Aku bersandar di balik meja kerja mas Husein dengan hati yang tak karuan rasanya. Kepalaku sakit dan telingaku rasanya berdenging putaran bayangan Mas husein bersama istrinya di dalam mobil, celoteh bocah yang memanggilnya ayah, ucapan ibu mertua permintaan maaf suamiku yang terkesan tidak berprasaan serta rangkaian angka-angka dalam slip gaji dan struk belanja. Itu seperti tumpang tindih dan berlomba di dalam kepalaku, rasanya hati ini makin sesak, dan semua itu seakan terdengar di telingaku secara bersamaan.
"Tidak, tidak mungkin!" Aku menutup telingaku sendiri dengan kedua tangan sambil membenamkan wajah diantara kedua lutut. "Hahaha, hahaha, kau tidak tahu apa-apa!" Kelebatan bunyi tawa dan kumpulan anggota keluarga Mas Husain seakan terlihat di mataku. Wajah dan senyum mereka seperti bayangan kamera yang di zoom in dan out, mendekat lalu menjauh lalu datang tiba-tiba seperti hantu. Aku melihat ibu mertua yang sedang merangkul wanita itu mereka duduk bahagia sambil menuding ke arahku, mereka tertawa bahagia. Arimbi adik iparku juga tertawa, begitu juga suamiku yang hanya tersenyum sinis melihat kebodohanku. Bayangan-bayangan itu membuatku semakin hancur dan depresi, sampai aku tak mampu menahan air mataku. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tiba-tiba Mas Husain datang dan menyentuh bahuku, dia memandangku dengan heran, melihat kertas slip gaji dan struk belanja di tanganku lelaki itu segera mengerti kenapa aku menangis dan terlihat begitu depresi. "Oh, Aku bisa jelaskan itu Alya." "Cukup!" Ini bukan lagi penghianatan, penipuan yang kejam. Sejak kapan kau memiliki gaji sebanyak ini!" Aku melempar kertas slip gaji di wajahnya, pria tampan dengan cambang halus dan kacamata persegi itu hanya menarik nafas dalam sambil menggeleng perlahan. "Ayo ceritakan padaku sejak kapan kau naik ke posisi sebagai manajer operasional, sejak kapan orang-orang mulai menghormatimu dan memanggilmu dengan kata bos, sejak kapan semua itu!" "Uhm, Sebenarnya aku tidak ingin terlalu membanggakan pekerjaan karena itu hanya sementara!" "Oh ya?" Aku tertawa sini sambil merobek kertas struk belanja. "Lalu apa ini, nilai belanjaan yang amat fantastis untuk istri baru dan anakmu. Kenapa kau tidak pernah ceritakan padaku, hah!" Kali ini aku berteriak, aku tidak peduli meski wajahku bersimbah air mata, pashmina yang aku kenakan mulai berantakan dan semuanya kaca. "Aku rasa aku hanya butuh waktu untuk menceritakan semuanya!" "Sejak kemarin kau hanya terus bicara butuh waktu dan butuh Waktu. Kapan waktu yang tepat untuk jujur padaku Kenapa kau tega sekali!" Aku menangis sejadi-jadinya sampai bahu ini terguncang dengan kerasnya. Dia mendatangi lalu meraih tubuhku dan membawaku ke dalam pelukannya. Jujur saja aku tidak menerima perlakuan itu tapi tubuhku tidak bisa memungkirinya. Aku menangis lemas dalam pelukan lelaki itu, dalam pelukan lelaki yang sangat kucintai tapi telah menolehkah luka terdalam. "Aku minta maaf Aku benar-benar minta maaf dan menyesal." "Buat apa menyesal untuk apa nilai penyesalanmu sekarang?! Di mana wanita itu, Kenapa dia pun tidak beritikad baik untuk bertemu denganku dan mencoba memperbaiki hubungan diantara kami!" "Aku berjanji akan membawanya ke hadapanmu dan membuatnya minta maaf." "Apa kau ingin merendahkan dia?" "Lalu aku harus bagaimana? Kalau aku diam saja itu akan salah di matamu, sekarang aku ingin membawanya ke hadapanmu dan itu juga masih salah. Aku harus bagaimana Alya?" "Tidak ada yang benar, semuanya salah karena sejak awal sudah salah! Aku mungkin berat membiarkanmu menikah lagi, tapi jika kau jujur segalanya tidak akan sesakit ini. "Kau pasti akan keberatan!" "Tidak akan, Aku tidak akan keberatan Mas! Justru jika kau utarakan dengan jujur bahwa kau ingin anak dan keluargamu juga mendesak mungkin aku bisa mempertimbangkannya. Sekarang kau menipuku, menipuku di hadapan wajahku, bohongiku mentah mentah!" "Astagfirullah bukan begitu Alya!" "Cukup Mas! Ini benar-benar perlakuan yang kejam!" balasku sambil mendorongnya lalu menjauh dari tempat itu. Cukup sudah mendengar argumen tidak berguna. Aku sudah terlanjur sakit hati dan aku tidak bisa menerima semua alasan-alasan yang semakin diperbanyak semakin terdengar tidak masuk akal. * "Aku berangkat kerja dulu sayang?"Mas Husain berpamitan padaku yang sedang mencuci piring. Aku tidak menjawab malah intensitas suara dari cucian piringku yang semakin kencang saja. Aku membanting panci dan kuali sambil menahan air mataku yang berderai-derai. "Jika kau sudah siap Aku akan membawa Rania dan Aisyah ke hadapanmu." Oh jadi anaknya bernama Aisyah? Hmm, nama yang bener-bener bagus. Aku murkas sekali dan ingin balas dendam tapi... Astaga kenapa aku tiba-tiba kesal pada bocah berusia 3 tahun?? Ya Tuhan... Jangan buat hatiku jahat, anak itu tidak tahu apa-apa dan tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari keluarga yang mana. Jadi aku tidak bisa menyalahkannya. Tidak ada seseorang yang berhak menerima kemarahanku selain Mas Husein, dan bahkan jika aku berhak marah, aku tidak bisa menggugat syariat yang telah ditetapkan agama. Lelaki boleh poligami jika mereka mampu dan mau, menikahi istri kedua, ketiga dan keempat. Kenapa aku harus menentang, kenapa aku harus berdosa dan mendebat takdir Tuhan? Sekali lagi air mataku meluncur dan membuat bola mata ini semakin perih saja. "Aku tidak bisa mengobati luka hatimu selain kau sendiri yang mencoba untuk pulih. Aku ingin tetap berdiri di sisimu dan menggenggam tanganmu. Kau harus tahu aku adalah pendukung utama!" "Pendukung utama yang sekaligus jadi pembunuh utama. Tidaklah tumor yang ada di rahimku lebih menyakitkan dibandingkan berita yang kuterima sehari yang lalu. Ini Titik terburuk dalam hidupku." Ucapanku membuat Mas Husein hanya menggigit bibirnya lelaki itu menghela nafas panjang lalu berangkat kerja tanpa menyambung pembicaraan lagi. Dan ya, begitu dia pergi, aku melanjutkan pekerjaanku sambil menangis, terisak, tergugu pilu, berpindah dari dapur ke ruang tamu, kadang menangis di sisi jendela kadang meringkuk di atas sofa, aku merasa gagal dan segala yang sudah kubangun bertahun-tahun seperti rubuh seketika. Tring! Handuk masih membungkus rambutku yang basah saat telepon dari ibu mertua berdering berkali-kali di atas meja riasku. Sebenarnya aku tidak ingin menjawab panggilan apapun, membahas sesuatu yang sudah tidak pantas dibahas atau membalas pesan dari siapapun. Hatiku lelah dan energiku terkuras. Pikiranku yang penat, perdebatan yang menyakitkan dengan suami, serta ucapan ibu mertua dan yang enteng menambah beban di hatiku. Aku ingin berhenti menangis tapi suasana hatiku tidak kunjung membaik juga. Detik demi detik berlalu, kenyataan dan segala bayangan yang bisa saja terjadi di masa depan membuat kacau perasaanku. "Halo, assalamualaikum umi!" "Kak, umi mau makan siang bersama dengan kalian semua!" Ibu mertua memanggil aku dengan lembut, seperti itulah beliau memanggilku, karena aku adalah istri anak sulungnya jadi semua orang memanggilku dengan ucapan kakak. "M-ma-maaf umi saya sedang kurang sehat," balasku terbata. "Bagaimana kalau umi dan adik-adikmu yang ke situ?" "Tidak umi, Maaf kalau saya terdengar tidak sopan tapi saya benar-benar ingin istirahat." "Sejak pembicaraan kita kemarin apa kau baik-baik saja?" "Aku sedang berusaha untuk baik-baik saja," jawabku lirih. "Ini memang berat tapi seiring hari-hari berlalu kau sendiri akan ikhlas dan menerima segalanya. Adik madumu adalah wanita yang baik dan santun jadi umi tidak akan meragukan kalau kalian akan jadi saudara madu yang akrab." Astagfirullah Aku baru saja ingin berhenti menangis tiba-tiba dia mengatakan sesuatu yang membuat hatiku semakin berat saja. Jangankan untuk berakrab pria dengan maduku menatap wajahnya atau mendengar namanya saja aku sudah murka. Aku benci padanya meski aku tidak mengenalnya dan sebaik apapun wanita itu di mata semua orang tetap saja dia perebut suamiku, dia hanya pencuri di mataku!Sore berlalu dengan cepat menuju senja yang menggantung di langit seperti bara api yang nyaris padam. Angin sepoi bertiup ke arah balkon di mana aku dan Mas Fadli berdiri sambil memandang pemandangan sore. Ini hari pernikahan kami, hari yang harus kami rayakan dengan segelas minuman dan makanan-makanan yang lezat. Ada begitu banyak kue dan puding juga buah-buahan tertata di meja yang diperuntukkan untuk pengantin, dan dibawakan langsung oleh pelayan ke balkon kamar kami. Suasana tambah romantis dengan dekorasi bunga dan lilin yang menyala. Aku masih berada dalam pelukannya, dia berdiri di belakangku lalu merangkulku, mendekatkan wajahnya ke arah leherku, memberiku sentuhan yang membuat nyaman sekaligus menciptakan desir-desir yang tak menentu di dalam dada. Aku dan dia kemudian menikmati makan malam sambil berbincang tentang rencana pekerjaan dan kehidupan kami. Di rumah yang mana kami akan tinggal dan bagaimana kami akan melalui hari-hari. Tak lupa juga kami akan memboyong putriny
Atas ide dari ibu mertua, pernikahan kami dilangsungkan di sebuah garden venue, di pinggir kota. Sebuah hotel mewah dengan lapangan rumput yang luas, memiliki taman cantik serta berdekatan dengan pantai. Di atas rumput hijau yang terbentang luas banyak pohon rindang yang membentuk kanopi alami. Aku dan Mas Fadli sepakat memilih tempat itu karena lebih asri dan menenangkan daripada di dalam gedung. Ribuan mawar dari berbagai warna terurai membentuk pagar bunga yang megah menuju meja akad pernikahan. Tempat akad dihiasi dengan rangkaian bunga-bunga putih yang memberikan kesan elegan dan alami, kursi kayu jati yang diukir dihiasi bantal sutra berwarna ivory. Tak jauh dari sana ada air mancur kecil menyemburkan air jernih yang berkilauan di bawah cahaya matahari menciptakan efek menawan yang magis.Dekorasi meja tamu juga tak kalah memukau, ratusan meja bundar tertata rapi dengan taplak putih. Vas-vas kristal berisi bunga segar menghiasi setiap meja menciptakan suasana romantis yang mew
Tatapan mata kami beradu di puncak percakapan itu, aku terdiam sementara perlahan ia menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Untuk pertama kali Mas Fadli menggenggamnya begitu lama. "Aku ingin kita menikah secepatnya, Aku tak sabar satu rumah denganmu dan menghabiskan hari-hariku. Menceritakan apa yang aku alami dan apa harapanku."suara Mas Fadli terdengar lembut namun penuh keyakinan. Mendengarnya mengatakan itu aku begitu terharu. Telah lama aku mendambakan momen ini, mendapatkan seorang lelaki yang lebih baik dari seseorang yang pernah ada sebelumnya. Merasakan jatuh cinta lagi lalu menuju sebuah pernikahan yang didasari cinta dan kebahagiaan, bukan karena paksaan atau landasan penderitaan. "Baik, Mas. Sehabis bulan puasa, apa kau setuju?""Aku suka, menikah di bulan Syawal memang disarankan, agar pernikahan kita menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah.""Terima kasih ya, kau memberiku impian baru dan bayang-bayang pernikahan yang indah. Terima kasih sudah hadir d
Setelah pembicaraan dengan Rania... Selang 2 jam setelah kepergian wanita itu dari kantorku tiba-tiba ayah dan ibuku juga menelepon, mereka memintaku untuk segera datang karena ada tamu yang sedang menungguku. "Siapa yang sedang menungguku Bunda?""Aku rasa kau juga ingin bertemu dengan mereka karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan dan harus diklarifikasi.""Siapa sih bunda?""Keluarga mertuamu... Orang-orang yang pernah menyakitimu.""Katakan saja kalau aku sedang sibuk. Aku tidak bisa bertemu dengan siapapun karena aku sedang mengerjakan naskah untuk film.""Tapi mereka akan bertahan di sini kalau kau tidak datang. Mereka tidak akan pergi tanpa pengampunan.""Ada apa dengan orang-orang hari ini ya lBunda ... tadi Rania sudah mendatangiku dan sekarang aku harus menemui mantan mertua. Sungguh itu membuatku malas.""Kalau kau tidak mau menemui mereka, maukah kau bicara di telepon?""Iya, berikan saja."Tak lama aku dengar suara Bunda mempersilakan mantan ibu mertuaku untuk bi
Dalam kisah kehidupan dan prahara rumah tanggaku, dimulai dari penghianatan, konflik hingga sampai ke titik perceraian aku tidak banyak melakukan perlawanan pada mas Husein, balas dendam pada rania atau keluarga mertuaku. Saat itu aku sedang sakit dan sekarat oleh tumor rahim yang benar-benar merenggut setengah dari ketentraman hidupku. Melawan rasa sakit saja sudah setengah mati rasanya apalagi ditambah aku harus bertengkar dengan orang-orang dan meluapkan energi. Aku lemah saat itu dan tidak berdaya. Jika ditilik kembali, jujur saja aku sangat marah. Luka-luka di hati entah kapan sembuhnya, tapi aku kembali memetik pelajaran bahwa itu mungkin cara Tuhan mendidik kesabaran dan kepasrahanku, mengajarkan agar aku tidak putus asa dan terus berdoa. Fase 6 bulan yang terlewati itu, bener-bener masa paling suram dalam hidupku. Di sisi lain aku bersyukur pada tuhan bahwa aku masih memiliki keluarga dan sahabat, orang-orang yang mendukung dan tidak pernah meninggalkanku. Adek aku tidak pu
Aku tercengang mendengar tawarannya, harusnya langsung kuiyakan saja tapi pemikiran tentang keluarga dan Mas Husain membuatku bimbang. Ragu menerima apa ini tawaran yang baik ataukah jebakan yang akan membawaku pada kesulitan berikutnya. Menikah dengan pria kaya yang terkenal bukan perkara mudah yang bisa kulakukan begitu saja, ada keluarganya yang harus cocok menerima aku, juga aku harus beradaptasi pada aturan an kebiasaan keluarga mereka."Kenapa kau diam?" tanyanya dengan tatapan mata teduh."Hanya sedang berpikir...apakah aku bisa mengimbangimu atau tidak. Aku sedikit khawatir mengingat status kita yang berbeda.""Status apa Alya...aku hanya lelaki biasa yang kebetulan di beri amanah untuk memimpin perusahaan milik ayahku. Selebihnya aku hanya pria biasa yang ingin mendapatkan wanita terbaik dan jodoh yg telah lama aku nantikan." Dia kembali tersenyum, ucapannya yang tenang serta kata-katanya yang penuh makna membuatku semakin mengaguminya. "Biar aku diskusikan ini dengan kelu