Akan tetapi berbeda dengan Arya Wiguna. ke mana pun dia pergi sudah pasti membawa daun sirih atau bahan obat lainnya.
Selain kemampuan bertarungnya yang cukup hebat, Arya Wiguna juga mengetahui tanaman-tanaman yang bisa dijadikan obat.
Untuk itu dia selalu membawa beberapa dedaunan, semata berjaga kalau-kalau bertemu dengan warga yang terluka.
"Kau kira kami kambing!" gerutu pria berambut gimbal itu merasa dirinya telah dilecehkan.
Dengan penuh rasa kesal, pria itu menyuruh beberapa temannya untuk segera menangkap Arya Wiguna.
"tunggu, Paman, kembalikan dulu itu," Arya Wiguna dengan konyolnya meminta kantung kecil berisi daun sirih yang diberikan tadi.
"Kalau tidak, kau tahu akibatnya," ancam Arya.
Wajah Arya Wiguna berubah serius seketika.
Belum pun melakukan penyerangan, mereka yang berencana meminta upeti berpikir dua kali.
Tatapan Arya Wiguna yang tajam rupanya membuat mereka merasa ketakutan.
Tidak terasa keringat mereka mulai bercucuran, menyusul kaki yang gemetar sulit untuk dilangkahkan.
Entah apa yang terjadi, namun anak muda di hadapan mereka sepertinya bukan orang biasa.
"LARI ..!" ujar salah satu di antara mereka, mungkin dia merasa tidak bisa mengalahkan anak muda yang memliki aura luar biasa dihadapannya.
Memang Arya Wiguna kerap terlihat konyol. Tapi, jauh di dalam dirinya dia memiliki kesaktian yang bahkan Arya Wiguna sendiri belum menyadarinya.
Betapa tidak, belasan tahun yang lalu dia tumbuh seorang diri di tengah hutan belantara.
Secara misterius dia mampu selamat dari hewan-hewan liar yang terdapat di hutan tersebut.
Bukan hanya itu, takdir membuat dirinya harus kehilangan orang tua sejak dia lahir.
Akan tetapi berkat kejadian tersebut, secara kebetulan dia mendapat energi petapa yang sudah lama mencari wadah.
Petapa itu tidak lain adalah pendekar sakti mandraguna yang telah lama meninggal di dalam goa.
Karena kesaktiannya, arwah serta energi petapa tersebut melayang-layang mencari wadah baru selama puluhan tahun.
Hingga pada akhirnya dia merasa menemukan wadah yang tepat, dan wadah itu tidak lain adalah Arya Wiguna.
Sayangnya, selama hidup pendekar tersebut termasuk golongan aliran hitam yang berpihak pada keangkara murkaan.
Karena tidak memiliki pilihan lain, dia sendiri memutuskan untuk menjadikan bayi suci menjadi wadahnya.
"Kenapa mereka?" pekiknya melihat beberapa orang yang tadi menghadang, kini lari ketakutan.
Dengan sifat konyolnya, Arya Wiguna pun ikut berlari menyusul mereka.
"Serem juga nih," ucapnya seraya berlari ke arah yang sama.
Pikir Arya mungkin ada makhluk lain yang berada di belakangnya, padahal mereka takut pada Arya Wiguna.
"Itu mereka," lanjutnya setelah dapat menyusul para brandalan tersebut.
"Paman, tunggu!"
Bukannya menoleh, para brandalan itu semakin mempercepat larinya.
Mungkin mereka mengira Arya Wiguna mengejar untuk menghajarnya.
Berulang kali Arya Wiguna memanggil mereka, namun hasilnya tetap sama.
"Ah, cape juga. ya sudah, pergi sana!" Arya Wiguna mengeluh tidak dapat mengejar mereka.
Dalam keseharian, Arya Wiguna memang tampak seperti manusia biasa pada umumnya.
Bersikap konyol, baik hati, dan suka menolong orang lain sesuai dengan kemampuannya.
Namun ketika dipaksa untuk bertarung, auranya berbeda. bahkan, bisa membuat lawannya merasa ketakutan.
Seringkali dia berpikir apa yang sebenarnya terjadi, hingga membuat musuhnya berlari tanpa bertarung terlebih dahulu.
Kalau pun sampai bertarung, Arya Wiguna selalu memikirkan dari mana kekuatannya berasal.
Berkat energi mistis milik petapa yang bersemayam pada dirinya, membuat Arya Wiguna menjadi pendekar yang sakti mandraguna.
Akan tetapi kesaktian tersebut masih terbatas, karena Arya Wiguna belum bisa menyadarinya.
Seringkali dia berkaca pada air seraya berpikir mengapa bandit-bandit atau brandalan selalu berlari ketakutan melihatnya.
Dan hal itu terjadi kala dirinya memutuskan untuk berupaya melakukan perlawanan.
Sampai suatu ketika, Arya Wiguna tertidur di bawah pohon besar di tepi sungai.
Dalam tidurnya dia bermimpi bertemu seorang lelaki tua berambut putih panjang hingga melebihi bahu.
Lelaki tua itu memakai pakaian serba putih dengan ikat kepala yang menjadi ciri khasnya.
"Arya Wiguna, kemarilah."
Kakek tua berambut putih itu memanggil Arya Wiguna dengan sangat sopan.
"Siapa dia? mengapa mengetahui namaku?" gumamnya dalam hati, seraya berjalan mendekati kakek tua tersebut.
"Tidak usah takut, mari duduk di sini."
Kakek tua itu meyakinkan Arya Wiguna yang masih kebingungan, antara mendekati ataukah segera pergi.
Hebatnya lagi, dia dapat membaca pikiran Arya Wiguna tanpa cacat sedikit pun.
"Justru aneh, jika aku tidak mengenalmu," tambahnya.
Pelan-pelan Arya Wiguna mendekat, sebisa mungkin dia menepis perasaan takutnya.
"Cepat duduk, waktuku tidak banyak." Lagi kakek itu seperti akan pergi jauh meninggalkan Arya Wiguna.
"Ba-baik, Kek."
Setelah Arya Wiguna duduk tepat di sebelah kakek itu, yang tidak lain adalah petapa sakti bernama Wangun Genta Pati.
Konon dia adalah seorang pendekar jahat, tanpa tandingan pada masanya.
Kekuatan yang dia miliki, sungguh jauh di luar nalar manusia.
Siapa pun tidak ada yang mengetahui, berapa kali dia berpindah tubuh memaksa bereinkarnasi demi hidup kembali.
Baginya, tidak ada kepuasan jikalau masih ada perselisihan yang tersebar di muka bumi.
Reinkarnasi merupakan satu-satunya jalan bagi dia untuk kembali merasakan sensasi pertarungan.
Meskipun pada kenyataanya, Sanghyang Widhi selalu menciptakan putih hitam secara berpasangan.
"Diamlah, akan aku satukan seluruhnya."
Arya Wiguna terdiam tidak memahami apa maksud ucapan kakek tua yang tengah berdiri di hdapannya.
Tanpa meminta persetujuan Arya Wiguna, Wangun Genta Pati menempelkan telapak tangan di atas kepalanya.
Semakin lama tangan itu menempel, Arya Wiguna merasakan energi yang luar biasa mengalir pada tubuhnya.
Tubuh Arya Wiguna mulai bergetar di sertai teriakan seperti mengalami kesakitan yang teramat sangat.
"Bertahanlah, anak muda. sebentar lagi."
Tanpa Arya Wiguna sadari, Wangun Genta Pati ternyata memberikan seluruh kesaktiannya.
Dengan berat, Arya Wiguna mencoba membuka mata. Bermaksud melihat secara benar, siapa kakek tua yang berada tepat dihadapannya.
Alangkah kagetnya Arya Wiguna mendapati tubuh kakek tersebut hilang sedikit demi sedikit.
Sampai akhirnya dia terbangun bersamaan dengan hilangnya tubuh kakek tua tersebut.
Segera dia membasuh muka dengan air sungai yang masih jernih, seraya bergumam penuh pertanyaan.
"Mimpi apa tadi?" ucapnya, masih merasa mimpi itu begitu nyata.
"Aku sudah menyatu dengan dirimu."
Terdengar sebuah ucapan yang sangat mirip dengan suara kakek dalam mimpinya tadi.
"Siapa kau?" tanyanya sembari menengadah menatap langit.
Suara itu begitu jelas terdengar di telinga Arya Wiguna, namun tidak ada wujud penerjemahnya.
"Siapa kau?" untuk kedua kalinya Arya Wiguna melontarkan pertanyaan.
"Berkacalah pada air sungai."
Dengan cepat Arya Wiguna mengikuti saran suara yang entah datang dari mana.
"Baik, aku harus mencobanya," tukas Arya.
Bersambung ....
Lantas dengan segera Arya kembali ketempat dimana Ruyung berada, yang kebetulan di sana tengah terjadi pertarungan antara si kakek dengan pendekar pengguna jurus siluman harimau. "Ruyung! Apa kau baik-baik saja?" Tanya Arya sembari berjongkok melihat luka Ruyung. "Aku hanya terluka sayat saja," balas Ruyung. Setelah dengan benar memastikan luka Ruyung, Arya berniat langsung membantu si kakek untuk segera mengalahkan pendekar pengguna jurus siluman harimau. Akan tetapi si kakek tidak mengizinkannya, karena si kakek tahu kondisi Arya juga sudah kelelahan dan hampir mencapai batasnya. Untuk itu si kakek menyarankan Arya, supaya segera mengoleskan ramuan obat terhadap luka Ruyung. Hal itu si kakek lakukan semata untuk berjaga, kalau kalau musuh yang berhasil melukai Ruyung menggunakan racun. Tanpa bertanya apa alasan si kakek, Arya mengikuti apa yang di katakan demi keselamatan Ruyung kala itu. Terlebih Arya tidak ingin kehilangan rekan untuk kedua kalinya, karena bagi dia kehilan
Sejak lama Arya memang sudah terkenal gigih dalam berlatih, sehingga tampa energi Wngun Genta Pati saja dirinya tetap mampu bertarung dengan baik. Akan tetapi saat ini kemampuan Arya lebih hebat, karena memiliki energi petapa sakti itu dalam dirinya. Hanya saja, sering kali Arya harus kehilangan kesadaran, mengingat energi itu lebih kuat daripada kemampuan Arya itu sendiri. Beruntung belum lama Arya bertemu dengan si kakek, yang sedikit demi sedikit melatih Arya untuk dapat mengontrol energi kuat milik petapa tersebut. Tidak heran lawannya kali ini sampai memuji kemampuan bertarung Arya, karena bagaimanapun Arya sudah berhasil bertahan cukup lama. "Kalau begitu aku akan mulai serius menghadapi mu, anak muda!" Ujar lelaki yang kini berhadapan dengan Arya. Bersamaan dengan pertarungan tersebut, Ruyung rupanya mengalami kesulitan dalam menghadapi lawannya kali ini. Alhasil paha kanan terluka akibat sabetan parang musuh, hingga mengeluarkan banyak darah. Jangankan untuk bergerak c
Setelah Ruyung memastikan sendiri siapa sebenarnya orang yang berada di balik bilik, dia tidak menemukan siapapun."Bagaimana? Apa kau menemukan seseorang?""Tidak Guru," balasnya.Aneh memang, sejak Arya dan tiga lainnya memutuskan untuk beristirahat, mereka tidak melihat lagi tiga palang pintu perbatasan desa Sukarama.Hal ini jelas menimbulkan kecurigaan, terlebih mereka adalah musuh yang rencananya masih tidak dapat diperkirakan.Meskipun sebelumnya berkata kalau mereka menyerah, tetap saja akan lebih baik Arya tetap waspada.Untuk itu Arya sepakat dengan yang lain, untuk membagi tugas guna meminimalisir apapun yang membahayakan nanti.Kebetulan orang yang pertama kali berjaga adalah rekan Ruyung, dan berikutnya adalah Ruyung sendiri.Singkat cerita, hampir setengah dari waktu malam sudah terlewati. Sesuai kesepakatannya, kini giliran Ruyung untuk berjaga.Namun ada sat
Rupanya lelaki berambut kuncir itu tidak dapat melakukan apapun, malah justru dia harus terlempar beberapa meter akibat terkena serangan Panca.Bukan hanya itu, panas energi tenaga dalam yang Panca keluarkan telah berhasil merobek baju bahkan kulit tubuh lelaki tersebut."Si-siapa sebenarnya pemuda ini, sial."Lelaki berambut kuncir mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, tentu saja dengan menahan rasa sakit akibat sedikit sayatan pada tubuhnya.Belum juga berdiri dengan benar, Panca alias Arya sudah berada tepat di hadapannya.Kedua kalinya lelaki berambut kuncir terkejut dengan kecepatan yang Panca miliki, bahkan sedikitpun dia tidak menyadari sejak kapan Panca berdiri.Terlebih gumpalan energi berada tepat di depan muka lelaki itu, yang jelas membuat nyalinya ciut sampai mengeluarkan air kencing di celana.Dengan cepat kedua rekannya tiba lalu bersujud, demi memohon ampunan supay
"Kami hanya pengelana, Tuan." Balas Ruyung beralasan.Namun tiga orang yang menangkap basah mereka, sepertinya tidak dapat menerima alasan tersebut.Bahkan jelas terlihat dari wajah ketiganya, memiliki niat untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan sebuah pertarungan.Awalnya baik Ruyung maupun yang lainnya, memilih untuk membicarakannya secara baik-baik.Akan tetapi respon ketiga orang itu, justru bertolak belakang dengan keinginan Ruyung dan lainnya."Tenang saja, kami tidak akan melakukan kekacauan. Karena tujuan kami, hanya untuk sekedar membeli beberapa bahan makanan."Ruyung kembali beralasan, dengan harapan ketiga orang itu menerima alasannya kali ini.Seperti sebelumnya, tiga orang tersebut malah terlihat semakin geram. Dan menganggap percakapan di antara mereka, hanya buang-buang waktu saja.Melihat tiga orang itu mengeluarkan pedang, tidak serta merta membuat Ruyung dan lain
"Bajingan! Siapapun kau, aku pastikan akan mati dengan sangat menyedihkan." Ujar Adipati sembari mengepalkan kedua telapak tangannya.Berulang kali Adipati tersebut nengirimkan pendekar bayaran, akan tetapi selalu tetjadi hal yang sama.Arya selalu menggagalkan setiap rencana Adipati secara sembunyi-sembunyi, guna keberadaannya tidak terlalu mencolok dan mudah ditemukan.Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat sudah hapal betul dengan siapa yang sudah membantu mereka selama ini.Bahkan secara terang-terangan mereka mengucapkan terima kasih. Karena sejak Arya berpijak di desa tersebut, keadaan para petani berangsur membaik.Hal ini berbanding terbalik dengan penghasilan Adipati, yang biasanya mendapatkan hampir 95 persen hasil pertanian masyarakat desa Marga."Kalau terus seperti ini, bisa-bisa kekayaanku terancam," gerutu Adipati semakin merasa tidak nyaman.Sementata itu, seorang k