Share

Arya Wiguna

Author: GANDARA
last update Huling Na-update: 2021-08-07 12:25:00

Beberapa tahun kemudian, tampak terjadi banyak kekacauan di hampir seluruh pelosok negeri.

Kemarau panjang yang terjadi, membuat rasa kemanusiaan hilang karena sulitnya keadaan.

Tidak terkecuali Desa Mandalika, pelosok negeri yang paling jauh dari kata sejahtera.

Para penguasa selalu bersikap egois tanpa memikirkan penderitaan rakyat kecil di sekitarnya.

Katakanlah keserakahan atas hak orang lemah kerap kali disengaja semata demi memperkaya diri sendiri.

"Ambil semuanya!"

Terdengar jelas seruan kejam yang dilakukan para bawahan penguasa untuk mengambil hasil pertanian.

"Kami mohon, jangan lakukan itu," rintih seorang wanita paruh baya sambil memegang kaki salah satu pesuruh penguasa Desa Mandalika.

Namun pria itu malah tertawa puas mendengar rintihan yang perempuan tersebut lakukan.

"Pergi sana!" tendang pria itu dengan kejamnya.

Akibatnya perempuan tadi harus tersungkur dan menderita luka-luka karena hal tersebut.

Memang perempuan paruh baya itu hanya sebagai pekerja di kebun milik penguasa Desa Mandalika. Akan tetapi selama ini dia tidak mendapat hak yang maksimal.

Malah justru sebaliknya, seringkali mereka tidak memberikan upah terhadap para pekerja termasuk perempuan tersebut.

Hal ini menjadikan keadaan warga makin sulit untuk mempertahankan kehidupan yang layak.

"Kalian memang bukan manusia," ujar seorang pemuda tampan dari belakang laki-laki bawahan penguasa Desa Mandalika.

"Pergilah, Anak Muda, kau jangan ikut campur."

Meski jumlah orang-orang kejam di depannya cukup banyak, si pemuda tidak merasa gentar sedikit pun.

Sebaliknya dia justru merasa bersemangat untuk segera menghabisi mereka karena apa yang telah mereka perbuat.

"Kalian yang seharusnya pergi, dan biarkan nenek itu membawa hasil pertaniannya." Anak muda tersebut semakin berani menggertak beberapa orang di hadapannya.

"Lancang kau, Anak Muda. Sepertinya kau ingin merasakan kematian yang teramat sangat menyakitkan," kata laki-laki bawahan penguasa Desa Mandalika.

"Habisi dia!" lanjutnya penuh penekanan.

Tiga orang maju, bermaksud untuk segera menghabisi anak muda tersebut. Namun dengan lincahnya si pemuda dapat menghindari setiap serangan.

Tiga pedang seolah berlomba mengharapkan cabikan daging manusia muda yang menjadi musuhnya.

Akan tetapi hasrat mereka belum cukup untuk membunuh anak muda tersebut. Kemampuannya bertarung terlihat sangat luar biasa.

"Pedang kalian tumpul yah?" ejek anak muda yang akan kita kenal dengan nama Arya Wiguna.

"BANGSAT!" geram pimpinan para bawahan penguasa tersebut.

Melihat lebih banyak jumlah orang yang akan menyerangnya, Arya Wiguna mengambil ranting kayu sebagai senjata.

"Ini saja sudah cukup," ucapnya dalam hati.

Benar saja. Dengan kemampuan yang dia miliki, kayu tersebut berulang kali berhasil mengenai bagian tubuh lawan.

Jelas kejadian itu membuat semuanya terkejut bukan kepalang. Mereka mulai ragu bisa menghabisi anak muda tersebut.

Bagaimana tidak, senjata yang mereka gunakan belum bisa menyentuh tubuh Arya Wiguna sedikit pun.

Sementara Arya Wiguna telah berhasil membuat mereka sempoyongan hanya dengan sepotong ranting kayu kering!

Bukannya tidak mencoba. Namun setiap kali mereka hendak memotong ranting tersebut, Arya Wiguna berhasil menghindarinya.

Bahkan setiap kali Arya Wiguna menghindar, selalu dilanjutkan dengan sebuah serangan balasan.

"Siapa dia sebenarnya," gumam Badrika, pemimpin para bawahan penguasa.

Melihat beberapa orang yang dia bawa dapat dikalahkan, Badrika merasa kagum dengan kemampuan anak muda tersebut.

Namun tetap saja, Badrika sendiri ingin mencoba sejauh mana kesaktian yang dimiliki si pemuda.

"Mundurlah, aku ingin bersenang-senang dengannya," ujarnya sombong, merasa kesaktian yang dia miliki lebih hebat daripada Arya Wiguna.

"Maaf, Paman, jika ranting ini mengenaimu," lagi-lagi perkataan Arya Wiguna membuat musuhnya merasa sangat geram.

"Hahaha, kau cukup berani, Anak Muda," balas Badrika, mencoba untuk tetap tenang.

Setelah itu terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya.

Seperti apa yang diucapkan Arya Wiguna sebelumnya, ranting yang dia pegang berhasil mengenai kening Badrika dengan telak.

Karenanya garis merah jelas terlihat oleh setiap orang yang melihat pertarungan tersebut.

"BANGSAT!"

Badrika merasa Arya Wiguna melecehkan dirinya dengan bekas pukulan ranting tersebut.

"Cieee, paman mulai serius yah?"

Setiap kali Arya Wiguna berkata, tidak luput dari upayanya untuk memancing emosi Badrika.

Selama ini cara itu cukup berhasil. Sampai Badrika sendiri tidak dapat mengontrol setiap serangannya.

Dengan membabi buta Badrika mengarahkan ayunan pedang miliknya. Kiri-kanan, atas-bawah, menjadi titik sasarannya.

Namun berulang kali dia mencoba, hasilnya tetap sama.

Sampai saat dirinya merasa lelah pun, serangannya tetap tidak membuahkan hasil.

"Bagaimana, Paman, apa sudah selesai?"

"Anak muda sialan, tunggu pembalasanku!"

Merasa telah dipermalukan di depan orang banyak, Badrika memutuskan untuk segera pergi.

"Yaaaah pergi deh. Tidak seru," ucap Arya Wiguna, seraya mengambil hasil pertanian milik Nenek Warsih.

Nenek Warsih adalah wanita paruh baya yang menggantungkan hidup dari upah hasil pertanian milik Balung Wesi.

Sejak Balung Wesi menggantikan Kumbang Lana memimpin desa Mandalika, keadaan semakin kacau.

Upah setiap buruh pertaniannya semakin lama semakin diperkecil.

Hampir semua warga menderita hal yang sama, tidak terkecuali Nenek Warsih yang hanya hidup seorang diri.

"Den, terima kasih ya. Kamu sudah membantu Nenek."

Arya Wiguna hanya tersenyum menimpali ucapan nenek tersebut. Baginya membantu sesama akan selalu menjadi sebuah kewajiban.

"Biar saya bawakan," cetus Arya Wiguna, berniat mengantarkan hasil upah pertanian hingga ke rumah nenek tersebut.

Dengan usia jauh lebih muda, Arya Wiguna dengan santainya membawa hasil upah pertanian itu.

Sedikit pun dia tidak merasa terbebani dengan apa yang sedang dilakukannya.

Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Arya Wiguna sangat bahagia jikalau bisa membantu setiap warga sesuai kemampuannya.

"Sudah, Den, ini rumah nenek."

Nenek Warsih meminta Arya Wiguna untuk segera menurunkan hasil upah pertanian dari pundaknya.

"Oh, iya, Nek."

Sebelum beranjak pergi, Arya Wiguna tertegun melihat keadaan rumah yang ditempati Nenek Warsih.

Dilihat dari sisi mana pun, rumah tersebut sudah jauh dari kata layak untuk ditempati.

"Baiklah, Nek, saya pergi dulu," pamit Arya Wiguna seraya membalikan badannya untuk segera pergi dari tempat itu.

Belum terlalu jauh melangkah, tampak beberapa orang sudah menunggu kedatangan Arya Wiguna.

Namun sepertinya kali ini bukan bawahan penguasa. Dari pakaian dan penampilan mereka sangat jauh berbeda.

"Hei, kau, Anak Muda. Berikan seluruh uang yang kau punya!" sergah pria berambut gimbal seraya menodongkan pedang.

Bukannya ketakutan, Arya Wiguna justru tersenyum kegirangan.

"Paman mau uang ya? Nih, ambil," balas Arya Wiguna, sambil melemparkan kantung kecil yang terbuat dari kain.

Entah apa yang dia pikirkan sebenarnya, mengapa begitu mudah menyerahkan uang terhadap mereka.

"Hahaha, kau pintar, Anak Muda. Dengan begini, nyawamu masih bisa selamat."

"Paman lihat dulu isinya." Arya Wiguna meminta orang tersebut memastikan apa isi kantung kain yang dia lemparkan.

"Hahahah, kena tipu. Hahahaha," ledek Arya Wiguna.

Pria berambut gimbal sepertinya mulai marah, mendapati isi dari kantong kain tersebut hanyalah daun sirih.

"Lagian paman, ada-ada aja," lanjut Arya Wiguna.

"Bocah tengik! Mati kau!"

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • ARYA WIGUNA WADAH TERPILIH   AKHIR PERTARUNGAN

    Lantas dengan segera Arya kembali ketempat dimana Ruyung berada, yang kebetulan di sana tengah terjadi pertarungan antara si kakek dengan pendekar pengguna jurus siluman harimau. "Ruyung! Apa kau baik-baik saja?" Tanya Arya sembari berjongkok melihat luka Ruyung. "Aku hanya terluka sayat saja," balas Ruyung. Setelah dengan benar memastikan luka Ruyung, Arya berniat langsung membantu si kakek untuk segera mengalahkan pendekar pengguna jurus siluman harimau. Akan tetapi si kakek tidak mengizinkannya, karena si kakek tahu kondisi Arya juga sudah kelelahan dan hampir mencapai batasnya. Untuk itu si kakek menyarankan Arya, supaya segera mengoleskan ramuan obat terhadap luka Ruyung. Hal itu si kakek lakukan semata untuk berjaga, kalau kalau musuh yang berhasil melukai Ruyung menggunakan racun. Tanpa bertanya apa alasan si kakek, Arya mengikuti apa yang di katakan demi keselamatan Ruyung kala itu. Terlebih Arya tidak ingin kehilangan rekan untuk kedua kalinya, karena bagi dia kehilan

  • ARYA WIGUNA WADAH TERPILIH   LUKA RUYUNG

    Sejak lama Arya memang sudah terkenal gigih dalam berlatih, sehingga tampa energi Wngun Genta Pati saja dirinya tetap mampu bertarung dengan baik. Akan tetapi saat ini kemampuan Arya lebih hebat, karena memiliki energi petapa sakti itu dalam dirinya. Hanya saja, sering kali Arya harus kehilangan kesadaran, mengingat energi itu lebih kuat daripada kemampuan Arya itu sendiri. Beruntung belum lama Arya bertemu dengan si kakek, yang sedikit demi sedikit melatih Arya untuk dapat mengontrol energi kuat milik petapa tersebut. Tidak heran lawannya kali ini sampai memuji kemampuan bertarung Arya, karena bagaimanapun Arya sudah berhasil bertahan cukup lama. "Kalau begitu aku akan mulai serius menghadapi mu, anak muda!" Ujar lelaki yang kini berhadapan dengan Arya. Bersamaan dengan pertarungan tersebut, Ruyung rupanya mengalami kesulitan dalam menghadapi lawannya kali ini. Alhasil paha kanan terluka akibat sabetan parang musuh, hingga mengeluarkan banyak darah. Jangankan untuk bergerak c

  • ARYA WIGUNA WADAH TERPILIH   PERTARUNGAN TIGA LAWAN TIGA

    Setelah Ruyung memastikan sendiri siapa sebenarnya orang yang berada di balik bilik, dia tidak menemukan siapapun."Bagaimana? Apa kau menemukan seseorang?""Tidak Guru," balasnya.Aneh memang, sejak Arya dan tiga lainnya memutuskan untuk beristirahat, mereka tidak melihat lagi tiga palang pintu perbatasan desa Sukarama.Hal ini jelas menimbulkan kecurigaan, terlebih mereka adalah musuh yang rencananya masih tidak dapat diperkirakan.Meskipun sebelumnya berkata kalau mereka menyerah, tetap saja akan lebih baik Arya tetap waspada.Untuk itu Arya sepakat dengan yang lain, untuk membagi tugas guna meminimalisir apapun yang membahayakan nanti.Kebetulan orang yang pertama kali berjaga adalah rekan Ruyung, dan berikutnya adalah Ruyung sendiri.Singkat cerita, hampir setengah dari waktu malam sudah terlewati. Sesuai kesepakatannya, kini giliran Ruyung untuk berjaga.Namun ada sat

  • ARYA WIGUNA WADAH TERPILIH   BAYANGAN HITAM

    Rupanya lelaki berambut kuncir itu tidak dapat melakukan apapun, malah justru dia harus terlempar beberapa meter akibat terkena serangan Panca.Bukan hanya itu, panas energi tenaga dalam yang Panca keluarkan telah berhasil merobek baju bahkan kulit tubuh lelaki tersebut."Si-siapa sebenarnya pemuda ini, sial."Lelaki berambut kuncir mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, tentu saja dengan menahan rasa sakit akibat sedikit sayatan pada tubuhnya.Belum juga berdiri dengan benar, Panca alias Arya sudah berada tepat di hadapannya.Kedua kalinya lelaki berambut kuncir terkejut dengan kecepatan yang Panca miliki, bahkan sedikitpun dia tidak menyadari sejak kapan Panca berdiri.Terlebih gumpalan energi berada tepat di depan muka lelaki itu, yang jelas membuat nyalinya ciut sampai mengeluarkan air kencing di celana.Dengan cepat kedua rekannya tiba lalu bersujud, demi memohon ampunan supay

  • ARYA WIGUNA WADAH TERPILIH   SAMBUTAN PALANG PINTU SUKARAMA

    "Kami hanya pengelana, Tuan." Balas Ruyung beralasan.Namun tiga orang yang menangkap basah mereka, sepertinya tidak dapat menerima alasan tersebut.Bahkan jelas terlihat dari wajah ketiganya, memiliki niat untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan sebuah pertarungan.Awalnya baik Ruyung maupun yang lainnya, memilih untuk membicarakannya secara baik-baik.Akan tetapi respon ketiga orang itu, justru bertolak belakang dengan keinginan Ruyung dan lainnya."Tenang saja, kami tidak akan melakukan kekacauan. Karena tujuan kami, hanya untuk sekedar membeli beberapa bahan makanan."Ruyung kembali beralasan, dengan harapan ketiga orang itu menerima alasannya kali ini.Seperti sebelumnya, tiga orang tersebut malah terlihat semakin geram. Dan menganggap percakapan di antara mereka, hanya buang-buang waktu saja.Melihat tiga orang itu mengeluarkan pedang, tidak serta merta membuat Ruyung dan lain

  • ARYA WIGUNA WADAH TERPILIH   BAHAYA BARU

    "Bajingan! Siapapun kau, aku pastikan akan mati dengan sangat menyedihkan." Ujar Adipati sembari mengepalkan kedua telapak tangannya.Berulang kali Adipati tersebut nengirimkan pendekar bayaran, akan tetapi selalu tetjadi hal yang sama.Arya selalu menggagalkan setiap rencana Adipati secara sembunyi-sembunyi, guna keberadaannya tidak terlalu mencolok dan mudah ditemukan.Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat sudah hapal betul dengan siapa yang sudah membantu mereka selama ini.Bahkan secara terang-terangan mereka mengucapkan terima kasih. Karena sejak Arya berpijak di desa tersebut, keadaan para petani berangsur membaik.Hal ini berbanding terbalik dengan penghasilan Adipati, yang biasanya mendapatkan hampir 95 persen hasil pertanian masyarakat desa Marga."Kalau terus seperti ini, bisa-bisa kekayaanku terancam," gerutu Adipati semakin merasa tidak nyaman.Sementata itu, seorang k

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status