##BAB 36 Terbongkar“Nia ....”Rosa menggigit bibir bawahnya dengan keras. Ia tampak ragu, gestur tubuhnya seperti ingin memeluk Bu Wak. Namun, logikanya menolak untuk melakukan itu.Apalagi saat melihat Vano yang tampak menggemaskan. Matanya berkaca-kaca melihat batita yang sedang asyik memegang kembang gula.“Siapa, Ros? Ini Ibumu?” tanya Bu Romlah yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Bu Wak.“Wah, besanku ternyata orang kaya, loh. Jadi selama ini kamu jadi pembantu Cuma nyamar, ya? Pantas ketika kemarin aku menyuruh Rosa untuk menghubungi Ibunya, dia bilang Ibu sedang sibuk panen berlimpah.” Bu Romlah mengayunkan kipas di depan wajahnya. “Terus ini siapa? Adikmu, ya? Lucu banget, menggemaskan!” imbuh Bu Romlah tampak ramah.Aku dan Carissa hanya saling pandang dengan tatapan penuh arti. Ingin rasanya aku terbahak untuk menertawakan mereka.Rosa tak menyahut, dia masih sibuk merangkai kata-kata untuk mengelak, mungkin.“Lihat ya, kalian semua. Terbukti anakku ini si Frengky
##BAB 37 Pernikahan RosaSetelah beberapa menit kami semua tercengang karena penuturan Bu Wak, para tamu undangan saling berbisik dan mengangguk-angguk. Sepertinya topik ini akan menjadi perbincangan hangat esok hari, atau mungkin menjadi viral. Namun aku tak yakin ada yang merekam rangkaian kejadian tadi, mengingat semuanya seakan terhipnotis dengan ketegasan Bu Wak.“Mas ... aku bisa jelasin!” tegas Rosa menatap dalam ke arah Mas Frengky.Yang ditatap hanya mengangkat tangan, menyuruh Rosa untuk diam.“Kamu yakin mau sama janda bodong yang miskin? Mantan pembantu lagi!” ujar Bu Romlah seraya memandang rendah.Mas Frengky hanya terdiam, berulang kali dia terlihat mengusap wajahnya dengan kasar.“Mending batalin aja, deh, Mas. Buat apa menikah sama orang miskin. Nambahin susah aja, mana udah janda plus anak lagi!” cicit Reni ikut-ikutan tak setuju.“Tauk, segitunya banget kamu jadi laki. Ngelepas Mbak Nayla yang kaya, malah dapet rakyat jelata. Lihat, nih, aku. Pacarku ini orang kaya,
##BAB 38 Bersama CahayaTak sampai satu jam, Carissa sudah datang menjemputku. Setelah berpamitan untuk berbasa-basi karena membawa Cahaya, kami pun segera meluncur pulang ke rumah.Rosa tampak ayem-ayem saja. Wajahnya memancarkan aura bahagia yang mendalam. Mungkin dia benar-benar mencintai Mas Frengky, tapi kenapa dia tetap saja tak peduli pada Vano, yang merupakan putra kandungnya sendiri. Malahan dia begitu sayang dengan Cahaya, yang bukan siapa-siapa, bahkan tidak ada ikatan darah sedikitpun dengannya.Aku jadi merasa aneh, apa dia ada misi tersendiri sayang dan perhatian kepada Cahaya? Atau mungkin itu hanya sikapnya yang pura-pura?Aku tak mau ambil pusing, mending aku menikmati waktu bersama Cahaya. Mumpung putriku masih mau ikut denganku.Aku memilih duduk di jok belakang bersama Cahaya, biar Carissa dengan Gilang yang berada di depan. Aku sampai lupa menyadari, kenapa dua insan itu terlihat akrab? Seperti sudah lama saling mengenal.Dari pada aku penasaran, mending kutanyaka
##BAB 39 Tes Psikolog CahayaWaktu dua jam terasa sangat lama bagiku saat ini. Cahaya sampai terlelap setelah melahap burger. Tadi kami sempat mampir ke kedai makanan cepat saji untuk mengisi perut dan berharap bisa untuk membunuh waktu. Namun tetap saja, setelah kembali ke klinik, hasil belum juga keluar. Kami masih harus menunggu beberapa menit lagi.Aku jadi kasihan sama Gilang, pria itu sudah cukup banyak membantuku. Dia lelaki yang baik dan ikhlas, pasti akan menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab kelak untuk keluarga kecilnya.Carissa berjalan maju mundur sembari memainkan ponsel, kepalaku sampai bingung melihatnya yang enggan duduk.“Kamu ngapain sih, maju mundur udah kayak setrikaan, Mbak jadi puyeng. Sini, duduk!” ajakku menepuk kursi kosong di sebelahku.“Nggak, Mbak. Aku tambah kepikiran kalau duduk. Rasanya nggak tenang, kenapa tiba-tiba aku yang jadi deg deg an, ya?” tanya Carissa dengan sorot mata yang sendu.Aku pun hanya mengedikkan bahu, memang di sini hanya ka
##BAB 40 Kondisi CahayaSayup-sayup kudengar suara beberapa orang berbincang-bincang. Aroma minyak kayu putih pun mulai tercium nyengat di hidungku. Kurasakan kepalaku berdenyut, tubuhku lemas.Perlahan aku membuka mata, ada Carissa dan Bu Wak sedang menungguku.“Alhamdulillah, sudah sadar, Mbak!” seru Carissa seraya mengelus dada.“Jangan banyak pikiran, Nak. Serahkan semua ke Allah, pasrah dan ikhlas.” Bu Wak membelai lembut rambutku.Aku masih bingung, apa yang sudah terjadi denganku?Mencoba mengingat kembali kejadian demi kejadian yang aku alami tadi.Ah ... ya, bukankah tadi aku berada di rumah sakit? Lalu, kenapa sekarang sudah berada di rumah?“Mbak Nayla sudah enakan? Apanya yang sakit? Masih pusing?” tanya Carissa terlihat khawatir.“Ehm ... sudah mendingan. Kenapa aku sudah di rumah?” kataku balik bertanya.“Iya, waktu Mbak Nayla pingsan tadi, aku bergegas memanggil Gilang. Akhirnya Mbak digotong deh masuk ke dalam mobil dan dibawa pulang sama kita. Mbak tenang aja, udah Ca
##BAB 41 OperasiSesampainya di rumah sakit, Carissa sedang memarkirkan mobil. Aku beranjak turun untuk segera masuk ke dalam Rumah Sakit. Sesampainya di sana, aku menuju ke ruang IGD. Di sana sudah ada Bu Wak yang sedang menggendong Vano, Bu RT dan suami, serta dua orang tetanggaku yang lain.Alhamdulillah ya Allah, aku masih dikelilingi orang-orang yang baik seperti ini.“Bagaimana, Wak kondisi Cahaya?” tanyaku kepada Bu Wak dengan khawatir.“Masih diperiksa, Nak. Tadi ada Dokter umum yang kebetulan jaga, sedang memeriksa kondisi Cahaya, tapi setelahnya dia juga memanggil Dokter Spesialis lain untuk membantunya. Semoga Cahaya tidak kenapa-napa,” jawab Bu Wak tak kalah sedih.“Mbak Nayla yang sabar, Cahaya pasti akan baik-baik saja,” ujar Bu RT mengelus pundakku. “Makasih banyak ya, Bu RT, Pak RT, Mbak Mira dan Mas Alif, saya nggak tahu harus bagaimana jika tak ada kalian,” ujarku sedikit tenang.“Iya, sama-sama. Mira nggak tahu kalau Bu Wak ini asisten Mbak Nayla. Mira lagi cari tu
##BAB 42 Tindakan“Bagaimana?” tanya Dokter Eko kembali memastikan.“Baik, Dok. Saya setuju, segera lakukan tindakan operasi.” Aku mengangguk pasrah, menyetujui semua tindakan Dokter demi kebaikan Cahaya.Dokter Eko tampak menuliskan sesuatu di atas filenya.“Operasi akan dilaksanakan besok pagi dan berlangsung selama kurang lebih dua jam, saya beserta tim akan berusaha semaksimal mungkin.”Setelah selesai, aku dan Carissa keluar dari ruangan dan memilih menunggu di ruang tunggu.Carissa kembali berjalan mondar-mandir sambil sesekali meremas jarinya.“Mbak ...,” panggil Carissa.Aku hanya mendongak menanggapi panggilan Carissa.“Mbak sudah minta surat keterangan dari Dokter Ellen untuk dibuat bukti menjebloskan mereka?” tanya Carissa membuatku berpikir sejenak.“Iya ... Mbak sampai lupa. Saat ini kondisi Cahaya lebih penting, Mbak mau fokus terlebih dahulu untuk kesembuhan Cahaya,” jawabku tanpa ekspresi.“Lalu, bagaimana kalau mereka kabur?” tanya Carissa membuatku tercengang.Ah ..
##BAB 43 Menyusun Strategi“Kenapa Carissa tak kunjung kembali?” tanyaku lirih. Tiba-tiba saja aku jadi khawatir. Mendadak hatiku cemas, karena tak biasanya dia mengabaikan pesan maupun panggilan telefon dariku.Klek ... kriet ....Suara pintu terbuka dari luar, Carissa muncul dengan wajah lelah dan napasnya ngos-ngosan. Gilang berdiri di belakangnya dengan wajah serius.“Alhamdulillah, syukurlah kamu udah datang. Nggak kenapa-kenapa, kenapa mukamu tegang?” tanyaku penasaran.“Gawat, Mbak!” ujar Carissa masih dengan wajah tegang.“Gawat kenapa? Duduk, sini dulu. Yuk, minum!” ajakku meraih tangannya untuk duduk di sofa.“Ini siapa?” tanya Ayah menunjuk ke arah Gilang.“Oh, maaf, Pak. Perkenalkan nama saya Gilang, karyawan di Resto Mas Frengky,” ujar Gilang menyalami tangan Ayah sembari menunduk. Bibirnya mengulas senyum tipis, terkesan santun.“Oh, ya ... duduk!” kata Ayah menepuk pundak Gilang pelan.“Apa apa, sih?” tanyaku setelah memastikan Carissa sedikit lebih tenang.“Gawat, Mbak