Share

UJIAN SEBUAH PERTOBATAN

Mita dan Bu Retno mengangguk ke arah Ambar dan segera direspon dengan sebuah dobrakan keras ke arah pintu oleh si kaki jenjang.Namun, tak membuahkan hasil. Bahan daun pintu yang tebal tak goyah sedikit pun oleh tenaga Ambar.

“Biar Papa aja, Mah,” ucap Hadi yang muncul tiba-tiba lalu mendobrak pintu sekuat tenaga dan pintu pun terbuka.

Dalam toilet, bocah bongsor sedang duduk di lantai sambil bersandar di dinding dengan kaki tertekuk. Kepala tertunduk di atas dua lutut dan kedua lengan memegang erat kakinya. Tubuh Brian menggigil, meski tak terdengar isak tangis.

Ambar segera menghambur ke arah sang putra lalu segera membopong keluar. Hadi yang hendak mendekati mereka, dengan cekatan dicegah oleh Mita.

“Maaf, Bang. Tolong biarkan mereka berdua dulu,” ucap Mita pelan sembari tersenyum.

“Kamu tau apa? Aku ini papanya! Setiap hari Brian bersamaku, siang dan malam. Dia anakku, meski bukan kandung,” teriak Hadi berurai airmata.

Tampak sekali pria ini terguncang jiwanya melihat keadaan sang anak sambung. Bu Retno yang biasa kalem seketika sedikit terpicu emosi.

“Tiap hari bersamamu? Kenapa cucuku bisa kayak gini!” ucapBu Retno tegas dengan penekanan di setiap katanya.

“Kita tunggu penyelidikan polisi, Bu. Hadi enggak terima dituduh oleh Ambar,” balas sang menantu tak mau kalah.

Mita yang melihat kondisi yang mulai tak nyaman ini segera melerai.

“Maaf, Bang Hadi dan Tante. Tolong, kendalikan emosi. Kasian Brian. Saya berbicara sebagai psikiater yang ditunjuk oleh Bu Ambar untuk mendampingi Brian. Bantu kesembuhannya dengan situasi tenang. Satu lagi, sementara waktu, saya mohon ke Bang Hadi untuk menjauh dari Brian. Dia akan histeris tiap bertemu pria. Mohon pengertiannya,” jelas Mita dengan pelan-pelan karena ingin kedua manusia dewasa ini paham dengan kondisi korban sekaligus pasiennya.

Penjelasan panjang lebar dari Mita mampu membuat Hadi segera beranjak dari situ dan tanpa permisi. Kepergian pria berkaca mata minus dengan postur tinggi mirip atlet tersebut diikuti pandangan tajam Bu Retno.

“Tante enggak nyangka, sikap lemah lembut dan perilaku sopan dia, hanya tameng semata,” ucap Bu Retno sinis sembari mengelus dada.

“Gak boleh suudzon, Tante. Bisa masuk fitnah,” ucap Mita sembari mengiringi langkah Bu Retno menuju ranjang pasien.

Kini tampak oleh mereka, Ambar yang memeluk Brian di atas ranjang. Sesekali terdengar isak tangis sang bocah yang sudah mulai tertidur pulas dengan piyama. Bu Retno mengusap rambut Brian lalu mengecup keningnya.

“Sempat cerita apa?” tanya Mita lirih tepat di depan mata Ambar.

Bu Retno mengambil kursi lalu duduk sambil memegang tangan cucunya.

“Di-a bi-lang Ha-di peng-khi-a-nat,” jawab Ambar lirih dan hampir tak terdengar di telinga, selain gerakan mulutnya yang jelas mengeja per-suku kata.

Mita dan Bu Retno seketika terkejut dengan pernyataan Ambar barusan. Mereka jadi berpikir, dengan alasan apa Brian bisa berucap seperti itu.

•••¤•°•¤•••

Dua bulan dari kejadian

Di sebuah kafe kopi ternama, tampak seorang pria berpakaian safari sedang berbincang serius dengan seorang wanita cantik berpakaian seksi.

“Gue denger dari Chris. Lu ngerjain si Brian. Tega bener lu! Gue selama ini diem. Terserah lu mau jadi apa. Jangan sampe gue tau dan denger sendiri kelakuan bejad lu. Tobat! Emang lu kaya, tapi elu kaga mungkin bisa beli akhirat.” Pria berpakaian safari ini tampak memerah raut wajahnya oleh amarah.

“Gue sebel, Bang. Habisnya, udah gue modalin sampe bisa kuliah dan jadi guru kayak sekarang, khianat,” ucap wanita cantik yang ternyata adalah seorang transpuan.

“Lu, ngapain malah oplas kayak gini? Niat nyiksa orang tua kita? Kirain bisa tobat, malah menjadi. Jangan sebut gue Abang lagi. Gue malu punya adek lu,” ucap sang pria lalu bergegas meninggalkan transpuan tersebut.

Pria ini tak lain adalah Sapto, seorang pria berotak cemerlang, yang mempunyai kemampuan fasih dalam berbahasa asing, terutama bahasa Inggris. Dia adalah seorang guru SD yang merangkap sebagai pengajar private bahasa Inggris dan bahasa Jepang.

Setelah mengendarai mobil beberapa kilo dari kafe, yang kebetulan milik sang adik, sang pria membelokkan mobil ke arah sebuah kompleks indekos. Mobil telah sampai di tempat parkir khusus tamu kos, Sapto keluar dari mobil lalu menuju ke salah satu kamar kos.

‘Tok ... tok ... tok!’

“Selamat sore!”

Tak berapa lama terdengar langkah kaki menuju pintu. Seraut wajah menyembul dari balik tirai yang tersingkap sedikit sambil tersenyum. Tampak handle pintu diputar dari dalam dan Sapto seketika tersenyum ramah kepada pemilik kamar tersebut.

“Gimana kabar kamu, Hadi?”

“Baik.Terima kasih mau berkunjung ke mari,” jawab pemilik kamar sembari mempersilakan sang tamu untuk masuk.

“Sendirian nge-kos?” tanya Sapto sembari memidai seisi ruangan yang tampak tertata rapi.

“Sendirianlah. Status aku masih sah suami. Nge-kos dengan laki pun, jadi masalah. Udah tobat pun, masih dicurigai,” ungkap Hadi sembari kedua mata menatap jalan lewat pintu yang terbuka.

Sapto yang mendengar cerita sang teman jadi merasa bersalah. Hadi tak tahu, kalau Iksan yang kini merubah wujud dan nama menjadi Eksanti adalah adik kandungnya. Masih terbayang di pelupuk matanya, saat sang adik diusir dari rumah karena ketahuan mempunyai hubungan asmara dengan sesama jenis.

Hingga akhirnya di rumah kontrakan mewah sang adik, Sapto mendapati kenyataan yang tak disangka-sangka. Di dinding ruang tengah Iksan, terpampang sebuah foto pria yang dia kenal akrab dalam ukuran besar.

Wajah dalam foto yang diakui sang adik sebagai kekasih barunya adalah teman sesama guru di sebuah sekolah dasar swasta. Dia adalah Hadi.

Seorang pengajar pelajaran matematika yang ramah dan sopan serta tak pernah terlihat mempunyai hubungan istimewa dengan wanita, meski banyak lawan jenis yang menyukainya.

Kini, pria ini duduk di hadapannya dengan muka muram karena dipecat dengan tidak hormat karena kasus pelecehan anak yang belum tuntas.

Sapto tahu betul, bagaimana Hadi berusaha keras untuk kembali ke jalan yang benar dalam setahun ini. Pernikahan dengan Ambar adalah sebuah gerbang untuk mewujudkan hidayah tersebut.

“Anggap ujian untuk naik peringkat. Coba bikin lamaran untuk lowker yang aku kirim semalam. Prospek ke depannya bagus,” jelas Sapto sembari mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari ransel.

“Tolong diterima ini dari para guru. Mereka salut padamu dan mendukung pertobatan kamu,” ucap Sapto sembari meletakkan amplop di depan Hadi.

“Ini apa? Kalian gak takut kalo kena skors gara-gara ini?”

“Ngapain takut? Ini di luar jam mengajar. Lagi pula tak pake stempel sekolah. Tunjukkan bahwa kamu memang udah lurus. Lagian kenapa enggak laporkan aja, akun yang sebar berita hoaks itu?”

“Dia punya foto-foto aku saat dulu. Mau gimana lagi?”

“Itu foto-foto lama dan sekarang kamu udah tobat. Buktikan itu!”

Akhirnya setelah sejam berbincang berdua, Sapto pamit pulang.

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status