LOGINBab 96. Mengapa Nadya jadi malu? Nadya sudah berada di sebuah kamar yang nyaman. Hingga tidak terasa jika tempatnya berada saat itu adalah sebuah kamar perawatan di rumah sakit. Tepatnya seperti kamar hotel yang nyaman. Membuat Bu Retno tak henti-henti mengagumi. “Gila Pak Hardi. Pengorbanannya untuk wanita pujaannya lumayan juga. Beruntung sekali Bu Nadya. Semoga mereka secepatnya menikah. Tapi dasar Pak Hardi tidak peka dengan perempuan. Dia yang lama nembak Bu Nadya aku yang gregetan.”Bu Retno duduk di sebuah sofa yang disediakan rumah sakit untuk keluarga pasien sambil mengamati kamar rumah sakit yang sangat nyaman. Bu Retno tak henti menggerutu mengingat tingkah temannya. “Bude, apa Pak Hardi yang membawa saya ke rumah sakit?” tanya Nadya pada Bude Ijum yang duduk di samping tempat tidurnya. “Iya, Tadi dia yang membawa kamu ke sini. Dia begitu cemas begitu tahu kamu pingsan. Hingga tidak peduli dengan pekerjaanya. Nadya terdiam. Ada ra
Bab 95: Praktek jadi suami siaga Pak Hardi masuk kedalam ruangan UGD yang hanya diberi pembatas kain gorden berwarna cream yang tingginya tiga setengah meter. Di sana di sebuah tempat tidur besi sempit Nadya terbaring lemah dengan sebuah tali infus yang menyalurkan obat yang tergantung di pada besi ketanganya. Dengan perasaan berdebar lelaki itu menatap Nadya yang terlihat pucat. Yang dirasakannya kini bukan hanya perasaan cinta. Tapi juga rasa iba dan kasihan yang menyentuh hati. Perasaan tidak rela melihat wanita yang dicintainya memendam sendiri tekanan batin yang sangat kuat menghimpit jiwanya hingga berpengaruh pada raganya. Hingga timbul di hatinya rasa ingin melindungi. Menjadikan dirinya sebagai sandaran untuk tempat melebur duka lara. “Istri bapak baru saja siuman,”ucap wanita yang memakai jas putih yang telah memeriksa keadaan Nadya. Mendengar perkataan dari bibir dokter wanita itu Pak Hardi jadi serba salah, apalagi dokter itu mengucapkannya langs
Bab 94: Dirumah sakit. Dirumah sakit, Nadya masih tidak sadarkan diri. Tubuhnya terbaring lemah diatas ranjang sempit rumah sakit menanti berbagai tindakan yang akan dilakukan dokter dan time perawatnya untuk menanganinya. “Sejak dari jam berapa istri bapak pingsan?” tanya dokter wanita pada Pak Hardi. Pak Hardi terkesiap. Ia merasa canggung ditanya seperti itu. Bagaimana dokter tidak bertanya seperti itu padanya? Hanya Pak Hardi satu-satunya lelaki yang ada saat mengantar Nadya. Dari wajahnya, dokter dan perawat melihat wajah Pak Hardi begitu cemas. Tentunya mereka berpikir jika Pak Hardi adalah suami Nadya. “Tadi saat ibu ini pingsan. Bapaknya belum pulang dok. Yang ada hanya anaknya.” Untungnya Bu Retno yang paham dengan situasi segera memberi penjelasan yang masuk akal pada team medis. Dengan keadaan yang sudah sedikit tenang Nadya menceritakan semuanya pada dokter. “Bapak sedang ada masalah dengan istri bapak, ya? Sebaiknya diseles
Bab 93: Terkuak siapa Pak RT. Wajah Pak RT langsung berubah. Ia benar-benar marah. Ia tidak Terima dan merasa sebagai orang yang memiliki kekuasaan di tempat itu telah dilangkahi. Yang membuat ia sangat tidak terima karena Pak Hardi telah mengambil kesempatan yang seharusnya menjadi miliknya untuk mendekati Nadya. “Wah, Pak Hardi itu benar-benar kelewatan.” Pak Heru menambahi bumbu agar Pak RT bertambah marah. “Kelewatan Pak Hardi itu. Seharusnya dia menunggu keputusan saya dulu baru bertindak. Dia tidak punya wewenang. Bu Nadya itu warga saya. Lagi pula dia itu tidak termasuk warga komplek ini.” ucap Pak RT pada Ketiga tetangga Nadya yang tidak tahu apa-apa. Tapi pernyataan Pak RT itu malah membuat ketiga wanita itu merasa ada yang aneh. “Pak RT, seharusnya bapak berterima kasih dengan Pak Hardi. Dia sudah membantu Bu Nadya dan anak-anak nya. Seandainya menunggu bapak datang bisa terjadi apa-apa dengan Bu Nadya,” sanggah Bu Lastri. Dan ia menungg
Bab 92: Pak RT marah. Melihat Tania berlari keluar dengan wajah panik Wahyu dan Reza pun ikut panik. Spontan mereka bediri dan mendekati Tania. “Tenang dulu Tania,” ujar Wahyu, dia mendekatkan kursi plastik untuk Tania duduk agar gadis itu tenang. “Ada apa?” tanya pemuda itu penasaran. “Mama. Barusan aku bangunkan mama di kamanya, mau aku suruh makan. Tapi mama tidak bergerak,” jelas Tania. Dengan cepat tapi terbata-bata karena terlalu cemas. “Astaghfirullah. Bagaimana ini, Za. Tidak mungkin kita masuk ke kamar Bu Nadya,” ujar Wahyu ikut panik, hingga dia mondar-mandir tidak tahu harus berbuat apa. “Sebentar,” seru Reza, ia bergegas meninggalkan Wahyu dan Tania di teras. Wahyu melihat Reza berlari ke arah rumah tetangga didepan rumah Nadya. Sebentar saja Bu Lastri pemilik rumah berjalan tergesa-gesa bersama Reza kearah rumah Nadya. “Ayo, Tania antar saya ke kamar ibumu!” ucap Bu Lastri yang juga terlihat panik. “Bu. B
Bab 91: Mencekam “Pokoknya sekarang kamu pulang dengan mama…” Nadya membentak Akmal. Sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi rasa takut akan kehilangan anaknya membuat wanita itu kehilangan kendali. Hingga tidak peduli ia memarahi Akmal di tengah orang ramai. “Ma. Tolonglah, mengerti. Akmal hanya ingin bersama papa,”ucap Akmal berharap mamanya mengerti. Mata remaja itu berkaca-kaca. Sedang semua mata memandang pada ibu dan anak yang saling bersitegang mempertahankan haknya. “Aku tidak akan pernah mempercayakan anak ku dengan laki-laki itu. Dirinya saja tidak bisa dia urus. Bagaimana mungkin anakku akan nyaman dengannya,” ucap Nadya dengan kasar pada Wanda yang berdiri bersama Akmal. “Kenapa Nadya? Karena aku cuma orang miskin dan kamu sekarang sudah jadi orang sukses?” tanya Wanda dengan mata berkaca-kaca. Dia sadar dengan keadaan dirinya. Tapi dia juga tidak kuat harus menahan diri berjauhan lebih lama lagi dengan anak lelaki nya.







