Share

Arya Wiguna

Beberapa tahun kemudian, tampak terjadi banyak kekacauan di hampir seluruh pelosok negeri.

Kemarau panjang yang terjadi, membuat rasa kemanusiaan hilang karena sulitnya keadaan.

Tidak terkecuali Desa Mandalika, pelosok negeri yang paling jauh dari kata sejahtera.

Para penguasa selalu bersikap egois tanpa memikirkan penderitaan rakyat kecil di sekitarnya.

Katakanlah keserakahan atas hak orang lemah kerap kali disengaja semata demi memperkaya diri sendiri.

"Ambil semuanya!"

Terdengar jelas seruan kejam yang dilakukan para bawahan penguasa untuk mengambil hasil pertanian.

"Kami mohon, jangan lakukan itu," rintih seorang wanita paruh baya sambil memegang kaki salah satu pesuruh penguasa Desa Mandalika.

Namun pria itu malah tertawa puas mendengar rintihan yang perempuan tersebut lakukan.

"Pergi sana!" tendang pria itu dengan kejamnya.

Akibatnya perempuan tadi harus tersungkur dan menderita luka-luka karena hal tersebut.

Memang perempuan paruh baya itu hanya sebagai pekerja di kebun milik penguasa Desa Mandalika. Akan tetapi selama ini dia tidak mendapat hak yang maksimal.

Malah justru sebaliknya, seringkali mereka tidak memberikan upah terhadap para pekerja termasuk perempuan tersebut.

Hal ini menjadikan keadaan warga makin sulit untuk mempertahankan kehidupan yang layak.

"Kalian memang bukan manusia," ujar seorang pemuda tampan dari belakang laki-laki bawahan penguasa Desa Mandalika.

"Pergilah, Anak Muda, kau jangan ikut campur."

Meski jumlah orang-orang kejam di depannya cukup banyak, si pemuda tidak merasa gentar sedikit pun.

Sebaliknya dia justru merasa bersemangat untuk segera menghabisi mereka karena apa yang telah mereka perbuat.

"Kalian yang seharusnya pergi, dan biarkan nenek itu membawa hasil pertaniannya." Anak muda tersebut semakin berani menggertak beberapa orang di hadapannya.

"Lancang kau, Anak Muda. Sepertinya kau ingin merasakan kematian yang teramat sangat menyakitkan," kata laki-laki bawahan penguasa Desa Mandalika.

"Habisi dia!" lanjutnya penuh penekanan.

Tiga orang maju, bermaksud untuk segera menghabisi anak muda tersebut. Namun dengan lincahnya si pemuda dapat menghindari setiap serangan.

Tiga pedang seolah berlomba mengharapkan cabikan daging manusia muda yang menjadi musuhnya.

Akan tetapi hasrat mereka belum cukup untuk membunuh anak muda tersebut. Kemampuannya bertarung terlihat sangat luar biasa.

"Pedang kalian tumpul yah?" ejek anak muda yang akan kita kenal dengan nama Arya Wiguna.

"BANGSAT!" geram pimpinan para bawahan penguasa tersebut.

Melihat lebih banyak jumlah orang yang akan menyerangnya, Arya Wiguna mengambil ranting kayu sebagai senjata.

"Ini saja sudah cukup," ucapnya dalam hati.

Benar saja. Dengan kemampuan yang dia miliki, kayu tersebut berulang kali berhasil mengenai bagian tubuh lawan.

Jelas kejadian itu membuat semuanya terkejut bukan kepalang. Mereka mulai ragu bisa menghabisi anak muda tersebut.

Bagaimana tidak, senjata yang mereka gunakan belum bisa menyentuh tubuh Arya Wiguna sedikit pun.

Sementara Arya Wiguna telah berhasil membuat mereka sempoyongan hanya dengan sepotong ranting kayu kering!

Bukannya tidak mencoba. Namun setiap kali mereka hendak memotong ranting tersebut, Arya Wiguna berhasil menghindarinya.

Bahkan setiap kali Arya Wiguna menghindar, selalu dilanjutkan dengan sebuah serangan balasan.

"Siapa dia sebenarnya," gumam Badrika, pemimpin para bawahan penguasa.

Melihat beberapa orang yang dia bawa dapat dikalahkan, Badrika merasa kagum dengan kemampuan anak muda tersebut.

Namun tetap saja, Badrika sendiri ingin mencoba sejauh mana kesaktian yang dimiliki si pemuda.

"Mundurlah, aku ingin bersenang-senang dengannya," ujarnya sombong, merasa kesaktian yang dia miliki lebih hebat daripada Arya Wiguna.

"Maaf, Paman, jika ranting ini mengenaimu," lagi-lagi perkataan Arya Wiguna membuat musuhnya merasa sangat geram.

"Hahaha, kau cukup berani, Anak Muda," balas Badrika, mencoba untuk tetap tenang.

Setelah itu terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya.

Seperti apa yang diucapkan Arya Wiguna sebelumnya, ranting yang dia pegang berhasil mengenai kening Badrika dengan telak.

Karenanya garis merah jelas terlihat oleh setiap orang yang melihat pertarungan tersebut.

"BANGSAT!"

Badrika merasa Arya Wiguna melecehkan dirinya dengan bekas pukulan ranting tersebut.

"Cieee, paman mulai serius yah?"

Setiap kali Arya Wiguna berkata, tidak luput dari upayanya untuk memancing emosi Badrika.

Selama ini cara itu cukup berhasil. Sampai Badrika sendiri tidak dapat mengontrol setiap serangannya.

Dengan membabi buta Badrika mengarahkan ayunan pedang miliknya. Kiri-kanan, atas-bawah, menjadi titik sasarannya.

Namun berulang kali dia mencoba, hasilnya tetap sama.

Sampai saat dirinya merasa lelah pun, serangannya tetap tidak membuahkan hasil.

"Bagaimana, Paman, apa sudah selesai?"

"Anak muda sialan, tunggu pembalasanku!"

Merasa telah dipermalukan di depan orang banyak, Badrika memutuskan untuk segera pergi.

"Yaaaah pergi deh. Tidak seru," ucap Arya Wiguna, seraya mengambil hasil pertanian milik Nenek Warsih.

Nenek Warsih adalah wanita paruh baya yang menggantungkan hidup dari upah hasil pertanian milik Balung Wesi.

Sejak Balung Wesi menggantikan Kumbang Lana memimpin desa Mandalika, keadaan semakin kacau.

Upah setiap buruh pertaniannya semakin lama semakin diperkecil.

Hampir semua warga menderita hal yang sama, tidak terkecuali Nenek Warsih yang hanya hidup seorang diri.

"Den, terima kasih ya. Kamu sudah membantu Nenek."

Arya Wiguna hanya tersenyum menimpali ucapan nenek tersebut. Baginya membantu sesama akan selalu menjadi sebuah kewajiban.

"Biar saya bawakan," cetus Arya Wiguna, berniat mengantarkan hasil upah pertanian hingga ke rumah nenek tersebut.

Dengan usia jauh lebih muda, Arya Wiguna dengan santainya membawa hasil upah pertanian itu.

Sedikit pun dia tidak merasa terbebani dengan apa yang sedang dilakukannya.

Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Arya Wiguna sangat bahagia jikalau bisa membantu setiap warga sesuai kemampuannya.

"Sudah, Den, ini rumah nenek."

Nenek Warsih meminta Arya Wiguna untuk segera menurunkan hasil upah pertanian dari pundaknya.

"Oh, iya, Nek."

Sebelum beranjak pergi, Arya Wiguna tertegun melihat keadaan rumah yang ditempati Nenek Warsih.

Dilihat dari sisi mana pun, rumah tersebut sudah jauh dari kata layak untuk ditempati.

"Baiklah, Nek, saya pergi dulu," pamit Arya Wiguna seraya membalikan badannya untuk segera pergi dari tempat itu.

Belum terlalu jauh melangkah, tampak beberapa orang sudah menunggu kedatangan Arya Wiguna.

Namun sepertinya kali ini bukan bawahan penguasa. Dari pakaian dan penampilan mereka sangat jauh berbeda.

"Hei, kau, Anak Muda. Berikan seluruh uang yang kau punya!" sergah pria berambut gimbal seraya menodongkan pedang.

Bukannya ketakutan, Arya Wiguna justru tersenyum kegirangan.

"Paman mau uang ya? Nih, ambil," balas Arya Wiguna, sambil melemparkan kantung kecil yang terbuat dari kain.

Entah apa yang dia pikirkan sebenarnya, mengapa begitu mudah menyerahkan uang terhadap mereka.

"Hahaha, kau pintar, Anak Muda. Dengan begini, nyawamu masih bisa selamat."

"Paman lihat dulu isinya." Arya Wiguna meminta orang tersebut memastikan apa isi kantung kain yang dia lemparkan.

"Hahahah, kena tipu. Hahahaha," ledek Arya Wiguna.

Pria berambut gimbal sepertinya mulai marah, mendapati isi dari kantong kain tersebut hanyalah daun sirih.

"Lagian paman, ada-ada aja," lanjut Arya Wiguna.

"Bocah tengik! Mati kau!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status