"Aku minta maaf, gara-gara aku, Dave jadi membuat masalah denganmu!" ujar Vania, di balik kemudinya. Wajahnya yang blasteran Indo-Spanyol nampak sangat manis dan menggoda. Dengan mata coklat , serta hidung mancung yang lancip dan bibir merah yang tipis, membuat dirinya memiliki pesona tersendiri. Dia adalah satu dari Angel of Five!
"Sudahhlah, gak masalah, lagi pula aku sudah gak kenapa-kenapa," jawab Langit canggung. Cahyo hanya diam sambil pasang muka masam di kursi belakang. Dia tidak mengerti dengan Langit, kenapa masih mau berhubungan dengan gadis-gadia bermasalah dan memiliki beberapa Herder galak di belakangnya! Walau tidak dipungkiri, mereka adalah gadis-gadis sosialita level atas, dengan kecantikan selangit yang menyandang gelar Angel of Five! Tapi tetap saja resikonya besar, dan hampir tidak sebanding! Yang lebih mengherankan, kenapa gadis-gadis ini mau terus-menerus mendekati Langit, padahal pada kenyataannya mereka sudah memiliki pasangan masing-masing! Pasti ada sesuatu yang tidak beres! Fikir Cahyo dalam hatinya. "Aku sudah putus dari Dave! Jadi kamu tidak perlu khawatir lagi untuk kedepannya!" "Oh, gitu ya?" "Iyalah, jadi tidak akan ada yang ganggu kamu lagi, dan kita bisa bebas jalan bareng!" ujar Vania blak-blakan, sambil tersenyum manis. Membuat Langit terkejut, terbatuk berkali-kali. Sementara wajah Cahyo makin ditekuk. "Oh, eh... Sepertinya kita sudah mau sampai, aku turun di sini ya? Ada sesuatu yang harus aku beli di Mini Market!" Langit berusaha menghindar. "Kita bareng aja, aku juga mau beli sesuatu!" Vania memarkirkan Jazz merahnya di depan Mini Market. Lalu turun dari mobilnya. "Langit, kamu lagi-lagi bikin masalah!" bisik Cahyo kesal. "Lalu mau bagaimana lagi? Apa aku harus tolak dia? Itu tidak sopan namanya!" "Itu lebih baik, dari pada kamu dapat masalah lagi!? Kamu tidak kapok juga ya!" "Aku tidak bisa menyakiti seorang gadis, aku tidak tega melakukannya!" "Tapi mereka bisa menyakitimu, dan mereka tega melakukannya! Dimana gadis-gadis itu ketika kamu dipukuli pacarnya? Mereka pada sembunyi semuanya! "Ya, mungkin itu sudah takdirku, mau bagaimana lagi?" "Itu bukan takdir! Itu kebodohan namanya! Hanya keledai yang jatuh berkali-kali di lubang yang sama!" "Hei, Langit! Kamu mau turun? Bukannya ada yang harus kamu beli?" Vania tiba-tiba melongok ke kaca mobil. Keduanya spontan terdiam. Langit merasa salah tingkah. Menggaruk kepalanya. Dia khawatir Vania mendengar perecakapan mereka. "Baiklah!" Langit turun dari mobil. Membawa beban seberat gunung di pundaknya. Dia khawatir ada yang mengetahuinya keluar dari mobil Vania, jalan bersama gadis itu, dan berita itu sampai kepada Dave, sudah dipastikan bakal runyam kedepannya! Beberapa saat kemudian ketiganya memasuki kampus. Sebuah Universitas Elit dan ternama di Kota Mereka. Universitas Wangsa Sanjaya. "Aku ke toilet dulu ya!" Cahyo langsung menghindar. Segera menghilang di hadapan mereka. Kini tinggal mereka berdua, di pelataran kampus yang nampak masih sepi. Hanya beberapa orang yang lalu lalang. Sebagian mahasiswa beserta para dosen-dosen pembimbing sedang sibuk mempersiapkan Technical Meeting untuk Camp Gathering besok di Aula Kampus. Sementara yang lain sudah sibuk di ruang kelasnya masing-masing. Antusiasme mahasiswa untuk acara Camp Gathering Global tersebut sangat besar. Mereka semua memanfaatkannya sebagai ajang untuk mengejar nilai tambahan sambil refreshing melepaskan penat dan lelahnya otak, setelah sekian bulan berkutat dengan tugas-tugas dan diktat kuliah yang melelahkan dan cenderung membosankan. "Hei, kenapa melamun?" tanya Vania. Langit tergaggap sambil menggaaruk kepalanya. "Ah, tidak, aku hanya sedang membayangkan, andai udara sejuk ini, bisa kunikmati setiap hari," "Kenapa tidak? Kampus kita memang sejuk kok, kamu bisa tiap pagi kemari, walau menurutku, tetap lebih sejuk tanah kelahiranku!" "Spanyol?" "Yup! Barcelona! Aku rindu untuk pulang kesana!" "Wah, keren! Andai aku bisa kesana..." "Bisa! Suatu saat nanti kuajak kamu kesana!" "Serius?" "Ya, tentu saja. Asal dengan satu syarat!" "Oh, ya? Apa itu?" "Kamu mau jadi pacarku! Minimal untuk tiga hari ke depan! Bagaimana, kamu bersedia?" Vania menoleh. Sebuah tembakan yang berani tiba-tiba di lontarkan olehnya! Mata indahnya berbinar. Sementara Langit kembali terbatuk beberapa kali. Tidak menduga Vania akan bicara seperti itu. Menyatakan perasaanya, dengan gamblang, dan menjadikan itu sebagai syarat yang diajukan Vania, agar Langit bisa ikut ke Barcelona! Langit tidak habis pikir dengan gadis cantik ini. Semudah itukah syaratnya? Apa Vania sedang bercanda? "Apa...Apa ini sebuah lamaran? Atau joke?" Langit gugup. Tidak menyangka Vania akan berkata seperti itu. "Terserah kamu menilai seperti apa, itu pernyataan ku buat kamu!" "Apa tidak kebalik? Bukankah aku yang harus menyatakan duluan?" "Apa itu penting? Aku cuma perlu jawaban kamu, mau atau tidak jadi pacarku?" "Kamu, nembak aku?" "Terserah kamu mengartikannya seperti apa! Yang jelas, aku perlu jawabanmu!" "Aku...Aku perlu waktu! Lagi pula, masih ada Dave, aku tidak mungkin bersaing dengan dia! Aku...aku tidak akan bisa menang melawan dia," ungkap Langit jujur. "Aku bicara tentang kita, bukan tentang Dave!Bukankah sudah kubilang Dave sudah bukan lagi pacarku? Apa itu belum jelas buat kamu?" "Bagiku masih belum jelas, aku menghargai Dave, kulihat dia sangat mencintaimu!" "Kamu terlalu rumit! Di sini hanya ada kita, tidak ada Dave! Aku tidak mengenal cinta atau apapun yang sifatnya cengeng! Yang penting aku nyaman, hatiku senang, aku akan jalani itu! Dan aku tidak suka laki-laki yang kasar juga posesiv! Jadi Dave, jelas bukanlah kriteriaku sama sekali!" "A...Aku perlu waktu, karena bagiku, ini bukanlah main-main! Kamu juga belum tahu siapa aku sebenarnya. Aku orangnya rumit, plin-plan, tidak menyenangkan, bukan pemberani, bukan seorang jagoan, dan aku miskin! Itu pasti tidak masuk dalam kriteria mu juga kan?" "Kita bisa jalani itu dulu, bukankah aku memintamu waktu tiga hari?" "Tiga hari?" "Ya, tiga hari! Selama tiga hari ini kamu jadi pacarku, kita coba jalani semuanya dengan santai, sambil saling membaca dan mengenal karakter kita masing-masing, semoga kita bisa cocok! Itu mudah kan?" "Akan aku fikirkan!" "Berarti jawabannya iya atau tidak? Aku butuh kepastian!" "Beri aku waktu! Karena ini terlalu aneh dan mendadak buatku!" "Langit, apakah kamu memang serumit ini dalam mengambil keputusan?" "Aku hanya sedang mencoba mempertimbangkannya dengan baik, agar kita tidak menyesal, terutama buat kamu!" "Ya sudah, terserah kamu saja, aku tidak bisa memaksamu!" ujar Vania sambil menghela napasnya. "Aku minta maaf!" "No problemo!" "Sepertinya aku harus ke lapangan, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan! Aku kebetulan ditunjuk sebagai seksi logistik, semoga kamu tidak keberatan aku tinggal!" Langit menyudahi pembicaraan. "Oh, ya sudah! Sampai ketemu besok di Gathering, aku menunggu jawaban kamu!" Vania melambaikan tangan. Langit langsung berlalu, sambil menarik napas lega. Beruntunglah tidak ada yang melihat kebersamaan mereka. "Hei, kamu! Kemari sebentar!" seseorang memanggilnya. Miss Irene! Dosen cantik, Wanita Sosialita, salah satu Primadona kampus. "Iya, Miss, ada yang bisa saya bantu?" "Namamu Langit kan? Bukankah kamu mahasiswa yang kemarin ditugaskan sebagai logistik?" "Iya, betul sekali Miss, saya..." "Kenapa datang terlambat? Kemana saja kamu? Bukankah sudah kubilang, logistik harus datang lebih awal, dan berangkat lebih awal! Banyak sekali properti yang belum lengkap dan belum dimasukan ke truk! Kamu bantu mereka sekarang!" "Oh siap Miss! Saya segera kesana!" "Tunggu! Apakah aku sudah bilang kamu boleh pergi? Kamu segera ke ruangan ku sekarang! Bereskan dan bersihkan ruangan ku dulu! Ingat, yang rapi! Jangan khawatir, aku akan bayar kamu, Seratus ribu per jam cukup?" "Tidak perlu seperti itu miss, saya siap membantu tanpa mengharapkan bayaran apapun, lagi pula..." "Sudahlah, jangan sok jual mahal! Aku bayar kamu sekarang! Aku tahu kamu mahasiswa miskin dan kekurangan uang, nih ambilah!" Miss Irene dengan santai melemparkan beberapa lembar uang berwarna merah ke lantai. Dan jatuh tidak jauh dari kaki Langit. Beberapa orang yang kebetulan lewat disana melihat dengan takjub. Mereka melihat aksi yang dilakukan Miss Irene dengan perasaan beragam. "Itu lima ratus ribu! Bersihkan ruangan tidak sampai tiga jam, anggap saja lebihnya sebagai bonus untuk kamu! Setelah beres, kamu langsung ke lapangan, bantu para tukang mengecek barang, sambil menaikan properti ke truk! Mengerti?" tanpa menunggu jawaban Langit, Miss Irene mengibaskan rambutnya, segera berlalu dengan kesombongan. Meninggalkan Langit yang nampak terpana dalam diam. "Apa yang sebenarnya dia lakukan? Sombong sekali! Dosen kok kayak gitu? Sungguh tidak mendidik!" "Sudahlah, Miss Irene memang dosen antik dan mahal, dia sangat membenci orang-orang miskin dan kaum Proletar macam Langit!" "Ya, lagi-lagi Langit, si Badut itu! Dia memang pantas jadi objek penderita! Hidupnya memang selalu sial!" "Tapi tidak dengan cara seperti itu juga, itu adalah sebuah penghinaan namanya!" "Ya, mau bagaimana lagi? Langit memang cocok untuk di hina!" "Ya, sungguh tidak sesuai dengan namanya! Kasihan juga!" "Ganti saja namanya jadi Jurang! Atau dasar Tanah! Hahaha!" "Hahaha! Kamu bisa saja!" Bully-an itu kembali terdengar di telinganya. Langit merasakan hatinya kembali tergores. Terasa perih. Namun dia harus tegar! Dia harus bisa menerima itu semua dengan sabar dan lapang dada. Dia harus siap untuk selalu diperlakukan seperti itu. Mungkin ini konsekwensi seorang mahasiswa miskin berkuliah di kampus Elit. Sebagai sebuah fakta. Dia memang layak untuk di hina. "Langit! Kamu memang memalukan!" batinnya memaki dirinya sendiri! "Kucing sialan! Berani mengotori ruangan ku dengan air kencingmu! Aku bunuh kau!" ***Langit mengerutkan keningnya, di hadapannya seekor kucing dengan tepincang-pincang berlari ke arahnya. Sementara di belakangnya, seorang pria setengah tua nampak mengejarnya dengan gusar. Sebuah tongkat kasti teracung di tangannya. Siap untuk dipukulkan! Langit sudah membayangkan apa yang terjadi dengan kucing itu, jika tongkat kasti ditangan pria paruh baya itu mengenainya! Beruntunglah, kucing itu dengan sigap langsung berlari ke Pelataran Parkir yang luas, dan menghilang di ujung lapangan, lalu belok ke Gedung sebelah. Menyisakan makian kesal pria setengah baya itu. Wajahnya terlihat memerah karena menahan marah. Bukankah itu Pak Jarwis, salah satu Dosen Killer di Kampusnya? "Apa yang kamu lihat? Mau ku pukul juga?" pria itu menatap langit dengan sewot. Langit langsung tergagap. "Eh..ti..tidak pa, maaf saya tidak tahu apa-apa..." Langit langsung menggunakan jurus langkah seribu meninggalkan Pak Jarwis yang masih terlihat marah. "Hei, tunggu! Siapa yang suruh kamu pergi!" P
Cahyo memutuskan untuk pindah kost sore itu juga. Langit tidak mengerti dengan aksi mendadak yang dilakukan kawannya itu. Namun dia tidak bisa menolak keinginan Cahyo yang ingin berpisah kost-an dengannya. Bahkan Cahyo sudah berikrar tidak ingin menjadi temannya lagi! Langit hanya bisa menatap kepergian Cahyo dengan sedih. Dia tidak bisa mencegahnya. Tekad Cahyo sudah bulat. Dia sudah lelah melihat Langit terus menerus membuat masalah. Maka dari itu dia memutuskan untuk tidak akan mau mengurusinya lagi. Sebagai seorang sahabat, Cahyo sudah mengingatkannya berkali-kali. Jangan pernah membuat masalah baru lagi, dengan meladeni permainan gadis-gadis cantik itu. Karena imbasnya tentu saja akan kembali kepada Langit sendiri. Tapi Langit terlalu bodoh dan bebal! Masih mengulangi kesalahan yang sama terus menerus. "Aku tidak iri dengan kamu, walau ada sih sedikit! Tapi intinya aku mengingatkanmu demi kebaikanmu sendiri! Bersikap tegas dan keras kepada mereka, itu jauh lebih baik, dari p
Bronze Shine Cafe terletak di Pusat Pertokoan Elit di Kota Banda bernama Istana Cendrawasih. Salah satu Check Point terkenal dengan harga propertinya yang sangat mahal. Hanya kalangan orang-orang kaya dengan harta selangit yang bisa membeli properti mewah di kawasan ini. Disana ada ratusan ruko dan rukan mewah lima tingkat yang di sulap menjadi Hotel Bintang Lima, Cafe, Restauran, dan Tenan dengan brand-brand terkenal dari dalam dan luar negeri. Dibalut dengan segala kemewahan dan keunggulannya, menjadikan Kawasan Pertokoan Elit Istana Cendrawasih sebagai aset properti pilihan utama dan paling diminati di Kota Banda. Dan kesanalah tujuan Langit sekarang. Mereka bertiga, bersama Bagas dan Riza, dua orang mahasiswa di kampusnya yang juga merupakan fans dari Tiffani Ambarita, alias Fani yang sekarang sedang berada dalam kondisi tidak baik di bawah cengkraman Gavin dan geng nya. Langit masuk ke sebuah Cafe yang cukup mewah, dengan penjagaan ketat beberapa security bertampang sangar da
Krieeettt! Tiba-tiba pintu terbuka! Hampir bersamaan dengan sepuluh orang pengawal Diego yang bersiap untuk bergerak! Diego secara spontan memberikan tanda! Mereka pun berhenti dengan serentak! Seorang waitress cantik masuk ke ruangan, dengan membawa nampan berisi minuman beralkohol kelas atas. "Maaf tuan-tuan yang terhormat, minuman utama sudah siap!" ujar Waitress cantik itu, bola matanya yang cantik sekilas melirik ke arah Langit. "Hmm, oke miss Lintang! Terima kasih banyak! Kenapa kamu tidak sekalian bergabung bersama kita di sini?" tanya Gavin, tertarik dengan kecantikan Waitress bernama Lintang ini. "Maaf sekali, Tuan Gavin! Tamu saya banyak yang belum dilayani, banyak Waitress yg mendadak sakit, jadi saya harus lembur dari tadi siang!" jawabnya sopan. "Hmm, oke lain waktu kita nyanyi bareng ya!" Gavin mengedipkan matanya. Lintang membalas dengan senyuman manis. "Ya sudah, kamu boleh keluar sekarang! Nih buat kamu!" Diego mengeluarkan beberapa lembar seratus ribuan se
"Hei, kamu! Bangun! Bangun!" seseorang berkali-kali menepuk-nepuk pipinya. Langit membuka matanya. Dia kembali terkejut! Langit menemukan dirinya di sebuah ranjang kecil, di tempat yang tidak di kenalnya sama sekali! Di sampingnya, seorang gadis cantik, berkulit kuning langsat bermata sejuk memperhatikan dia dengan tatapan tajam dan serius. "Di...dimana aku? Siapa kau?" tanya Langit pelan. Dia meraba wajahnya! Deg! Jantungnya berdetak keras! Dia merasakan wajahnya baik-baik saja. Dan dia merasakan seluruh tubuhnya baik-baik pula! Tidak ada rasa sakit ataupun ngilu dan perih sedikitpun! Ya, memori Langit langsung mengingat dengan jelas, apa yang terjadi. Dia sudah dihajar secara sadis beramai-ramai oleh para Pengawal Diego yang sangar dan bengis tadi malam! Dan sesudahnya, dia bertemu dengan Paman Wangsa, seorang pria perlente paruh baya yang berbicara aneh tentang dirinya. Dan sekarang, dia berada di tempat ini. Bersama seorang gadis cantik!
Mobil Truk itu melaju dengan kencang, seolah mengejar waktu. Langit dan dua kawannya menumpang di bak belakang Truk, bersatu dengan barang-barang properti kemping. Sekitar lima belas menit yang lalu, Langit menemukan seekor Kucing putih dengan corak warna hiasan hitam di kepala dan perutnya. Kondisinya cukup mengenaskan. Mahluk mungil itu itu entah kenapa bisa terjepit diantara tumpukan terpal besar. Beruntunglah Langit segera menemukannya, dan berhasil menyelamatkan Kucing Putih tersebut. Walaupun kaki belakang sebelah kanannya pincang, terluka dan mengeluarkan darah. Terjepit diantara besi dan terpal besar. Langit memberikan pertolongan pertama seadanya, membalut kaki kucing tersebut dengan perban. Sempat di cakar beberapa kali oleh sang kucing, dengan geraman khasnya karena dianggapnya Langit hendak bermaksud jahat. Namun akhirnya bisa tenang dan duduk diam, bahkan tertidur di pangkuan Langit! Sempat berdebat dengan Hardi, dan temannya yang lain, supaya membuang kucing tersebut
Langit dan Hardi segera berlari ke arah sungai, menuruni undakan-undakan bukit kecil, menyusuri jalan setapak tanah merah. Keduanya berusaha sampai di tepi sungai dengan segara. Mengejar asal sumber suara barusan. Tiba-tiba Hardi mendadak sontak menghentikan langkahnya. Membuat Langit hampir menabraknya dari belakang. "Kenapa? Ada apa berhenti?" tanya Langit. Napasnya nampak naik-turun. "Aku tanya, kamu bisa ngobatin orang kesurupan?" Hardi balik bertanya. Langit meggeleng kuat. "Tidak bisa, kamu?" "Sama! Kalau begitu, ngapain kita ke sini? Memang kita bisa menolongnya? Salah-salah malah kita yang ikut kesurupan!" ujar Hardi khawatir. "Ah, tidak mungkin. Kita sudah tanggung kemari! Kita lanjutkan saja, siapa tahu di sana sudah ada banyak orang, dan mungkin kita bisa bantu apalah gitu! Ayo lanjut!" "Tapi ini beresiko, sebaliknya kita kembali saja!" Hardi mendadak segan. Nyalinya seolah hilang, berceceran di belakang. "Ya, sudah! Kalau begitu, aku yang akan kesana sendiri, k
Rombongan peserta Camp Gathering tiba pada sore hari. Mereka menempuh perjalanan kurang lebih 4 sampai 5 jam, dikarenakan situasi jalanan yang macet. Rombongan ini agak terlambat sampai di Lokasi Tanah Perkemahan Gunung Mulia. Para Ketua Regu dari tiap rombongan langsung memberikan instruksi dan arahan kepada para peserta untuk segera merapat ke Lapangan Utama, setelah sebelumnya membereskan barang-barang bawaan mereka ke tenda masing-masing yang telah di sediakan oleh para Panitia. Tepatnya tenda yang telah di bangun oleh Langit, para Tukang dan Porter, beberapa jam sebelumnya. Camp Gathering ini adalah acara tahunan yang hampir selalu diadakan oleh Kampus. Khususnya untuk tiga Fakultas. Fakultas Ekonomi, Hukum dan Sastra, dari mulai jenjang tingkat satu, mahasiswa baru sampai tingkat tiga. Dan Langit termasuk di dalamnya. Dia sudah berada di tingkat tiga. Langit sudah berpesan kepada Pak Gunadi sebagai pimpinan para Porter, agar merahasiakan kejadian di sungai tadi siang. Dan me