Share

Episode 2.

Apa yang didengar oleh Eugene benar adanya.

Setelah melewati dua perempatan utama jalanan besar di pusat Kota Suralaya, akhirnya kami menemukan sumber suara tersebut. Di celah cukup sempit di antara dua bangunan pencakar langit, terdapat tiga manusia dan dua makhluk kurus kering dengan bau busuk yang sangat menusuk ke hidung. Seorang lelaki, kakinya sedang dikunyah dengan begitu rakus oleh salah satu zombie tersebut. Matanya melotot kepada kami, terlihat kosong dan penuh kehampaan.

Dan tentu saja kami tahu. Dia telah mati.

Ada lagi seorang wanita. Sekarat di pelukan makhluk kurus kering itu. Suara kunyahan dan sebuah geraman terdengar dari sana. Leher wanita itu dikoyak cukup ganas oleh zombie tersebut. Pemandangan yang mengundang mual yang entah kenapa kami berlima seperti sudah terbiasa.

“Ada anak kecil di sudut sana,” bisik Helios yang kini berdiri di sebelah kiriku dan Eugene di sebelah kanan. Dia sudah membidik salah satu dari makhluk berbau busuk itu tanpa kehebohan. “Sepertinya dia terjebak di sana saat kedua orang tuanya berusaha menghalangi makhluk menjijikkan itu untuk menyerang putri mereka.”

“Bagaimana kau tahu kalau mereka sebuah keluarga?” Jeremy melontarkan pertanyaan konyol di waktu yang tidak tepat. Rasanya aku ingin membenturkan kepala pemuda bertubuh paling tinggi tersebut karena sempat-sempatnya mempermasalahkan hal kecil seperti ini.

“Anggap saja begitu,” Helios menjawabnya dengan begitu enteng tanpa memedulikan tatapan tajam Eugene yang tertuju kepadanya. “Perintahmu, Komandan Selvator!”

Ah benar. Kita harus bergerak dengan cepat sebelum dua zombie itu menyadari keberadaan kita dan berakhir tidak bisa menyelamatkan siapa pun. Atau bahkan bisa jadi kita dikepung oleh puluhan makhluk kurus kering tersebut dan berakhir kita mati di sini.

“Berikan tembakan beruntun pada dua makhluk kotor itu. Dan Eugene... aku serahkan anak kecil itu kepadamu.” Perintah Asher yang terdengar tidak masuk akal. Maksudnya, bagaimana caranya Eugene menyelamatkan anak kecil tersebut di bawah hujan tembakan?

Eugene tak bersuara namun sepertinya kakakku itu mengiyakan perintah Asher. Kami bertiga mulai mengangkat senjata, bersiap untuk menembakkan peluru Machine Gun tersebut kepada kedua makhluk berbau busuk tersebut.

“Mulai!”

Suara tembakan beruntun yang memekakkan telinga mulai terdengar, membuat terkejut dua zombie tersebut yang tubuhnya kini dihujani peluru oleh kami berempat. Disela-sela hujan tembakan itu, dengan lincahnya Eugene berlari. Menghindari peluru, melompat ke sana kemari dan kemudian berhasil menggapai anak kecil tersebut yang langsung memeluk Eugene.

Suara rentetan senjata itu terhenti bersamaan dengan jatuhnya dua makhluk mengerikan tersebut, berlutut kemudian terbaring kaku. Darah hitam mulai menggenang, mengucur dari lubang-lubang yang menjadi sarang peluru kami.

Dengan lembut Eugene menggendong anak kecil tersebut dan bergegas menghampiri kami. “Kita harus cepat berikan anak ini kepada tim penyelamat!”

“GGGGGRRRRRRRRHHHHHHHH!!”

Aku terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan dari berbagai arah. Terdengar seperti geraman, ganas, dan terasa seperti sedang kelaparan? Apa pun itu, sepertinya kami sedang dalam bahaya.

Dan sepertinya bukan hanya aku yang merasakan sinyal bahaya setelah teriakan itu terdengar. Keempat rekan laki-lakiku juga merasakannya ternyata.

“Sial! Berapa banyak jumlah mereka!?” Helios bertanya dengan paniknya. Tangannya langsung bergerak mengisi amunisi senjata laras panjangnya. Kami, kecuali Eugene, juga mengisi amunisi senjata kami. Memasang sikap waspada terhadap sekitar.

“Persiapkan senjata jarak dekat kalian! Pertarungan jarak jauh tidak akan menguntungkan kita ketika jumlah musuh sedikit lebih banyak dari kita!” Asher memberi perintah dengan dirinya mulai menyimpan senapannya di punggung, kemudian menarik keluar sebuah pedang dengan lempeng besi yang meruncing di ujungnya. Bermata dua dan terlihat sangat tajam.

Kami berempat pun tidak ada pilihan lain selain menuruti perintah Asher. Mengeluarkan pedang kami sembari mengatur formasi, kami melangkah keluar dari gang kecil ini kemudian pergi menuju Tim Penyelamat yang berada di perbatasan.

Sinyal bahaya semakin berdering kuat di pikiranku begitu jalanan besar terlihat di mata. Perasaan gelisah yang mengocok perut mulai terasa, mengantarkan ketidaknyamanan yang membuat tanganku gemetar ketika memegang pedangku.

Suara desisan, geraman, dan langkah kaki yang terkesan terburu-buru mulai terdengar ketika kami berada di hadapan sebuah perempatan besar. Aku semakin meningkatkan kewaspadaan, mengantisipasi kemunculan mendadak agar aku tidak begitu terkejut dan berakhir melakukan hal ceroboh yang membahayakan nyawa.

Mataku membulat saat kami berlima benar-benar menapakkan kaki di perempatan jalan. Dari sisi kanan dan kiri, puluhan makhluk kurus kering berlarian hendak menerjang kami. Suara melengking kesenangan ketika melihat enam orang manusia hidup terdengar seiring kecepatan berlari mereka semakin bertambah.

“Lebih baik kita lari! Kita hanya berlima, tidak mungkin untuk menghabisi mereka sekaligus.” Jeremy bersuara dengan wajah paniknya. Kami menatap Asher yang mengeraskan wajahnya. Terlihat berpikir apakah dia harus menuruti perkataan Jeremy atau tidak.

“Asher!” bentakku ketika sekian banyak waktu mulai terbuang karena lamunan Asher yang entah memikirkan apa. Tapi yang pasti, aku mengetahui jika Asher tidak ingin secepat itu berlari ke Tim Penyelamat. Dia pasti ingin menghabisi zombie-zombie ini agar mempermudah kami dalam menjalan misi selanjutnya.

“Baiklah, baiklah! Kita lari saja, sial!” teriak Asher penuh kemarahan karena terjebak dalam kegundahannya sendiri. Kami kemudian berlari, membiarkan Jeremy dan Asher berada di barisan paling belakang formasi kami. Sedangkan aku berlari paling depan bersama Eugene yang menggendong anak kecil yang kami selamatkan.

Suara rentetan senjata kembali terdengar. Asher, Jeremy, dan Helios sedang menembakkan peluru amunisi mereka, mencegah gerombolan makhluk berbau busuk itu mendekati kami. Mataku kembali membulat saat meluruskan pandanganku ke depan.

Ada sekitar tiga zombie yang tiba-tiba muncul dari sebuah pertigaan kecil. Mereka terlihat linglung, sepertinya mereka merasa tertarik setelah mendengar suara rentetan senjata tadi.

“Kau siap, Adik?” Eugene bertanya dengan sebelah tangannya yang mengeluarkan pedang dari sarungnya. Aku sontak menatapnya yang sedang menatap datar zombie-zombie di depan kami yang berlarian menghampiri kami.

Aku mengangguk, menarik keluar katana milikku dari sarungnya. Berlari terlebih dahulu untuk menerjang tiga zombie tersebut yang juga menghunuskan cakar mereka. Bilah logam dengan satu mata pedang milikku melesat dan menari di udara. Memotong tulang yang terbalut kulit makhluk menjijikkan tersebut secara brutal. Darah hitam terciprat, mengotori jalanan dan juga pedangku.

“Nice job, Yveria!” sebuah teriakan terdengar nyaring di belakangku saat aku selesai membelah para zombie yang mengganggu jalan kami. Aku berbalik dan mendapati Helios tengah mengacungkan ibu jarinya sambil berlari mendekatiku.

“Cepat berlari kembali!” seru Asher dan kami kembali berlari dengan formasi yang sama seperti sebelumnya. Mobil Tim Penyelamat sudah terlihat dan sepertinya hendak menancapkan gasnya ketika kami terlihat di radar mereka.

Melihat itu Eugene mempercepat larinya, memegang kepala belakang anak kecil tersebut agar tak berguncang hebat karena berlari secepat angin. Aku bernapas lega ketika anak kecil itu langsung diterima oleh salah satu Tim Penyelamat yang menunggu di mobil.

“Cepat pergilah! Kami masih harus mengumpulkan bahan makanan!” seru Asher saat anggota Tim Penyelamat menatap kami yang tak kunjung menaiki mobil besar tersebut. “Masih banyak kendaraan layak pakai di sini. Kami akan mengendarai mereka untuk kembali ke Erythroupoli!” Lanjutnya berusaha meyakin anggota Tim Penyelamat itu untuk membiarkan kami untuk berada di sini sedikit lebih lama lagi.

Mobil itu akhirnya menggeram kemudian melaju dengan kecepatan sedang ke arah timur, menuju ke kota dibalik tembok yang menjadi tempat teraman dari wabah zombie ini.

“Baiklah, sekarang... apa yang harus kita lakukan dengan mereka?” tanya Helios dengan wajah jengkelnya menatap gerombolan makhluk kurus kering yang berteriak-teriak dengan air liur menetes dari mulut mereka. Aku mengernyit jijik begitu melihatnya.

“Haruskah kita melawan mereka?” tanyaku tanpa sadar memberikan tatapan ngeri pada Asher yang sialnya menganggukkan kepalanya. “Kau serius!? Kita menebas mereka sebanyak ini!?” Aku marah dengan keputusan akhir Asher. Rasanya ingin sekali aku memukulnya dengan gagang katanaku, tepat di belakang kepalanya. Hanya saja aku mengurungkannya karena itu percuma.

“Tidak ada pilihan lain,” cicit Asher seraya menghunuskan pedangnya.

Tidak ada pilihan lain. Kami menghunuskan pedang, berlari menerjang kawanan makhluk kurus kering tersebut.

To Be Continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status