“Sayang, ayo bangun. Udah jam berapa ini?” tanya Ambar sambil menyingkap selimut yang membungkus tubuh Brian.
“Brian enggak sekolah, Ma,” ucap bocah usia 11 tahun dengan tatapan mata kuyu.Ambar merasa heran, tak biasanya anak kesayangannya bolos sekolah. Brian terkenal paling rajin dan cerdas di antara teman-teman sebayanya dalam satu kompleks. Oleh karena kecerdasannya pula bocah berkulit bersih ini sering menjuarai olimpiade matematika dan IPA.Berawal dari bimbingan belajar untuk persiapan ke olimpiade, akhirnya Brian semakin akrab dengan Hadi—guru pembimbingnya. Hadi yang seorang penyayang anak bertemu dengan Brian, si anak yatim.Oleh karena komunikasi yang intens antar keduanya, akhirnya berdampak kepada hubungan Hadi dengan Ambar selaku orang tua murid. Takdir pula membawa kedua insan ini mengikatkan janji suci dalam mahligai pernikahan.Ambar melihat raut wajah Brian yang bersemu merah segera meraba kening sang anak.“Panas sekali badanmu, Sayang. Biar diantar Papa periksa,” ucap Ambar sembarimemakaikan jaket ke tubuh Brian. Kedua mata wanita bertubuh langsing ini melirik jarum jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi.“Brian mau diantar Mama,” ujar anak bertubuh bongsor merajuk.“Mama mau ke luar kota. Sehari doang. Diantar Papa, ya? Kalo udah sembuh, kita jalan-jalan,” jelas Ambar sembari melipat selimut lalu menaruhnya di atas bantal.“Brian mau dianter Nenek.” “Nenek lagi sibuk, banyak pesanan katering, Sayang.”“Brian mau tinggal sama Nenek,” kata bocah tersebut segera turun dari ranjang.Dengan langkah tertatih-tatih, Brian menyeret kursi untuk mengambil travel bag dari atas lemari. Ambar cekatan membantu menurunkan benda yang hampir menimpa tubuh sang bocah. Kemudian bocah kelas 5 sekolah dasar tersebut membuka lalu mengeluarkan beberapa pakaiannya dari lemari.Ambar seketika mengambil ponsel dari dalam tas lalu menghubungi nomor nenek Brian. Wanita berkuncir kuda ini beberapa kali melakukan panggilan ke nomor ibu kandungnya. Namun tak ada yang mengangkat telepon.“Gak ada yang angkat, tuh. Periksa ke dokter sama Papa sekalian diantar ke Nenek. Tapi, seminggu doang di sana,” tegas Ambar sembari membantu merapikan pakaian putra tercinta.“Brian mau ke mana?”tanya Hadi yang sudah berdiri di belakang mereka.Brian yang sedang memasukkan perlengkapan sekolah ke dalam ransel melihat Hadi dengan pandangan sinis. Ransel dipanggul di punggung sembari memakai sepatu. Bocah berbadan bongsor ini tanpa bicara menarik travel bag lalu melangkah keluar kamar.Ambar yang baru saja akan menjelaskan tentang rencana Brian kepada sang suami, seketika kaget melihat sang anak sudah beranjak keluar kamar. Pasutri ini segera menyusul langkah kaki Brian. Baru beberapa langkah, tiba-tiba tubuh Brian limbung dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Hadi dengan cekatan menahan tubuh sang bocah.“Papa, ada apa ini? Kenapa Brian bisa semarah ini? Katakan!” teriak Ambar yang panik melihat perubahan si bocah yang dratis, padahal baru ditinggal seminggu.“Sabar, Ma. Kita bawa ke dokter dulu,”sahut Hadi sembari membopong tubuh Brian.Pasutri ini larut dalam pikiran masing-masing. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit hanya terdengar deru napas mereka yang diliputi kecemasan. Ambar yang duduk di belakang sembari memangku tubuh putra kesayangannya, menangis terisak-isak. Dalam seminggu banyak perubahan yang terjadi pada Brian. Badannya menyusut banyak, tak segembul saat terakhir bertemu. Ada noda warna merah di leher dan dadanya.Ini seperti bekas cupang?Siapa yang melakukan?Gak mungkin Brian melakukan sendiri? Aneh!Banyak tanya menggumpal dalam dada Ambar. Feelingnya mengatakan bahwa ada yang tak beres dengan si jagoan. Buliran bening jatuh setetes demi setetes membasahi kedua pipinya.“Pa, apa kegiatan Brian selama ini?” tanya Ambar di sela tangisannya.“Seperti biasa, Ma. Apa lagi?” Hadi menjawab dengan santai seraya memandang sang istri dan anaknya dari kaca spion atas dashbord.“Dia ada main di luar selain dengan teman-teman karibnya?”“Gak ada. Aku ada bersamanya. Seperti biasa, sekolah, basket, main sepeda di taman bersama sohibnya dan tentu aja, les bahasa Inggris dengan Sapto. Gak ada lain.”Ambar mendengar jawaban suaminya dengan berlinang air mata sambil memandang wajah sang bocah bongsor yang tampak kuyu.“Ma-maaa! Brian takut.”“Maaa ...!”Sang bocah mengingau dalam pingsannya dan itu mengingatkan Ambar saat awal sang bocah kehilangan sosok papa. Brian depresi berat saat tahu, sang papa pulang tepat di perayaan ulang tahunnya dalam peti jenazah. Hingga beberapa lama, Ambar tak mau anaknya mengalami trauma lagi.Tak terasa mobil yang membawa mereka telah sampai di tempat parkir rumah sakit. Hadi segera turun dari mobil dan bermaksud ingin membopong sang putra sambung.“Maaa ...! Suruh pergi dia!” teriak Brian tiba-tiba dengan mata masih terpejam.Demi mendengar teriakan sang bocah, Ambar segera menepis tangan Hadi yang sedang terulur. Akhirnya, ada nakes yang melihat keadaan kesulitan Ambar lalu mendorong brankar untuk menghampirinya. Tubuh Brian ditidurkan di atas brankar kemudian didorong ke ruang UGD. Mata Ambar yang awas melihat sesuatu yang mencurigakan di pantat celana Brian. Ada merah noda darah di sana.Ada apa dengan anakku?Ya Tuhan! Cobaan apalagi ini?Tanya Ambar dalam hati dengan hati pilu.Tak lama kemudian, langkah kaki mereka telah sampai di bilik pemeriksaan. Tubuh Brian dipindahkan dan segera dilakukan pemeriksaan oleh dua orang perawat. Ambar segera ke tempat pendaftaran dan mengisi data pasien.Dia segera balik ke tempat pemeriksaan setelahnya. Kini tampak olehnya dokter menggeleng-gelengkan kepala sesaat setelah memeriksa keadaan Brian. Setelah memeriksa dokter ini menghampiri Ambar dan Hadi.“Selamat pagi, Pak Hadi dan Bu Ambar. Setelah hasil laboratorium keluar, kita ngobrol di ruang saya,” ucap pria berjas putih tersebut tersenyum ramah sembari menjabat tangan pasutri di hadapannya.“Selamat pagi juga, Dok,” balas pasutri berbarengan.Dokter ini pun berpamitan kepada keduanya dan melangkah pergi. Ambar yang terlihat kalut segera melangkahkan kaki ke tempat Brian.“Ada apa dengan kamu, Sayang? Cerita ke Mama,” ucap Ambar lirih di telinga sang bocah yang tampak tertekan dalam pingsannya.“Maa ... jangan terlalu larut. Moga Brian segera sembuh. Hanya demam biasa,” sahut Hadi sembari mengusap punggung sang istri yang sedang memeluk Brian.Ambar beberapa saat memeluk dan mencium putra semata wayangnya. Sedangkan Hadi berdiri mematung di samping Ambar dan tak tahu meski bagaimana menenangkan istrinya.Sejam kemudian, seorang perawat mendatangi mereka lalu berkata,” Bapak dan Ibu ditunggu dokter di ruangan beliau. Saya yang akan jaga di sini.”“Biar saya aja, Suster. Tolong Papa jaga Brian, ya,” sahut Ambar sembari menoleh ke arah Hadi dan pria berkaca mata minus ini pun mengangguk.Akhirnya Ambar dengan ditemani perawat menuju ke ruang dokter. Sesampai depan ruangan, Ambar mengetuk pintu. Sang perawat membantu membuka pintu lalu berpamitan setelah Ambar memasuki ruangan.“Silakan duduk, Bu Ambar.”“Terima kasih, Dok. Apa yang terjadi dengan Brian?” tanya Ambar tanpa basa basi dan keduanya telah akrab sejak perawatan depresi Brian tahun lalu.“Sebentar saya jelaskan. Dari pemeriksaan fisik terdapat luka terinfeksi, ada bisul dan radang di seputar dubur dan paha. Sesuai hasil laboratorium mengarah ke herpes simplex adalah penyakit menular seksual (sexually transmitted diseases atau STD) yang disebabkan oleh virus herpes simplex,” jelas sang dokter dengan runtut.“Jadi maksud Dokter ...?” Pertanyaan Ambar menggantung dengan mata melotot."Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu