Dani memarkir mobilnya perlahan di depan rumah bercat krem itu. Sore tampak mulai tenggelam di balik pepohonan, menyisakan semburat jingga di langit. Bela, yang sedang hamil muda, menoleh ke arah rumah dengan tatapan berbinar.“Aku nggak tahu kenapa… tapi dari tadi kepikiran Elina terus,” ucapnya sambil mengusap perutnya yang masih rata namun terasa sangat berarti.Dani menoleh dan mengelus pundaknya. “Insting bumil ya. Yuk, kita mampir dulu.”Begitu mereka naik ke teras dan hendak menekan bel, pintu justru terbuka dari dalam. Tampak Bi Yati, pembantu rumah itu, berdiri dengan sapu di tangan. Matanya sedikit terkejut melihat siapa yang datang.“Mas Dani? Mbak Bela? Wah, nggak nyangka. Silakan masuk…”“Orang rumah ada, Bi?” tanya Dani sambil tersenyum ramah.Bi Yati mengangguk. “Tuan Radit lagi keluar, Mas. Tapi Nyonya Elina ada di dalam. Lagi duduk di ruang belakang.”Mendengar itu, senyum Bela makin melebar. “Pas banget. Aku kangen banget sama Elina…”Bi Yati membukakan pintu lebih l
Radit sampai rumah tempat ibunya berada sekarang. Dia senang karena bisa datang kembali ke sini. "Eh Den Radit."Pembantu di rumah itu menyapa Radit dengan ramah. Radit hanya tersenyum dengan sekilas. Lalu dia menoleh kearah depan. "Mamah ada di dalam?""Nyonya ada di dalam, bersama dengan Den Jio.""Makasih banyak yah Bi, kalau begitu kasih tahu dia kalau aku datang."Pembantu itu hanya melihat dengan sekilas dan memutuskan untuk masuk duluan ke dalam rumah karena dia ingin memberitahu majikannya. Suasana rumah Dina begitu tenang. Di ruang tengah yang hangat, Dina duduk bersandar di sofa sambil memangku cucu kecilnya, Jio, yang tengah bermain dengan mobil-mobilan berwarna cerah. Bocah itu sesekali mengoceh tak jelas, lalu tertawa kecil saat mobilnya terguling atau menabrak kakinya sendiri.“Nih, mobilnya jalan lagi, ya sayang…” ucap Dina lembut, membetulkan posisi mainan agar Jio bisa meraihnya kembali.Belum lama mereka bermain, langkah cepat dari arah depan terdengar. Salah satu
Dani yang ada di rumah miliknya bersama dengan Bela. Wanita itu tengah hamil lima bulan dan sekarang malah banyak mengidam hal yang aneh. "Kamu jangan ngidam aneh-aneh."Dani memperingati istrinya karena kemarin wanita itu malah meminta dia untuk memakai baju berwarna pink seperti perempuan. Benar-benar tidak mencerminkan diri Dani yang sebenarnya. "Okeh, kali ini aku janji tidak akan mengidam aneh-aneh," kata Bela sambil tersenyum tipis. Dani sudah mulai percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bela barusan. Lalu tiba-tiba Bela melihat foto pernikahan Radit dan Elina. "Sepertinya aku rindu dengan mereka, aku ingin bertemu dengan Elina."Dani yang mendengar itu pun langsung menoleh kearah Bela, terlebih setelah mendengar perkataan dari wanita itu. "Mereka masih bulan madu, kamu jangan menganggu mereka.""Tapi aku ingin bertemu dengan Elina, aku mohon sana kamu," pinta Bela. "Tapi..."Dani jadi bingung sendiri ketika harus menjelaskan semuanya pada Elina. Apalagi dengan apa yang ha
Rumah milik Radit yang berada di kawasan asri dan tenang itu akhirnya kembali terasa hidup. Suara mobil memasuki pelataran, pintu pagar otomatis terbuka pelan, menandai kembalinya sepasang suami istri yang seharusnya masih dalam suasana bulan madu.Radit turun lebih dulu dari mobil, lalu berjalan ke sisi penumpang dan membukakan pintu untuk Elina. Wajah Elina terlihat lelah, tapi sorot matanya menyimpan rasa lega. Dia menatap rumah itu seakan-akan sedang menatap pelindungnya."Akhirnya sampai juga," ucap Elina pelan, lebih pada dirinya sendiri.Radit mengangguk, menggenggam tangan istrinya. "Rumah ini lebih terasa aman dibanding tempat manapun sekarang."Begitu mereka masuk ke dalam rumah, suara langkah kaki terburu-buru terdengar dari arah dapur."Astaghfirullah!" seru Bi Yati, pembantu setia yang sudah lama mengabdi di rumah itu. "Tuan Radit? Nyonya Elina? Loh kok sudah pulang? Katanya liburannya sampai seminggu, ini baru dua hari!"Radit hanya menghela napas panjang dan duduk di so
Radit akhirnya keluar dari kamar hotel miliknya. Setelah seharian menyusun rencana dan mencari tahu siapa dalang di balik teror terhadap Elina, kini dia siap mengambil langkah berikutnya. Malam mulai turun, cahaya lampu kota menyinari lorong hotel yang terasa sedikit lengang."Di mana Rian?" tanya Radit dalam hati ketika dia mencari keberadaan Rian sekarang. Ia melangkah menuju lobi belakang tempat yang sudah mereka sepakati untuk bertemu. Di sana, Rian sudah berdiri, mengenakan jaket hitam dan topi untuk menghindari perhatian. Begitu melihat Radit datang, Rian mengangkat tangan, menyapanya."Radit," ucap Rian singkat sambil menyerahkan sebuah flashdisk kecil berwarna biru tua."Akhirnya kamu datang juga," ujar Radit merasa lega. Radit menerimanya tanpa berkata-kata, langsung memasukkannya ke dalam saku. Tapi rasa penasaran membuatnya tak sabar. "Ikut aku, kita cari tempat yang aman.""Baiklah," ujar Rian sambil memeriksa dengan seksama lingkungan sekitar dirinya. Mereka berdua la
Elina menatap Radit yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Wajahnya tampak serius, seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat dikatakannya.“Kamu habis dari mana?” tanya Elina, mencoba membaca ekspresi Radit.“Tadi Rian menghubungi. Dia ngajak ketemuan,” jawab Radit sambil menatap layar ponselnya, seolah memastikan sesuatu.Elina mengernyit. “Ketemuan? Sekarang?”Radit mengangguk pelan. “Dia bilang punya bukti penting tentang orang yang selama ini meneror kamu.”Mata Elina membelalak seketika, rasa penasaran dan cemas berbaur menjadi satu. “Bukti? Maksudnya… dia tahu siapa pelakunya?”“Sepertinya begitu. Tapi dia nggak mau jelaskan lewat telepon,” kata Radit tegas. “Makanya aku harus ketemu dia sekarang.”Elina mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. “Yaudah, kamu temuin dia. Aku juga pengen tahu siapa orangnya.”Radit menyentuh pundaknya lembut. “Kamu beres-beres dulu, ya? Kita langsung pulang habis ini. Aku nggak mau ninggalin kamu sendirian lama-lama.”Senyum tipis terbit