Zia berjalan sambil menyeret koper dan tas jinjing tersampir di bahunya dengan wajah masih sembap, sesaat ia berhenti di halaman depan. Menatap sendu bangunan rumah berhalaman luas yang setahun terakhir ia habiskan waktu bersamanya. Air matanya kembali menitik. Sebuah mobil memasuki halaman rumah, Zia menajamkan pandangannya. Ibu Ana buru-buru turun dari mobil dan berjalan cepat mendekati Zia setelah sejak tadi memperhatikan sikap Zia dari kejauhan. "Kamu mau ke mana, Zi?" Wajah Ibu Ana menyirat tanya besar. Zia tersentak. Cepat tangannya mengusap wajah yang sedari tadi sembap, meski nyatanya tak ada yang berubah. Ya, wajah cantik itu masih saja terlihat seperti habis menangis. "Zi," tegur Ibu Ana lagi. Kini Ayah mertuanya ikut menatap Zia. Zia tersenyum lembut, berusaha menjauhi pikiran negatif sepasang mertuanya itu. Lagi, ia berusaha kuat. "Zia mau ke pesantren, Bu, untuk beberapa hari," ucap Zia mantap. "Terus kenapa perginya sendiri? Kenapa nggak diantar Aiman?" Ibu Ana me
Zia tak kalah pilu. Perempuan itu kini menerobos memeluk tubuh Ibu Ana. Memeluk erat tubuh perempuan yang ia anggap ibu kandung itu. Merasakan kehangatan yang belasan tahun lalu telah pergi darinya. Zia membenamkan wajahnya di bahu Ibu Anak. Hatinya berkeping. Ini mungkin akan menjadi pelukan terakhir di antara mereka berdua, setelah keduanya tahu jika Zia bukan lagi menantu di keluarga ini. Hatinya menjerit. Dirinya tidak hanya kehilangan Aiman, melainkan satu keluarga sekaligus. Kini ia akan kembali sebatang kara. "Maafkan Zia yang tak bisa bertahan dalam situasi ini, Bu. Zia lemah ketika tahu ada yang telah menggantikan posisi Zia, Zia benar-benar lemah. Maafkan Zia." Zia sesenggukan. Ibu Ana mengusap lembut punggung Zia, berusaha menenangkan, meski nyatanya air matanya pun tak sanggup berhenti. Keduanya larut dalam luka yang sama. Beberapa menit kemudian Ibu Ana merenggangkan pelukannya di tubuh Zia. "Zi, sekarang tolong jawab pertanyaan Ibu!" Tatapan Ibu Ana berkaca-kaca. I
"Apa kau pernah berpikir, bagaimana jika kau yang berada di posisi Zia? Hah?!" Pak Ramli menatap nanar pada Sintia yang kini berusaha menghindari tatapannya. Sintia bergeming. Hatinya begitu sakit ketika mendapati kedua mertuanya begitu menyayangi dan membela Zia. Bukankah harusnya dirinya yang berada diposisi zia sekarang? "I—ini, ini salah Aiman, Yah. Aiman juga masih sangat mencintai Sintia," bela Aiman. Ia tak tega melihat sang Ayah memojokkan istrinya itu. Ibu Ana menatap nyalang pada Sintia, emosinya meninggi kala melihat perempuan dengan piyama tidur yang tengah menunduk di kursi makan itu. "Apa hanya karena ingin merebut Aiman dari Zia kamu sampai lari dari pertunanganmu dan Dika, Sintia?" Aiman tersentak, matanya membulat menatap Sintia yang menunduk semakin dalam. Pun dengan Zia. Perempuan itu menggeleng pelan. "Maksud, Ibu?" Aiman tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya lebih lama lagi, sudut hatinya mengatakan, jika ini tidak sedang baik-baik saja. Ibu Ana berja
Sepanjang perjalanan air mata Zia terus berurai. Memikirkan kembali hidup sebatang kara membuatnya lagi-lagi merindukan sosok dua orang yang telah menghadirkannya kedunia ini. Merindukan pelukan keduanya saat tengan rapuh seperti saat ini. Rindu, ia sangat rindu. Zia ingin ke pesantren. Namun, ia pun tak ingin membuat dua orang yang ia anggap orang tua sendiri di sana ikut terluka. Empat puluh menit perjalanan, Zia sampai pada alamat yang dituju—kost khusus perempuan yang ia minta Fira untuk mencarikan untuknya semalam. Ya, Fira yang melakukannya. Perempuan itu sudah menebak kemungkinan terburuk tentang rumah tangga sahabatnya itu. Zia melangkah menuju kamar nomor 20. Membuka pintu kamar yang memang tak terkuci karena Fira sejak tadi tengah menunggunya di sana. "Assalamu'alaikum."Melihat Zia datang, Fira segera menyudahi bacaan qur'annya. Matanya menelisik wajah Zia yang sembap dengan bibir tersenyum lembut. "Wa'alaikum salaam. Istirahat dulu, Zi," jawab Fira seraya melipat muk
"Jangan berpikiran buruk pada Sintia, Bu! Bagaimana pun, Sintia adalah menantu Ibu sekarang. Dia hadir di hati Aiman bahkan sebelum Zia datang." Aiman seakan lupa diri, rasa hormatnya sirna setelah kedua orang tuanya terang-terangan membenci Sintia. "Pikiran buruk yang mana, Aiman? Ini sama sekali bukan pikiran buruk, ini nyata! Jika kau menganggap ini hanyalah tuduhan Ibu, maka kau salah! Ini nyata." Pak Ramli menyela, lelaki itu semakin kesal dengan sikap putranya. Sintia terisak, entah ia benar-benar menangis, atau, ah entahlah. Perempuan itu terlalu pintar bersandiwara. Aiman tak peduli, ia terlalu fokus untuk meyakinkan Ayah dan ibunya. "Sudahlah, Bu, Yah, apapun hal buruk yang kalian katakan tentang Sintia, aku akan tetap memperjuangkannya. Anggap saja itu masa lalu yang tak harus dikenang jika menyakitkan." Aiman kukuh pada pendiriannya. Tepatnya berusaha kukuh. Ia tak ingin gagal merengkuh keduanya, cukuplah kini Zia yang pergi, ia tak ingin Sintia ikut pergi meninggalkanny
Farid melirik sekilas adiknya itu dengan dahi berkerut. Tepatnya, ia tengah berpura-pura terkejut."Siapa bilang?! Abang tadi cuma ngeliatin kamu pas pamitan sama dia, kok." Farid berkilah. Bukan munafik, ia hanya ingin melihat reaksi sang adik. Fira menatap lekat wajah Farid, membuat pria tampan itu salah tingkah. "Sudahlah, jujur aja, Bang. Fira lihat Abang sering memperhatikan Zia akhir-akhir ini, bahkan tadi aku masuk saja Abang sampai kaget. Inget, Bang, Zia bukan mahram. Inget batasan, jika memang memiliki rasa, mending lamar langsung setelah masa iddah-nya selesai." Fira tersenyum, menggoda sang Kakak. Ia sangat mendukung jika abangnya itu memang memiliki rasa pada Zia. Menurut Fira, Zia bahkan sangat pantas untuk abangnya yang seorang dosen tampan merangkap pengusaha itu. Farid bergeming. Ada perasaan berbunga menelusup setelah mendengar kalimat dukungan dari sang adik. Perlahan mobil Farid berhenti di sisi kiri jalan, ia tak ingin pembicaraan yang kali ini ia anggap serius,
Jika dulu Aiman selalu diperlakukan bak raja, apa saja keperluannya selalu dilayani dengan sepenuh hati oleh istrinya, sekarang berbanding terbalik, Aiman harus melakukannya sendiri, bahkan saat pembantu mereka sakit, Aiman lah yang mengambil alih pekerjaan rumah. Aiman meremas dadanya yang terasa sesak, menyesali kebodohan terbesar yang telah ia lakukan. Kebodohan yang kini membawanya pada luka—luka hati sebagai suami yang tak dihargai. "Maafkan aku, Zi. Maukah kau kembali menerimaku lagi," gumam Aiman dalam hati. Cintanya pada mantan istrinya itu tidak benar-benar sirna, masih tersisa dan bahkan detik ini semakin menggebu. "Aku rindu kamu, Zi. Apakah kau memiliki rasa yang sama untukku?" Lagi-lagi Aiman hanya mampu berkata dalam hati. Cinta dan rindu pada seseorang di masa lalunya membuat Aiman seolah tanpa rasa malu. Ia masih berharap besar jika Zia akan kembali menerimanya kembali. "Aku tahu, Zi, kau sangat mencintaiku dulu. Hingga kini, aku masih berharap hal yang sama, berh
Zia akhirnya menceritakan apa penyebab dirinya bisa sampai di sini sendiri. "Jadi sebenernya rumahku cuma buat pelarian, gitu," sindir Fira, membuat keduanya tertawa kecil. "Aku nggak mau sampai Bang Aiman tau aku tinggal di mana, Ra. Aku bener-bener nggak ingin lagi berurusan dengan dia," lirih Zia. Luka itu kembali terasa hanya dengan mengingat namanya saja. "Sabar, Zi. Yakinlah, perempuan baik maka jodohnya pun laki-laki baik, insya Allah." Fira tersenyum lembut, tangannya mengusap bahu Zia pelan. "Nggak seru, ah cerita di sini, yuk, mending ke kamar!" Tanpa menunggu persetujuan, Fira berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Zia mengekor di belakang. Rumah besar itu terlihat begitu berkelas. Farid mematung, ketika perempuan yang baru saja memenuhi kepalanya berlalu di hadapannya tanpa menoleh. Bibirnya kelu, membuatnya tak mampu berkata apa-apa, meski sebatas menyapa. Mata bulat kehitaman miliknya menatap Zia hingga menghilang di balik pintu kamar sang adik. Rasa tak sabar men