Share

BAB 8 RAPUH

aska masih melamun, karena kegundahan dan resah masih melanda hatinya. Terutama handphone yang masih ia otak-atik menunggu kabar dari Yesa yang tak kunjung datang. Padahal ia amat mencintai kekasihnya itu dan amat takut kehilangannya.

Sekalipun ia tau, jika Yesa tak lagi mencintainya, dan telah mengatakan putus. Dan meskipun berulang kali Azka memintanya untuk menjauh, tapi semakin ia menjauh, semakin besar rasanya terhadap Yesa.

"Alaska! Nanti pergi kampus, gue naik angkutan umum aja ya!" tukas Azka pada Alaska.

"Loh kenapa? Kok gak bareng gue aja?"

"Iya lagi pengen menikmati suasana angkutan umum aja gue," tukas Azka lagi seraya menepuk pundak Alaska yang hanya mengangguk dan kembali melanjutkan lamunannya seraya menatap layar ponsel yang kini ada di genggamannya.

"Lo kenapa sih wajahnya remuk banget? Masih mikirin Yesa ya?" tanya Azka lagi yang sontak membuat Alaska berdecak.

"Iya masih lah Ka, gue mikirin dia lagi apa sekarang," jawab Alaska dengan lesunya.

"Alaska, Alaska,"

"Kenapa?"

"Iya gak apa-apa, gue cuma kasihan aja liat lo, mencintai dia yang gak mencintai lo. Cinta sendiri itu gak enak Ka," timpal Azka sebelum beranjak dari kursi teras di mana ia dan Alaska duduk menikmati secangkir kopi hangat dan juga mie instan yang udah siap disajikan.

"Gue mau nemuin Yesa sekarang Ka,"

"Hah? Sekarang? Mau apa Ka? Jangan deh Ka! Gue gak mau lo sakit," cegat Azka cepat sebelum Alaska melangkahkan kakinya ke rumah Yesa. Apalagi jarak dari kost Alaska dan rumah Yesa lumayan jauh.

"Iya sekarang, lagian kalo memang cinta itu kan harus butuh perjuangan dan pengorbanan Ka," jawab Alaska dengan entengnya.

"Bener, cinta itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Tapi, cinta yang mana dulu Ka? Cinta yang juga mencintai lo, yang juga menghargai lo Ka! Bukan cuma lo aja yang berjuang, karena kalian jalanin hubungan itu kan berdua!" sungut Azka pada Alaska yang masih terdiam.

"Iya udah, gue siap-siap dulu okey! Gue mau samperin Yesa ke rumahnya, gue kangen," lirih Alaska yang lari duluan ke kamar dan bergegas mengganti pakaiannya, padahal Azka belum siap ngomong.

'Huh dasar Alaska!' gerutu Azka lagi dan menatap ke dalam.

Selang beberapa menit, akhirnya Alaska siap juga dan bergegas akan menuju ke rumah Yesa, dengan celana dan jaket levisnya. Alaska memang tampan, tapi sayang, tampan dan cinta tidak akan membuat seseorang akan bertahan. Tapi kalo tampan, diiringi dengan uang maka seseorang akan bertahan bahkan tanpa rasa sekalipun, ia bisa takut kehilangan.

Tapi nyatanya, kebahagiaan gak akan bisa dibeli dengan uang, seberapa banyak pun uang yang kita miliki.

Tapi dalam dunia nyata, emang itu yang terjadi. Semua akan mendekat, akan peduli, juga akan sayang hanya karena sebuah uang. Itulah yang terjadi pada Alaska saat ini. Namun, bagi Alaska cinta bukan berasal dari uang. Tapi dari sebuah rasa dan ketulusan yang diberikan.

“Alaska, lo beneran yakin? Yesa udah ngeblokir nomor lo! Itu artinya, dia gak mau berhubungan apa-apa lagi sama lo Ka!” inget Azka sebelum Alaskan benar-benar melangkahkan kakinya. 

“Gue gak peduli Azka! Namanya cinta, harus dibuktikan, bukan cuma sekedar menjanjikan,” 

“Terserah lo Ka! Kalo masih nekat, siap-siap apapun yang lo terima nantinya!” akhir kalimat yang dilontarkan Azka, pasrah pada Alaska yang keras kepala. 

***

Brrrmmm..

Motor Alaska sudah tepat berada di depan pagar rumah Yesa, ia bergegas untuk masuk ke dalam rumah, akan tetapi rumah besar nan megah itu bak tak berpenghuni. Hanya ada kang kebun yang lagi berberes di halaman rumah Yesa. Yah, lagi-lagi kang kebun.

"Pagi Kang kebun," sapa Alaska yang berada tepat di depan kang kebun.

"Eh, Den Alaska rupanya. Nyari non Yesa ya Den?" tanya kang kebun pada Alaska yang menyeka keringat di dahinya.

"Iya Kang, nyari Yesa lah, masa nyari kang kebun," canda Alaska pada kang kebun. Padahal, hatinya tengah berkecamuk sekarang. Tapi ia masih bisa tertawa dan bercanda sekedar menutup kesedihan yang menyesakkan dadanya.

"Hahaha, bisa aja si Aden. Aduh punten ini ya Den, si non teh tadi pergi sama temennya," kata si kang kebun lagi pada Alaska.

"Sama temen? Cewek atau cowok Kang?" tanya Alaska lagi.

"Duh, kalo itu bapak kurang tau si Den. Tapi tadi pakai mobil deh kayaknya," jawab kang kebun lagi pada Alaska.

"Mobil? Warna hitam ya kang?" tanya Alaska lagi yang panik juga khawatir jika Yesa pergi dengan pria yang ia temui tadi siang.

"Kang tau gak tadi Yesa mau pergi kemana?"

"Hahaha, Akang mah mana tau Den. Kan si non Yesa gak bakalan ngomong juga sama Akang dia pergi ke mana," jawab Kang kebun seraya tertawa.

"Ih Kang, kok malah ketawa? Alaska nanya serius nih," seru Alaska lagi.

"Iya Bapak serius Den, Bapak gak tau atuh kemana non Yesa perginya, lagian Bapak siapa juga? Bukan siapa-siapa juga kan?" pungkas kang kebun lagi pada Alaska.

"Iya udah kalo gitu Alaska pulang dulu ya Kang, nanti kalo Yesa udah pulang Alaska datang lagi," pamit Alaska pada kang kebun yang kembali melanjutkan memotong rumput bunga hias di taman.

Alaska kembali berlalu meninggalkan rumah Yesa dengan perasaan gundah yang membuatnya semakin tak karuan bahkan saat ia meninggalkan rumah kekasihnya itu, rasa berkecamuk dalam dada pun juga menjalari dadanya. Ingin rasanya Alaska mengikuti Yesa yang tengah pergi itu diam-diam tapi ia tak tau harus ke mana, sementara beberapa hari ini Yesa sangat susah dihubungi. Dan untuk bertemu dirinya pun juga teramat sulit, karena Yesa seakan melupakan Alaska begitu saja.

Air mata kembali membasahi pipi Alaska, tanpa ia sadari dadanya menyesak dan menjadi lemah seketika.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status