memberikan perintah untuk membuka gedung itu."Hamid pun langsung bergegas menuju lokasi gudang penyimpanan itu. Ia yakin, Lexy adaAndre dalam sebuah dilema. Ia memang sangat mencintai Raline. Tetapi, merebutnya dengan cara culas dari Hamid, itu juga bukan pilihan yang baik. Hubungan persahabatannya dengan Raline yang terjalin lama bisa saja hancur berantakan."Kita boleh mencintai. Tetapi, cinta nggak harus mencintai. Jika mereka bahagia, kita juga harus bahagia."Kata-kata itu kembali terngiang. Sisil yang juga sangat mencintai Hamid, bisa merelakan ia bahagia bersama Raline. Bahkan berkat Sisil, Raline bisa membuka hatinya kembali untuk Hamid."Nggak. Aku nggak boleh mengkhianati Raline. Hamid adalah lelaki terbaik yang bisa membahagiakan Raline," batin Andre."Kamu ini kan adiknya Hamid. Kenapa kamu bisa sejahat ini? Menghancurkan kebahagiaan Kakakmu sendiri?"cecar Andre.Lexy tersenyum sinis"Dia memang Kakakku. Tetapi, dia sudah merebut semua yang seharusnya menjadi milikku," jawab Lexy."Maksudmu?"
Raline yang mencurigai Hamid malam itu akhirnya mengikutinya. Saat bersamaan, Dion pun datang untuk membawakan hadiah dari Galih untuk putra kesayangannya."Raline, kamu mau ke mana?" tanya Dion. saat melihat Raline jalan terburu-buru."Mas, aku mau ngikutin Hamid. Dari tadi gelagatnya aneh. Kamu masuk aja ya, ada Sisil di dalam," sahut Raline yang langsung bergegas pergi.Karena takut terjadi sesuatu, Dion pun mengikuti Raline. Saat sudah bisa menyusul wanita itu, Dion pun meminta Raline naik ke atas motornya. Raline pun ikut bersama Dion."Tunggu!"teriak Raline.Semua mata pun tertuju pada Raline yang berjalan cepat menghampiri Hamid yang terkapar di lantai. Raline pun menatap Lexy dengan sorot mata tajam. Lexy pun menunduk. Bukan pertemuan seperti ini yang diinginkan Lexy saat bertemu kembali dengan Raline."Raline ....""Lexy, apa yang kamu lakukan pada Hamid? Apa salah dia?" pekik
Bahagianya Hamid begitu terpancar jelas saat ia sudah resmi menjadi suami Raline. Wanita yang dicintainya sejak di bangku sekolah dulu."Aku bahagia banget, akhirnya kita bisa mewujudkan impian kita dulu. Kamu bahagia nggak, Sayang?" tanya Hamid sambil menggendong Austin di atas pelaminan."Bahagia, Mas. Nggak nyangka banget ya, akhirnya kita bisa menikah dan alhamdulilah akhirnya kedua orang tua kamu mau merestui hubungan kita," ucap Raline berusaha tersenyum."Tapi ....""Kenapa, Sayang? Kok wajah kamu jadi sedih. Ada apa? Cerita sama aku," tanya Hamid."Sisil ke mana? Kenapa dia nggak datang, Mas?" tanya Raline dengan wajah sedih."Eh iya ya. Ke mana ya? Apa dia ada sesuatu?" sahut Hamid. Hamid pun langsung mengambil ponsel di sakunya dan memanggil nomor Sisil. Tetapi, tidak ada jawaban apapun dari sahabat baiknya dan Raline itu. "Gimana, Mas?" tanya Raline. Hamid han
Sisil memulai hidupnya yang baru di Amerika. Berkumpul dengan keluarganya membuat ia sedikit melupakan rasa sakitnya. Luka hatinya yang ia pendam sendiri. Namun, ternyata itu tak semudah yang ia pikirkan.Bayangan tentang Hamid. Tentang persahabatannya dengan Raline, membuat ia merindukan semua itu. Terlebih, ia belum punya kesibukan yang berarti.Seorang kawan lama Sisil saat kuliah di LA pun datang ke rumahnya saat tahu jika Sisil sudah kembali ke New York. Demi bertemu sahabat lamanya, ia rela menempuh perjalanan jauh hingga akhirnya sampai di depan rumah Sisil.Sisil yang tidak mengetahui kedatangan Zayn malam itu dibuat terkejut saat ia membuka pintu dan melihat pria tampan yang dulu sempat menaruh hati padanya itu kini sudah berdiri tegak di hadapannya."Zayn?""Zayn, is it really you?""Yes, it's me.Your most handsome friend."Keduanya pun tertawa. Raline pun mengajak sahabat bu
Andre datang tepat pada waktunya. Pria yang selalu menjadi garda terdepan untuk Raline itu mempunyai firasat tidak baik saat bertemu Raline di sebuah pusat perbelanjaan dan mengatakan jika Austin dititipkan di rumah Galih."Ternyata dugaan aku betul kan? Kalian ya, masih aja belum taubat. Belum puas ya menyakiti Raline? Menyakiti keluargaku? Sekarang, kalian mau menyakiti Austin dengan memisahkan dia dengan Ibu kandungnya?" hardik Andre."Andre, ini nggak seperti dugaan kamu. A-aku ....""Kamu bilang tidak seperti dugaanku?Waw! Terus untuk apa kalian bawa tas besar juga koper? Dan sudah ada taksi di depan. Aku juga sudah tanya kok. Kalian menuju bandara kan?" pekik Andre.Galih dan Nyonya Amira hanya diam tertunduk."Andre su—""Maaf, apa jadi pergi ke bandaranya?" tanya supir taksi yang menunggu terlalu lama."Maaf, Pak. Berangkatnya batal ya. Ini ambil aja tip karena Bapak sudah lama
Netra Hamid terbelalak saat membuka pintu kamar Galih dan melihatnya sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Tidak ada luka atau apapun yang mencurigakan hingga membuatnya pingsan."Ya Allah, Galih. Galih, kamu kenapa, Nak?" ucap Nyonya Amira beristighfar melihat anaknya pingsan sesaat setelah Hamid berteriak memanggilnya dan Raline."Mas, kita bawa ke rumah sakit aja gimana?" tanya Raline dengan wajah panik."Kenapa Raline panik itu ya? Apa dia ...." gumam Hamid dalam hatinya."Mas!" teriak Raline menyadarkan Hamid dari lamunannya."Iya, kita bawa aja. Kalian langsung ke mobil ya. Biar aku langsung bawa Galih."Hamid pun langsung menggotong tubuh Galih dan memasukkannya ke dalam mobil. Ia pun langsung tancap Gas menuju rumah sakit terdekat.Di dalam perjalanan, Raline pun terus menenangkan Nyonya Amira agar lebih banyak berdoa. Isak tangisnya membuat Austin pun ketakutan hingga
Sisil dalam kegamangan. Ia memang mulai merasakan kenyamanan saat bersama Zayn. Ia juga tidak bisa berjauhan dengan pria teman bisnisnya di Amerika itu. Tetapi, untuk merasakan sebuah cinta seperti saat ia bersama Hamid, itu belum dirasakannya."Ingat, Sil. Menikah tanpa cinta, akan membuat hidup kamu menderita. Pikirkan baik-baik. Jangan sampai kamu salah melangkah," ucap sang Mami mengingatkannya.Sisil akhirnya melakukan istikarah. Berhari-hari ia dekatkan dirinya pada Rabb-Nya dan menjaga jarak dengan Zayn. Hingga akhirnya, sebuah keputusan diambilnya. Sisil pun mantap mengambil keputusan ini. Sore itu, Sisil pun menghubungi Zayn dan memintanya bertemu malam ini di sebuah cafe. Zayn pun akhirnya menyetujuinya. Inilah hal yang sudah ditunggunya beberapa hari. Rasa cemas, takut mulai membayanginya.Sekitar pukul 19.45, Zayn pun sampai lebih dulu di cafe tempat ia dan Sisil janji bertemu. 30 menit berlalu, Sisil belum juga na
Suara tangis Nyonya Amira tidak tertahan lagi. Tangisnya pecah di ruang UGD itu. Putra semata wayangnya. Anak kebanggaannya itu pergi selamanya. Tanpa diketahui, apa penyebab sakitnya."Galih, kenapa kamu tinggalin Mama secepat ini. Bangun, Nak, bangun ...." jerit Nyonya Amira menggoyangkan tubuh Galih dan berharap putranya itu bangun kembali.."Galih, jangan tinggalin Mama.Bangun, Galih. Galih, kita pergi ya. Kita susul Austin," rintih Nyonya Amira."Bangun Galih."Andre dan Nyonya Amanda berusaha menenangkan Nyonya Amira yang baru saja kehilangan Galih. Ia sangat terpukul, apalagi kematian Galih berbarengan dengan perginya Raline dan Austin."Raline. Ini semua gara-gara Raline. Kalau aja dia nggak memutuskan menikah dengan Hamid dan pindah ke Jepang, mungkin nggak akan kejadian seperti ini," ucap Nyonya Amira berteriak histeris."Galiiiihhh ....""Raline, kamu harus membayar semu