Share

ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL
ANAKKU DIMANGSA PAEDOFIL
Author: Citra Rahayu Bening

BICARA DENGAN MAMA, NAK!

“Sayang, ayo bangun. Udah jam berapa ini?” tanya Ambar sambil menyingkap selimut yang membungkus tubuh Brian.

“Brian enggak sekolah, Ma,” ucap bocah usia 11 tahun dengan tatapan mata kuyu.

Ambar merasa heran, tak biasanya anak kesayangannya bolos sekolah. Brian terkenal paling rajin dan cerdas di antara teman-teman sebayanya dalam satu kompleks. Oleh karena kecerdasannya pula bocah berkulit bersih ini sering menjuarai olimpiade matematika dan IPA.

Berawal dari bimbingan belajar untuk persiapan ke olimpiade, akhirnya Brian semakin akrab dengan Hadi—guru pembimbingnya. Hadi yang seorang penyayang anak bertemu dengan Brian, si anak yatim.

Oleh karena komunikasi yang intens antar keduanya, akhirnya berdampak kepada hubungan Hadi dengan Ambar selaku orang tua murid. Takdir pula membawa kedua insan ini mengikatkan janji suci dalam mahligai pernikahan.

Ambar melihat raut wajah Brian yang bersemu merah segera meraba kening sang anak.

“Panas sekali badanmu, Sayang. Biar diantar Papa periksa,” ucap Ambar sembari

memakaikan jaket ke tubuh Brian. Kedua mata wanita bertubuh langsing ini melirik jarum jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi.

“Brian mau diantar Mama,” ujar anak bertubuh bongsor merajuk.

“Mama mau ke luar kota. Sehari doang. Diantar Papa, ya? Kalo udah sembuh, kita jalan-jalan,” jelas Ambar sembari melipat selimut lalu menaruhnya di atas bantal.

“Brian mau dianter Nenek.”

“Nenek lagi sibuk, banyak pesanan katering, Sayang.”

“Brian mau tinggal sama Nenek,” kata bocah tersebut segera turun dari ranjang.

Dengan langkah tertatih-tatih, Brian menyeret kursi untuk mengambil travel bag dari atas lemari. Ambar cekatan membantu menurunkan benda yang hampir menimpa tubuh sang bocah. Kemudian bocah kelas 5 sekolah dasar tersebut membuka lalu mengeluarkan beberapa pakaiannya dari lemari.

Ambar seketika mengambil ponsel dari dalam tas lalu menghubungi nomor nenek Brian. Wanita berkuncir kuda ini beberapa kali melakukan panggilan ke nomor ibu kandungnya. Namun tak ada yang mengangkat telepon.

“Gak ada yang angkat, tuh. Periksa ke dokter sama Papa sekalian diantar ke Nenek. Tapi, seminggu doang di sana,” tegas Ambar sembari membantu merapikan pakaian putra tercinta.

“Brian mau ke mana?”tanya Hadi yang sudah berdiri di belakang mereka.

Brian yang sedang memasukkan perlengkapan sekolah ke dalam ransel melihat Hadi dengan pandangan sinis. Ransel dipanggul di punggung sembari memakai sepatu. Bocah berbadan bongsor ini tanpa bicara menarik travel bag lalu melangkah keluar kamar.

Ambar yang baru saja akan menjelaskan tentang rencana Brian kepada sang suami, seketika kaget melihat sang anak sudah beranjak keluar kamar. Pasutri ini segera menyusul langkah kaki Brian. Baru beberapa langkah, tiba-tiba tubuh Brian limbung dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Hadi dengan cekatan menahan tubuh sang bocah.

“Papa, ada apa ini? Kenapa Brian bisa semarah ini? Katakan!” teriak Ambar yang panik melihat perubahan si bocah yang dratis, padahal baru ditinggal seminggu.

“Sabar, Ma. Kita bawa ke dokter dulu,”sahut Hadi sembari membopong tubuh Brian.

Pasutri ini larut dalam pikiran masing-masing. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit hanya terdengar deru napas mereka yang diliputi kecemasan. Ambar yang duduk di belakang sembari memangku tubuh putra kesayangannya, menangis terisak-isak. Dalam seminggu banyak perubahan yang terjadi pada Brian. Badannya menyusut banyak, tak segembul saat terakhir bertemu. Ada noda warna merah di leher dan dadanya.

Ini seperti bekas cupang?

Siapa yang melakukan?

Gak mungkin Brian melakukan sendiri? Aneh!

Banyak tanya menggumpal dalam dada Ambar. Feelingnya mengatakan bahwa ada yang tak beres dengan si jagoan. Buliran bening jatuh setetes demi setetes membasahi kedua pipinya.

“Pa, apa kegiatan Brian selama ini?” tanya Ambar di sela tangisannya.

“Seperti biasa, Ma. Apa lagi?” Hadi menjawab dengan santai seraya memandang sang istri dan anaknya dari kaca spion atas dashbord.

“Dia ada main di luar selain dengan teman-teman karibnya?”

“Gak ada. Aku ada bersamanya. Seperti biasa, sekolah, basket, main sepeda di taman bersama sohibnya dan tentu aja, les bahasa Inggris dengan Sapto. Gak ada lain.”

Ambar mendengar jawaban suaminya dengan berlinang air mata sambil memandang wajah sang bocah bongsor yang tampak kuyu.

“Ma-maaa! Brian takut.”

“Maaa ...!”

Sang bocah mengingau dalam pingsannya dan itu mengingatkan Ambar saat awal sang bocah kehilangan sosok papa. Brian depresi berat saat tahu, sang papa pulang tepat di perayaan ulang tahunnya dalam peti jenazah. Hingga beberapa lama, Ambar tak mau anaknya mengalami trauma lagi.

Tak terasa mobil yang membawa mereka telah sampai di tempat parkir rumah sakit. Hadi segera turun dari mobil dan bermaksud ingin membopong sang putra sambung.

“Maaa ...! Suruh pergi dia!” teriak Brian tiba-tiba dengan mata masih terpejam.

Demi mendengar teriakan sang bocah, Ambar segera menepis tangan Hadi yang sedang terulur. Akhirnya, ada nakes yang melihat keadaan kesulitan Ambar lalu mendorong brankar untuk menghampirinya. Tubuh Brian ditidurkan di atas brankar kemudian didorong ke ruang UGD. Mata Ambar yang awas melihat sesuatu yang mencurigakan di pantat celana Brian. Ada merah noda darah di sana.

Ada apa dengan anakku?

Ya Tuhan! Cobaan apalagi ini?Tanya Ambar dalam hati dengan hati pilu.

Tak lama kemudian, langkah kaki mereka telah sampai di bilik pemeriksaan. Tubuh Brian dipindahkan dan segera dilakukan pemeriksaan oleh dua orang perawat. Ambar segera ke tempat pendaftaran dan mengisi data pasien.

Dia segera balik ke tempat pemeriksaan setelahnya. Kini tampak olehnya dokter menggeleng-gelengkan kepala sesaat setelah memeriksa keadaan Brian. Setelah memeriksa dokter ini menghampiri Ambar dan Hadi.

“Selamat pagi, Pak Hadi dan Bu Ambar. Setelah hasil laboratorium keluar, kita ngobrol di ruang saya,” ucap pria berjas putih tersebut tersenyum ramah sembari menjabat tangan pasutri di hadapannya.

“Selamat pagi juga, Dok,” balas pasutri berbarengan.

Dokter ini pun berpamitan kepada keduanya dan melangkah pergi. Ambar yang terlihat kalut segera melangkahkan kaki ke tempat Brian.

“Ada apa dengan kamu, Sayang? Cerita ke Mama,” ucap Ambar lirih di telinga sang bocah yang tampak tertekan dalam pingsannya.

“Maa ... jangan terlalu larut. Moga Brian segera sembuh. Hanya demam biasa,” sahut Hadi sembari mengusap punggung sang istri yang sedang memeluk Brian.

Ambar beberapa saat memeluk dan mencium putra semata wayangnya. Sedangkan Hadi berdiri mematung di samping Ambar dan tak tahu meski bagaimana menenangkan istrinya.

Sejam kemudian, seorang perawat mendatangi mereka lalu berkata,” Bapak dan Ibu ditunggu dokter di ruangan beliau. Saya yang akan jaga di sini.”

“Biar saya aja, Suster. Tolong Papa jaga Brian, ya,” sahut Ambar sembari menoleh ke arah Hadi dan pria berkaca mata minus ini pun mengangguk.

Akhirnya Ambar dengan ditemani perawat menuju ke ruang dokter. Sesampai depan ruangan, Ambar mengetuk pintu. Sang perawat membantu membuka pintu lalu berpamitan setelah Ambar memasuki ruangan.

“Silakan duduk, Bu Ambar.”

“Terima kasih, Dok. Apa yang terjadi dengan Brian?” tanya Ambar tanpa basa basi dan keduanya telah akrab sejak perawatan depresi Brian tahun lalu.

“Sebentar saya jelaskan. Dari pemeriksaan fisik terdapat luka terinfeksi, ada bisul dan radang di seputar dubur dan paha. Sesuai hasil laboratorium mengarah ke herpes simplex adalah penyakit menular seksual (sexually transmitted diseases atau STD) yang disebabkan oleh virus herpes simplex,” jelas sang dokter dengan runtut.

“Jadi maksud Dokter ...?” Pertanyaan Ambar menggantung dengan mata melotot.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status