"Umi, maafkanlah saya belum ingin bertemu siapapun dan membahas apapun. Saya butuh istirahat dan waktu untuk mencerna semua ini."
"Umi harap kau bisa menenangkan hatimu, ya Sayang. Toh, Rania dan Husain sudah menikah juga, dan mereka punya anak. Jadi, tidak adil rasanya jika kemarahanmu membuat mereka berdua bercerai. Iya kan, Kak." Aku terdiam, untuk beberapa detik aku terdiam kehilangan kata-kata. Aku tercekat dan ingin sekali memungkiri bahwa sebenarnya aku ingin Rania dan suamiku segera berpisah. Aku ingin keadaan kembali seperti semula, di mana suamiku hanya milikku saja dan dia hanya mencintaiku. Kalau waktu bisa diputar... aku ingin kembali ke beberapa tahun yang lalu, aku ingin menjaga kesehatanku dan melindungi diriku dari penyakit. Aku ingin program kehamilan lebih cepat dan membawakan anak kembar untuk suamiku, kehidupan kami akan harmonis dan bahagia, tentu saja. Tapi, sekali lagi... Itu adalah paradoks waktu yang tidak mungkin diulangi. "Umi, dengar!" "Kau pasti akan baik-baik saja sayang, umi dan adik-adik iparmu akan mendukungmu. Kau adalah istri yang baik dan menantu yang penurut!" "Ummi! Aku tahu aku siapa dan seberapa baik diriku. Tapi untuk sementara ini aku sedang marah, aku sangat-sangat marah jadi tolong jangan paksa aku untuk segera menerima kenyataan ini!" "Oh, uhm, hmm, ma-maaf!"wanita paruh baya itu terdengar gelagapan dari seberang sana. Sepertinya dia malu sekaligus gugup mendengar ucapanku. "Aku ingin wanita itu menjumpai ku dan bicara secara langsung, Aku ingin mendengar permintaan maafnya, Aku ingin dia jujur padaku Kenapa dia merebut suamiku." "Astagfirullah Kak jangan ngomong begitu, dia tidak pernah merebutnya, sampai hari ini husain adalah suamimu. Tidak ada yang direbut sebenarnya, dia hanya membantumu melaksanakan tugasmu." "Tugas untuk menghasilkan anak? Jadi yang terjadi saat ini hanya jarak antara aku dan penghasil anak suamiku, begitu ya?" "Astaga Kak, umi benar-benar terkejut dengan ucapanmu, ini bukan kamu kak...." "Berhentilah untuk terus memaksaku bersikap baik sementara kalian telah membohongiku. Bisa-bisanya semua orang menutup mulut dalam 3 tahun terakhir, Apa kalian tidak kasihan padaku, Apa kalian tidak peduli pada perasaanku sampai semua orang menutupi segalanya. Apa yang umi pikirkan hanya perasaan Rania?" "Bukan begitu, Kak?" "Ataukah karena aku sakit-sakitan dan mau mati... Jadi kalian semua sudah mencanangkan istri dan anak baru untuk suamiku?" "Astagfirullah Kak sebaiknya percakapan kita tidak usah dilanjutkan ya Kak takutnya umi dan kamu sama-sama sakit hati, jadi tolong jaga dirimu di seberang sana dan sampai nanti." Klik! Aku belum selesai marah tapi ibu mertua sudah kabur dari pembicaraan kami, buru-buru ia mengatakan pamit, lalu mematikan ponselnya di wajahku. Aku tersinggung, tapi itu lebih baik daripada kami akan bertengkar dan saling menghujat. Dan... Seperti biasa, selalu klise seperti ini, jika ada wanita yang tersakiti, mereka mereka akan pulang dan mengadu ke rumah orang tuanya, menangis sejadi-jadinya, mencoba menemukan solusi, lalu memutuskan untuk berpisah. Aku juga ingin melakukan hal yang sama, pulang ke rumah ayahku merajuk dan mengadu padanya, menangis histeris, dan mengungkapkan kemarahanku tapi bagaimana orang tuaku akan menghadapi situasi ini. Dia mungkin akan bertengkar dengan menantunya dan saling membenci. Aku pun belum bisa memastikan Apakah aku masih bersama Husain ke depannya ataukah bercerai. akan lucu kalau aku mengadu pada ayahku dan membuat suamiku ditampar, sementara akhirnya aku tidak bercerai dengannya. Kebencian dan ketegangan antara menantu dan mertua tidak akan bisa dihindari. * Kelopak bunga kenanga terlihat cerah di antara latar awan biru dengan barisan mega seputih kapas Sejak pukul 09.00 pagi aku duduk di bangku taman sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan, dahan pepohonan yang tertiup angin juga burung pipit yang berkejaran. Sesekali menangis, satu kali aku mencoba tanpa tapi sesekali juga ada skenario balas dendam paling menyakitkan yang bisa kulakukan untuk Rania dan suamiku. Tapi bagian terakhir... aku tidak akan melakukannya kecuali mereka menyakitiku dengan cara terburuk. Kulirik layar ponselku, ada 15 panggilan terjawab dari Mas Husein, ada beberapa chat di W******p tapi aku enggan untuk melihatnya. Paling-paling dia hanya ingin minta maaf dan memaksaku untuk segera menemui istri dan anaknya. Hatiku rasanya getir menyadari bahwa seseorang sedang berjuang untuk menghalalkan hubungan dan membuat semua orang menerima itu hubungan rahasia yang ingin segera terlihat nyata. Hah, dan aku tiba-tiba tertawa. "Boleh duduk di sini?" Suara seorang pria dari belakangku menyentak lamunan ini, nadanya berat tapi terdengar merdu seperti siaran Hard Rock FM. Mataku menoleh, hatiku tersentak dan jantungku berdegup. Seorang pria berkulit putih dengan tatanan rambut belah pinggir yang rapi, senyum lebar yang menawan dan kacamata hitam membingkai wajahnya. "Silakan!" Kata orang bertemu pria tampan akan meningkatkan mood memperbaiki daya ingat dan memberi motivasi semangat, tapi aku sama sekali tidak tertarik, malah sekarang Aku ingin segera bangkit dan menjauhinya. "Aku sedang menunggu seseorang tapi lama sekali,"ujarnya sambil menggulir layar ponsel. "Oh." Sudah kubilang aku tidak tertarik Aku tidak ingin dia bicara padaku karena aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, Aku tidak mau menanggapinya dan tidak ingin dia mengajakku bicara. "Apa yang dilakukan seorang wanita berpakaian rapi di jam kerja? Apa kamu sedang menunggu klien?" "Aku hanya ibu rumah tangga, bukan pekerja." "Kupikir pekerja kantoran di gedung sebelah, karena penampilanmu sangat rapi?" "Oh, tidak." Aku mencoba tersenyum tapi mataku terlihat jelas menunjukkan kesedihan, sembab perih dan air matanya banyak. "Maaf tapi apa kau baik-baik saja?" "Aku baik-baik saja, permisi!" Aku segera berdiri dan meraih tasku tapi lelaki itu malah menahanku. "Jika kau tidak baik-baik saja aku disini, kita mungkin bisa bicara atau minum kopi!" "Maaf aku tidak bicara dengan orang asing! Permisi!" Kutinggalkan pria berjas biru navy itu, sesekali menoleh padanya dan dia masih terlihat tercengang sekaligus heran padaku. Mungkin reaksiku aneh dan terlalu berlebihan tapi aku benar-benar tidak ingin bicara pada siapapun saat ini. * Langit sore terlihat kuning seperti bara yang akan redup, aku tiba di rumah dengan beberapa tas belanja setelah menghabiskan banyak waktu di supermarket untuk berkeliling, memilih bahan belanjaan, kadang menangis, kadang makan es krim lalu hanya duduk bingung selama 2 jam. Waktu menunjukkan pukul empat sore, suamiku sudah tiba di rumah dan terlihat sedang merawat tanaman. Ada beberapa koleksi mawar kaktus dan lidah buaya kesukaannya jadi dia akan menyiramnya sambil bersiul dan bersenandung gembira. Dulu itu adalah kegiatan kesukaan kami, dia merawat tanaman lalu aku akan menggodanya dari teras, sekarang aku muak, jangankan memandangnya... melihat siluet badannya dari belakang saja aku sudah marah. "Kau darimana?" Aku hanya mengangkat bahu. Sambil menunjukkan tas belanjaanku. Sebenarnya dilema sekali untuk bersikap tidak sopan pada suami sendiri. Aku ingin cemberut sepanjang waktu, aku ingin kasar setiap kali dia bertanya, dan aku ingin membuat rumah ini seperti neraka, di mana tidak ada ketentraman di dalamnya. Tapi Apa untungnya bagiku, pria itu akan benci dan semakin jauh dariku. Rumah tangga kami akan berantakan lalu kami bercerai dan tidak menyisakan perasaan apapun selain kebencian. Dia tidak akan pernah menyesal dan minta maaf, juga tidak akan pernah menyadari nilai istrinya yang berharga. Ya, setidaknya aku masih merasa berharga, Karena itulah aku menghargai integritas diriku. "Aku beli makanan dari luar, kau tidak usah repot-repot masak hari ini!" "Oh ya? Terima kasih atas kebaikanmu." "Biasa saja sayang, kita selalu melakukan ini kan." "Dulu senyummu menawan tapi sekarang kau seperti tokoh jahat yang sedang berpura-pura padaku. Hentikan senyum itu!" Ketika pria itu mendadak pucat dan malu padaku. Dia hanya menelan ludah sambil mematikan keran air yang ada di tangannya. "Mau keluar jalan-jalan denganku?" "Saat ini aku sedang berada di puncak kebencian padamu jadi aku tidak mau berdekatan, apalagi jalan-jalan denganmu. Jadi Terima kasih atas tawaranmu," balasku sambil membawa masuk tas belanja dan menghempaskannya di atas meja dapur. Dengan manisnya dia menawarkan jalan-jalan sementara angka 90 juta terus terngiang-ngiang di kepalaku. 10 juta untukku Dan aku memanfaatkannya dengan baik sementara Rania menghamburkan 90 juta dengan gembira. Astaga Aku benar-benar ingin mencabik seseorang.Sore berlalu dengan cepat menuju senja yang menggantung di langit seperti bara api yang nyaris padam. Angin sepoi bertiup ke arah balkon di mana aku dan Mas Fadli berdiri sambil memandang pemandangan sore. Ini hari pernikahan kami, hari yang harus kami rayakan dengan segelas minuman dan makanan-makanan yang lezat. Ada begitu banyak kue dan puding juga buah-buahan tertata di meja yang diperuntukkan untuk pengantin, dan dibawakan langsung oleh pelayan ke balkon kamar kami. Suasana tambah romantis dengan dekorasi bunga dan lilin yang menyala. Aku masih berada dalam pelukannya, dia berdiri di belakangku lalu merangkulku, mendekatkan wajahnya ke arah leherku, memberiku sentuhan yang membuat nyaman sekaligus menciptakan desir-desir yang tak menentu di dalam dada. Aku dan dia kemudian menikmati makan malam sambil berbincang tentang rencana pekerjaan dan kehidupan kami. Di rumah yang mana kami akan tinggal dan bagaimana kami akan melalui hari-hari. Tak lupa juga kami akan memboyong putriny
Atas ide dari ibu mertua, pernikahan kami dilangsungkan di sebuah garden venue, di pinggir kota. Sebuah hotel mewah dengan lapangan rumput yang luas, memiliki taman cantik serta berdekatan dengan pantai. Di atas rumput hijau yang terbentang luas banyak pohon rindang yang membentuk kanopi alami. Aku dan Mas Fadli sepakat memilih tempat itu karena lebih asri dan menenangkan daripada di dalam gedung. Ribuan mawar dari berbagai warna terurai membentuk pagar bunga yang megah menuju meja akad pernikahan. Tempat akad dihiasi dengan rangkaian bunga-bunga putih yang memberikan kesan elegan dan alami, kursi kayu jati yang diukir dihiasi bantal sutra berwarna ivory. Tak jauh dari sana ada air mancur kecil menyemburkan air jernih yang berkilauan di bawah cahaya matahari menciptakan efek menawan yang magis.Dekorasi meja tamu juga tak kalah memukau, ratusan meja bundar tertata rapi dengan taplak putih. Vas-vas kristal berisi bunga segar menghiasi setiap meja menciptakan suasana romantis yang mew
Tatapan mata kami beradu di puncak percakapan itu, aku terdiam sementara perlahan ia menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Untuk pertama kali Mas Fadli menggenggamnya begitu lama. "Aku ingin kita menikah secepatnya, Aku tak sabar satu rumah denganmu dan menghabiskan hari-hariku. Menceritakan apa yang aku alami dan apa harapanku."suara Mas Fadli terdengar lembut namun penuh keyakinan. Mendengarnya mengatakan itu aku begitu terharu. Telah lama aku mendambakan momen ini, mendapatkan seorang lelaki yang lebih baik dari seseorang yang pernah ada sebelumnya. Merasakan jatuh cinta lagi lalu menuju sebuah pernikahan yang didasari cinta dan kebahagiaan, bukan karena paksaan atau landasan penderitaan. "Baik, Mas. Sehabis bulan puasa, apa kau setuju?""Aku suka, menikah di bulan Syawal memang disarankan, agar pernikahan kita menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah.""Terima kasih ya, kau memberiku impian baru dan bayang-bayang pernikahan yang indah. Terima kasih sudah hadir d
Setelah pembicaraan dengan Rania... Selang 2 jam setelah kepergian wanita itu dari kantorku tiba-tiba ayah dan ibuku juga menelepon, mereka memintaku untuk segera datang karena ada tamu yang sedang menungguku. "Siapa yang sedang menungguku Bunda?""Aku rasa kau juga ingin bertemu dengan mereka karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan dan harus diklarifikasi.""Siapa sih bunda?""Keluarga mertuamu... Orang-orang yang pernah menyakitimu.""Katakan saja kalau aku sedang sibuk. Aku tidak bisa bertemu dengan siapapun karena aku sedang mengerjakan naskah untuk film.""Tapi mereka akan bertahan di sini kalau kau tidak datang. Mereka tidak akan pergi tanpa pengampunan.""Ada apa dengan orang-orang hari ini ya lBunda ... tadi Rania sudah mendatangiku dan sekarang aku harus menemui mantan mertua. Sungguh itu membuatku malas.""Kalau kau tidak mau menemui mereka, maukah kau bicara di telepon?""Iya, berikan saja."Tak lama aku dengar suara Bunda mempersilakan mantan ibu mertuaku untuk bi
Dalam kisah kehidupan dan prahara rumah tanggaku, dimulai dari penghianatan, konflik hingga sampai ke titik perceraian aku tidak banyak melakukan perlawanan pada mas Husein, balas dendam pada rania atau keluarga mertuaku. Saat itu aku sedang sakit dan sekarat oleh tumor rahim yang benar-benar merenggut setengah dari ketentraman hidupku. Melawan rasa sakit saja sudah setengah mati rasanya apalagi ditambah aku harus bertengkar dengan orang-orang dan meluapkan energi. Aku lemah saat itu dan tidak berdaya. Jika ditilik kembali, jujur saja aku sangat marah. Luka-luka di hati entah kapan sembuhnya, tapi aku kembali memetik pelajaran bahwa itu mungkin cara Tuhan mendidik kesabaran dan kepasrahanku, mengajarkan agar aku tidak putus asa dan terus berdoa. Fase 6 bulan yang terlewati itu, bener-bener masa paling suram dalam hidupku. Di sisi lain aku bersyukur pada tuhan bahwa aku masih memiliki keluarga dan sahabat, orang-orang yang mendukung dan tidak pernah meninggalkanku. Adek aku tidak pu
Aku tercengang mendengar tawarannya, harusnya langsung kuiyakan saja tapi pemikiran tentang keluarga dan Mas Husain membuatku bimbang. Ragu menerima apa ini tawaran yang baik ataukah jebakan yang akan membawaku pada kesulitan berikutnya. Menikah dengan pria kaya yang terkenal bukan perkara mudah yang bisa kulakukan begitu saja, ada keluarganya yang harus cocok menerima aku, juga aku harus beradaptasi pada aturan an kebiasaan keluarga mereka."Kenapa kau diam?" tanyanya dengan tatapan mata teduh."Hanya sedang berpikir...apakah aku bisa mengimbangimu atau tidak. Aku sedikit khawatir mengingat status kita yang berbeda.""Status apa Alya...aku hanya lelaki biasa yang kebetulan di beri amanah untuk memimpin perusahaan milik ayahku. Selebihnya aku hanya pria biasa yang ingin mendapatkan wanita terbaik dan jodoh yg telah lama aku nantikan." Dia kembali tersenyum, ucapannya yang tenang serta kata-katanya yang penuh makna membuatku semakin mengaguminya. "Biar aku diskusikan ini dengan kelu