##BAB 27 Bu WakSetelah kurasa cukup mengistirahatkan tubuhku sejenak. Aku mengajak semua karyawan untuk makan bersama di Restoran milik Mas Frengky. Tentu saja sebelumnya menghubungi Gilang dulu untuk memastikan jika Mas Frengky tak ada di sana.Aku tak mau dia curiga, karena yang dia tahu, saat ini butikku sedang kacau-kacaunya. Bisa fatal kalau sampai Mas Frengky tahu sekarang, itu akan menyebabkan rencanaku gagal total.Menurut sepengetahuan Gilang, saat ini Mas Frengky sedang berupaya membujuk Bu Romlah untuk meminjam sejumlah uang. Mas Frengky pernah meminta beberapa kali pada Gilang sedikit keuntungan Resto sebelum ditransfer padaku. Namun, Gilang selalu beralasan tak berani. Khawatir jika aku mengaudit dan ketahuan, maka akan tamat riwayat Gilang kehilangan mata pencaharian.Hal itu yang membuat Mas Frengky terpaksa harus meminta tolong kepada ibunda tercinta. Biarlah dia tau rasa, mungkin saja juga Bu Romlah tidak akan memberinya secara Cuma-Cuma. Secara, keluarga mereka kan
##BAB 28 Cerita Bu Wak“Dulu ... saat anakku lulus dari SMA, dia ingin segera menikah dengan pacarnya, suamiku tak merestui hubungan mereka. Karena calon menantuku yang tidak bersekolah, suka berjudi dan mabuk-mabukan membuat suamiku pantang menikahkan mereka. Hingga terpaksa putriku kabur dan kawin lari bersama pacarnya, sejak saat itu kami tak pernah mendengar kabarnya hingga suatu ketika. Kurang lebih dua tahun, anakku kembali dalam posisi hamil besar dan tubuh yang tak terawat. Hatiku teriris pedih melihatnya, suamiku marah besar dan ingin mencari suami anakku untuk dimintai pertanggung jawaban. Sudah ke sana ke mari hingga melahirkan pun, kami tak berhasil menemukan lelaki baj*ngan itu. Karena terus memikirkan putri dan cucunya, akhirnya suamiku menjadi depresi dan mulai sakit-sakitan. Tubuhnya ringkih hingga ajal datang menjemputnya. Ternyata Tuhan lebih sayang padanya, sejak kejadian itu, putriku semakin terpukul. Dia merasa dialah penyebab kematian Bapaknya, dia seperti orang
##BAB 29 Bersekongkol dengan Gilang“Tania ... Rosalinda?” ulangku dengan mata membelalak.“Iya betul, Nak. Panggilannya Nia, seperti itu kurang lebih ciri-cirinya. Apa Nak Nayla kenal?” tanya Bu Wak dengan sorot mata berharap.Aku berpikir sejenak, seperti pernah mendengar nama itu. Tapi, di mana? Kapan?Sebelum gegabah aku harus benar-benar memastikannya terlebih dahulu keakuratannya.“Ehm ... nggak papa, Nayla Cuma pernah dengar. Terkesan familiar, tapi biar Nayla pastikan dulu, ya, Wak. Nayla nggak mau Wak terlalu berharap dan bergantung sama Nayla nantinya,” ujarku dengan lembut.“Iya, Ibu paham kok. Kalau gitu Ibu permisi dulu, ya. Sepertinya Vano sudah mulai mengantuk.” Bu Wak beranjak berdiri sembari menggendong Vano.“Iya, Wak. Selamat beristirahat, semoga Wak bisa betah di sini, ya,” kataku seraya membelai rambut bocah menggemaskan itu.“Tentu saja Ibu akan betah di sini, Nak. Hanya saja Ibu sungkan, sudah terlalu banyak merepotkan Nak Nayla.”“Nggak papa, udah nggak usah d
##BAB 30 Mengerjai Mertua“Ibu nggak paham sama omongan lelaki ini, Nayla coba tolong jelaskan!” kata Ibu mertuaku sedikit berteriak.“Apa yang dikatakan lelaki itu benar, Bu. Nayla belum bisa melunasi uang yang sudah Nayla pinjam, terpaksa mobil ini harus disita sampai Nayla punya uang untuk menebusnya,” ucapku sembari menghapus sisa air mata buaya di pipiku.“Tapi, kenapa bisa kamu punya hutang pada rentenir macam ini?” tanya Bu Romlah dengan kening mengkerut.“Apa Ibu belum tahu? Mas Frengky nggak ada cerita sama Ibu, kalau butikku di ambang kebangkrutan. Bahkan aku hampir saja dipenjara, Bu. Sekarang aku sudah tidak punya apa-apa lagi.” Tangisku pecah, aku meraung seakan menghadapi kenyataan yang pahit tersebut.“Nggak ... ini nggak mungkin. Kamu bercanda, ya? Pasti kamu lagi bercanda untuk mengetes Ibu, iya, ‘kan?” Ibu mertuaku malah semakin terkekeh.“Bisa Ibu lihat terlebih dahulu, untuk surat penarikan resmi ini. Bu Nayla sudah menjaminkan surat BPKB ke kantor kami dengan jat
##BAB 31 Penggrebekan“Oh, jadi mereka ini suami istri, ya, Bu? Cocok banget, ya. Perfect!” ujarku dengan nada terkagum.“Loh, katanya Mbak ini temennya. Masak yo ndak tahu kalau Rosa udah bersuami, bahkan juga punya anak udah besar loh, perempuan. Cantik anaknya, menggemaskan,” ujar Ibu penjaga warung.“Maaf, Bu Sita. Bisa Ibu tinggalkan kami sebentar? Soalnya saya mau menjamu tamu saya ini. Kasihan habis dari perjalanan jauh,” kata Rosa dengan tatapan mengiba.“Oh, ya, ya. Baik, silakan. Saya pamit aja kalau gitu,” kata Ibu penjaga itu yang aku ketahui dari Rosa bernama Bu Sita.“Nggak usah, Bu. Mumpung ada Ibu Sita di sini, saya mau tanya-tanya dulu perihal penting!” kataku mencegah Bu Sita yang hendak melangkah pergi.“Lah, nopo, toh, Mbak? Saya harus kembali bekerja noh, bikin jajan buat nanti sore. Kalau nggak gitu nanti nggak bisa beli ikan buat besok. Maaf, orang suami saya Cuma ngojek. Jadi penghasilannya nggak nentu. Saya harus bantu-bantu gitu,” ujar Bu Sita menjelaskan.Bu
##BAB 32 Sanksi Sosial“Bunda ja—hat!” ucap Cahaya sembari menatapku dengan kecewa.Seketika tubuhku ingin pingsan, mendengarkan ucapan anak kandungku yang membela pelakor.“Jangan sakiti Tante Rosa!” teriak Cahaya melepas pelukanku dan menghambur ke pelukan Rosa.Rosa memeluk Cahaya dengan erat, tangisnya tumpah. Mereka menangis bersama.Para warga pun yang sudah berdiri di depan Rosa hanya mematung, tak berkutik. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya.Aku melengos, tak berani menatap mata Cahaya. Tangis ku ingin pecah melihat kedekatan Rosa dan buah hatiku.“Loh, kenapa anak itu malah membela pelakor?” tanya Bu Sita dengan alis mengkerut.“Iya, kok aneh. Kenapa ...?” Para warga saling berbisik satu sama lain. Kini mereka beralih menatapku dengan pandangan menyelidik.“Bunda jahat, Bunda nggak sayang sama Aya, kenapa Bunda datang ke sini malah marahin Tante Rosa? Apa salah Tante Rosa sama Bunda? Aya beneran benci sama Bunda. Bunda orang yang jahat, Bunda masuk neraka aja, n
##BAB 33 Kedatangan CarissaSudah dua hari setelah kejadian ricuh di kontrakan penghianat, aku tak lagi mendengar kabar mereka.Biarlah, aku ingin hidup tenang mulai saat ini. Akan aku perjuangkan apa pun yang mau diperjuangkan. Itu slogan hidupku saat ini.Setelah mengguyur tubuhku di bawah guyuran shower, aku bergegas memakai setelan kantor untuk pergi ke butik. Setiap hari aku pergi ke sana, untuk memantau langsung perkembangannya. Semenjak launching prodak tempo lalu, pelanggan butikku pun membludak. Jadi, aku harus tetap ikut turun tangan untuk memantau kualitas yang selama ini menjadi prioritas.Aroma masakan Bu Wak sungguh menggugah seleraku, ini lah alasanku juga tak begitu pusing memikirkan rumah tanggaku. Karena sudah ada Bu Wak dan Vano yang melengkapi hariku.Aku melihat ada pepes ikan tongkol, sayur asem, sambal goreng ati ayam dan sambal terasi. Tak lupa kerupuk sebagai pelengkap.Wah, menu enak paket lengkap ini, mah, ceritanya.Bergegas aku menyendokkan nasi ke atas pi
##BAB 34 Tanda Lahir“Mbak tahu dari mana, nama lengkapku?” tanya Rosa gusar.Aku tersenyum, memandangnya penuh arti.“Apa yang tidak aku ketahui tentang kamu, Nia?” ujarku sarkas.Rosa semakin belingsatan, raut wajahnya dipenuhi kecemasan.“Nia?” ucap Mas Frengky dengan alis mengkerut.“Iya, pacar kamu ini Nia panggilannya kalau di kampung!” kataku penuh penekanan.“Mas, nggak usah diladenin. Kurasa wanita ini benar-benar sudah hilang kewarasannya!” kata Rosa dengan ketus.“Pergi dari sini. Frengky, seret istrimu ini untuk menjauh dari sini. Ibu nggak mau lagi melihatnya!” bentak Ibu mertua yang membuat dada ini sesak.“Oh, apa semudah ini kamu membuang ku hanya karena aku tak lagi banyak uang?” tanyaku menatap Ibu mertua dengan berani.“Kamu? Nggak sopan, ya! Dasar wanita nggak tahu diri. Pantas saja jika anakmu tak sudi ikut denganmu. Wanita jahanam sepertimu tak pantas dipanggil Ibu!” jawab ibu mertua.“Lalu, apa wanita seperti kamu juga pantas dipanggil Ibu?” tanyaku dengan senyu