Aku tercekat mendengar ucapan ibu mertua, kaget seakan diberi pukulan yang amat menyakitkan.
Aku terdiam sembari memikirkan nilai diriku dan bagaimana mereka telah menganggapku selama ini. Kupikir aku dihargai, ternyata aku hanya seperti remahan roti diantara makanan berharga. Kukira mereka akan mengatakannya dengan jujur dan melibatkanku dalam semua keputusan keluarga, tapi ternyata aku adalah orang yang terakhir tahu fakta sebenarnya. "Apa kau mendengar umi?" Wanita itu mendekat dan mengguncang lututku. Pakaian yang masih sama dengan pakaianku di pagi hari saat berangkat ke klinik tadi. Aku menoleh ke arahnya dan air mataku kembali menetes lagi. Wanita itu tidak menunjukkan penyesalan atau raut kesedihan melainkan hanya senyum tipis dan anggukan kepalanya. "Umi yakin semuanya akan baik-baik saja?" Dia menggenggam tanganku sambil tersenyum, senyumnya seperti tombak yang menghujam hati, sementara suamiku berdiri menyandar di dinding sambil melipat tangannya di dada. Kedua manusia ini, dengan cara apapun mereka tidak akan bisa menyembuhkan hatiku yang terlanjur berdarah-darah. "Jadi wanita itu tinggal di mana?" "Uhm, kami akan ceritakan detailnya nanti." "Wanita itu tinggal di mana Dan kenapa aku tidak pernah tahu! Kenapa gelagat suamiku tidak pernah terlihat mencurigakan!' "Itu karena kami mengaturnya dengan baik agar kau tidak pernah kekurangan waktu dan kasih sayang dari Husain!" Apa? Apa ini adalah bentuk kebaikan atau malah kejahatan terburuk? Aku terhenyak bibirku keluh dan tenggorokanku rasanya makin bengkak saja. Aku ingin berteriak atau menangis kencang tapi aku kehabisan tenaga. Pun, tidak pantas rasanya menunjukkan kelemahan di hadapan orang-orang yang makin melecehkanku. * "Baiklah Kami tidak akan mengganggumu lebih banyak dari ini. Sebaiknya kau tenangkan dirimu, umi harus pulang karena akan menjemput cucu." Wanita paruh baya dengan celak mata yang terlihat cantik itu memberi isyarat pada putrinya agar ikut dengannya, setelah mengambil tas dan berpamitan pada putranya suamiku mengantarkan ibunya ke gerbang rumah sampai wanita itu meluncur bersama adik iparku dengan mobilnya. Mas Husain terlihat menutup gerbang, mendung mulai menutupi cerahnya awan, gemuruh di langit seperti akan menumpahkan hujan yang deras. Perlahan rintik-rintik air jatuh di atas kelopak tanaman lalu mulai deras dan deras saja. "Kamu mandi dan bersihkan diri ya biar aku yang masak makan malam." "Nggak usah repot-repot, aku bisa cari makan sendiri." "Loh Jangan gitu dong Sayang, aku tetap suamimu, apapun yang terjadi kau prioritasku." "Jangan kasihan padaku hanya karena aku sakit aku tahu keadaanku memburuk, tubuhku makin kurus dan situasinya semakin tidak baik mungkin aku akan mati tapi aku tidak akan mati dalam keadaan menderita karena kamu!" "Jangan bilang begitu Alya...." "Entah aku akan sembuh atau aku akan meninggal tapi aku tidak ridho dengan perbuatanmu, jadi aku belum yakin aku bisa memaafkanmu," jawabku sambil berdiri lalu beranjak ke kamarku. Kukunci pintunya karena tak mau lelaki itu menyusul masuk dan melanjutkan bujukannya. Di belakang pintu aku meluncur lemah dan terduduk di lantai dengan hati yang remuk remak. Tangisanku tumpah diantara Rinai hujan yang makin deras, suara guruh di langit sana mengalahkan betapa bergejolaknya luka yang kini semakin menyayat hati. Aku membekap mulutku, mencoba merendahkan suaraku meski sebenarnya aku ingin sekali berteriak. Aku benar-benar hancur. No * Udara malam terasa dingin seperti kabut abadi yang melingkupi sekitarku. Dari kejauhan lampu-lampu kota terlihat redup, sementara aku di sini masih memeluk lutut dan meratapi kelanjutan takdirku. Obat teronggok begitu saja di atas meja, masih dengan resep yang sama seperti pagi hari, diminum tiga kali sehari tapi aku belum meminumnya sekalipun. Rasa sakit yang melilit di bagian rahim dan perutku mengalahkan sakit yang kini menusuk-nusuk di hatiku. Aku tidak percaya kenyataan bahwa aku adalah istri yang paling dicintai tapi tiba-tiba menjadi orang yang paling dikhianati dalam keluarga ini. Ah, entah kenapa air mataku berderai lagi. * Udara pagi masih begitu dingin, kegelapan masih pekat sementara suara lantunan Alquran masih mengalun di masjid. Aku bangun untuk menyiapkan sarapan kemudian pergi ke ruang kerja mas Husein untuk memeriksa apa yang selama ini kulewatkan. Aku ingin menemukan petunjuk, siapa Rania Di mana tempat tinggal wanita itu dan pasti ada sesuatu yang bisa membawaku kepada kenyataan yang sebenarnya. Sejak kapan mereka menikah, berapa umur anak mereka lahir di mana dan bagaimana semua orang berhasil menyembunyikannya dariku. Aku yakin mereka punya grup W******p pembicaraan di mana aku bukan sebagai anggotanya. Aku yakin ada pertemuan-pertemuan khusus yang selama ini kulewatkan, sementara suamiku menipu diri ini dengan berbagai alasan. Tidak mungkin dia menikah tanpa perencanaan. Lalu membawa wanita itu ke kota ini dan tinggal dengan nyaman, seakan-akan aku sudah meninggal dunia. Bagaimana seorang suami yang tengah berbohong pada istrinya bisa melenggang santai membawa keluarga rahasianya berkeliling kota dengan mobil dan bergembira. Ah, Apakah dia hanya menunda waktu untuk jujur padaku agar aku tidak menderita ataukah sengaja mengulur waktu demi membuatku makin tersakiti dan lemah. Kutemukan beberapa struk belanja di antara berkas-berkas pekerjaannya, pembelian beberapa kaleng susu botol, Popok dan keperluan anak. Nilainya cukup besar dari uang yang selama ini Ia berikan padaku. Belum lagi stroke belanja bulanan dan beberapa tagihan listrik dan internet. Hal yang membuatku makin terbelalak adalah alamat apartemen dari tagihan-tagihan tersebut. Apartemen yang berada di Green Flower city, kawasan elit di mana penghuninya hanya orang-orang yang memiliki gaji dua digit dan gaya hidup yang mewah. Masya Allah, sejak kapan Mas Husin memiliki pendapatan sebanyak itu, dan yang lebih mengejutkan lagi itu, bagaimana pendapatan tersebut bisa cukup dan dibagikan untuk dua keluarga. Aku semakin penasaran dan mulai mengobrak-abrik berkas, mencari bukti slip gaji atau apa saja yang bisa meyakinkan prasangkaku selama ini. Tinggal di green city, menyewa sebuah apartemen dengan harga fantastis, punya mobil yang bagus, serta anak istri yang terjamin kehidupannya. Aku tidak yakin kalau gaji Masih husain hanya 10 juta, sementara sebagian besar uang itu untukku. Aku benar-benar tidak percaya padanya. Dan jantungku semakin berdegup kencang, bergemuruh seiring dengan sebuah lembar slip gaji yang jatuh di antara kertas-kertas struk belanja. Itu slip gaji dan bonus akhir tahun, yang nilainya adalah 3 digit. Aku gemetar melihat angka-angka yang berderet, dadaku sesak sakit antara ingin berteriak dan mencecarnya dengan pertanyaan, tapi, yang paling menyakitkan adalah, aku tidak pernah tahu bahwa selama ini gaji suamiku sangat-sangat banyak, lebih banyak daripada yang kuterima selama ini. Ke mana sisanya, untuk siapa dan dia gunakan sebagai apa? Jika aku hanya menerima 10 juta dari 100 juta ke mana 90 juta. Ya Allah! Aku lemes seketika.Sore berlalu dengan cepat menuju senja yang menggantung di langit seperti bara api yang nyaris padam. Angin sepoi bertiup ke arah balkon di mana aku dan Mas Fadli berdiri sambil memandang pemandangan sore. Ini hari pernikahan kami, hari yang harus kami rayakan dengan segelas minuman dan makanan-makanan yang lezat. Ada begitu banyak kue dan puding juga buah-buahan tertata di meja yang diperuntukkan untuk pengantin, dan dibawakan langsung oleh pelayan ke balkon kamar kami. Suasana tambah romantis dengan dekorasi bunga dan lilin yang menyala. Aku masih berada dalam pelukannya, dia berdiri di belakangku lalu merangkulku, mendekatkan wajahnya ke arah leherku, memberiku sentuhan yang membuat nyaman sekaligus menciptakan desir-desir yang tak menentu di dalam dada. Aku dan dia kemudian menikmati makan malam sambil berbincang tentang rencana pekerjaan dan kehidupan kami. Di rumah yang mana kami akan tinggal dan bagaimana kami akan melalui hari-hari. Tak lupa juga kami akan memboyong putriny
Atas ide dari ibu mertua, pernikahan kami dilangsungkan di sebuah garden venue, di pinggir kota. Sebuah hotel mewah dengan lapangan rumput yang luas, memiliki taman cantik serta berdekatan dengan pantai. Di atas rumput hijau yang terbentang luas banyak pohon rindang yang membentuk kanopi alami. Aku dan Mas Fadli sepakat memilih tempat itu karena lebih asri dan menenangkan daripada di dalam gedung. Ribuan mawar dari berbagai warna terurai membentuk pagar bunga yang megah menuju meja akad pernikahan. Tempat akad dihiasi dengan rangkaian bunga-bunga putih yang memberikan kesan elegan dan alami, kursi kayu jati yang diukir dihiasi bantal sutra berwarna ivory. Tak jauh dari sana ada air mancur kecil menyemburkan air jernih yang berkilauan di bawah cahaya matahari menciptakan efek menawan yang magis.Dekorasi meja tamu juga tak kalah memukau, ratusan meja bundar tertata rapi dengan taplak putih. Vas-vas kristal berisi bunga segar menghiasi setiap meja menciptakan suasana romantis yang mew
Tatapan mata kami beradu di puncak percakapan itu, aku terdiam sementara perlahan ia menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Untuk pertama kali Mas Fadli menggenggamnya begitu lama. "Aku ingin kita menikah secepatnya, Aku tak sabar satu rumah denganmu dan menghabiskan hari-hariku. Menceritakan apa yang aku alami dan apa harapanku."suara Mas Fadli terdengar lembut namun penuh keyakinan. Mendengarnya mengatakan itu aku begitu terharu. Telah lama aku mendambakan momen ini, mendapatkan seorang lelaki yang lebih baik dari seseorang yang pernah ada sebelumnya. Merasakan jatuh cinta lagi lalu menuju sebuah pernikahan yang didasari cinta dan kebahagiaan, bukan karena paksaan atau landasan penderitaan. "Baik, Mas. Sehabis bulan puasa, apa kau setuju?""Aku suka, menikah di bulan Syawal memang disarankan, agar pernikahan kita menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah.""Terima kasih ya, kau memberiku impian baru dan bayang-bayang pernikahan yang indah. Terima kasih sudah hadir d
Setelah pembicaraan dengan Rania... Selang 2 jam setelah kepergian wanita itu dari kantorku tiba-tiba ayah dan ibuku juga menelepon, mereka memintaku untuk segera datang karena ada tamu yang sedang menungguku. "Siapa yang sedang menungguku Bunda?""Aku rasa kau juga ingin bertemu dengan mereka karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan dan harus diklarifikasi.""Siapa sih bunda?""Keluarga mertuamu... Orang-orang yang pernah menyakitimu.""Katakan saja kalau aku sedang sibuk. Aku tidak bisa bertemu dengan siapapun karena aku sedang mengerjakan naskah untuk film.""Tapi mereka akan bertahan di sini kalau kau tidak datang. Mereka tidak akan pergi tanpa pengampunan.""Ada apa dengan orang-orang hari ini ya lBunda ... tadi Rania sudah mendatangiku dan sekarang aku harus menemui mantan mertua. Sungguh itu membuatku malas.""Kalau kau tidak mau menemui mereka, maukah kau bicara di telepon?""Iya, berikan saja."Tak lama aku dengar suara Bunda mempersilakan mantan ibu mertuaku untuk bi
Dalam kisah kehidupan dan prahara rumah tanggaku, dimulai dari penghianatan, konflik hingga sampai ke titik perceraian aku tidak banyak melakukan perlawanan pada mas Husein, balas dendam pada rania atau keluarga mertuaku. Saat itu aku sedang sakit dan sekarat oleh tumor rahim yang benar-benar merenggut setengah dari ketentraman hidupku. Melawan rasa sakit saja sudah setengah mati rasanya apalagi ditambah aku harus bertengkar dengan orang-orang dan meluapkan energi. Aku lemah saat itu dan tidak berdaya. Jika ditilik kembali, jujur saja aku sangat marah. Luka-luka di hati entah kapan sembuhnya, tapi aku kembali memetik pelajaran bahwa itu mungkin cara Tuhan mendidik kesabaran dan kepasrahanku, mengajarkan agar aku tidak putus asa dan terus berdoa. Fase 6 bulan yang terlewati itu, bener-bener masa paling suram dalam hidupku. Di sisi lain aku bersyukur pada tuhan bahwa aku masih memiliki keluarga dan sahabat, orang-orang yang mendukung dan tidak pernah meninggalkanku. Adek aku tidak pu
Aku tercengang mendengar tawarannya, harusnya langsung kuiyakan saja tapi pemikiran tentang keluarga dan Mas Husain membuatku bimbang. Ragu menerima apa ini tawaran yang baik ataukah jebakan yang akan membawaku pada kesulitan berikutnya. Menikah dengan pria kaya yang terkenal bukan perkara mudah yang bisa kulakukan begitu saja, ada keluarganya yang harus cocok menerima aku, juga aku harus beradaptasi pada aturan an kebiasaan keluarga mereka."Kenapa kau diam?" tanyanya dengan tatapan mata teduh."Hanya sedang berpikir...apakah aku bisa mengimbangimu atau tidak. Aku sedikit khawatir mengingat status kita yang berbeda.""Status apa Alya...aku hanya lelaki biasa yang kebetulan di beri amanah untuk memimpin perusahaan milik ayahku. Selebihnya aku hanya pria biasa yang ingin mendapatkan wanita terbaik dan jodoh yg telah lama aku nantikan." Dia kembali tersenyum, ucapannya yang tenang serta kata-katanya yang penuh makna membuatku semakin mengaguminya. "Biar aku diskusikan ini dengan kelu