Share

AURORA
AURORA
Penulis: xynaerylynix

Episode 1.

Kota Suralaya yang dikenal akan kebersihan kotanya itu mendadak menjadi yang terkotor di seluruh Netherville begitu kami, Kelompok Operasi Spesial, menginjakkan kaki di jalan utama kota ini.

Banyak tanaman yang layu karena terinjak-injak kaki manusia yang pastinya berlarian ke sana-sini untuk mencari perlindungan ketika kekacauan yang diakibatkan menyebarnya Virus Rusa Zombie yang ditularkan melalui upaya vaksin pencegahan Virus SARS-CoV-2 yang sempat menjadi wabah global. Hampir separuh populasi manusia di seluruh dunia menjadi korban dari keganasan virus tersebut.

Kemudian, ketika sekelompok orang memberikan harapan kepada kami, umat manusia, yang terancam akan kiamat, sebuah harapan di mana kami bisa menjadi kebal terhadap virus tersebut jika kita menyuntikkan sebuah vaksin yang akan mereka sebarkan. Banyak orang-orang kaya berbondong-bondong membeli vaksin tersebut, mengantre cukup panjang dan lama hanya untuk satu kali penyuntikan vaksin. Membiarkan para rakyat yang kurang mampu tidak mendapatkan jatah vaksin yang dibagikan oleh pemerintah.

Lalu, terjadi sebuah kekacauan yang terasa seperti sebuah kiamat sedang terjadi. Kejadian yang digambarkan oleh film-film barat bertemakan ‘Bertahan Hidup’.

Mereka yang divaksin, tiba-tiba berubah menjadi makhluk menyeramkan. Kurus kering, daging ditubuh mereka seakan-akan meluruh, menyisakan tulang yang dibalut oleh kulit yang menghitam dan keriput. Mata mereka berubah total menjadi putih, tidak ada pupil dengan iris dengan warna variasi yang menghiasinya. Gigi mereka pun berubah menjadi tidak rata, rusak, dan terlihat bergerigi. Bau busuk dan kematian tercium kuat dari mereka, membuat mual siapa pun yang berdekatan dengan mereka.

Zombie. Penampilan mereka sedikit berbeda dengan apa yang digambarkan di film-film. Mereka bergerombol, menggeram berisik dengan air liur yang menetes dari sudut bibir. Begitu melihat manusia, mereka akan menyerang. Mengoyak leher dan kemudian meninggalkan seseorang yang mereka gigit begitu saja. Mencari manusia lain yang masih hidup untuk melakukan hal yang serupa.

Terus menerus hingga para manusia satu persatu mati, berubah menjadi serupa dengan mereka yang menyebabkan kekacauan di seluruh dunia semakin parah.

Bahkan yang kudengar dari siaran berita, beberapa negara besar akhirnya hancur. Tidak melakukan upaya penanggulangan karena pemimpin negara mereka mati dan berubah menjadi makhluk kurus tersebut. Menyebabkan mereka tak memiliki rencana untuk menyelamatkan penduduk dan berakhir negara tersebut menjadi negara mati. Hanya ada Zombie-zombie yang berkeliaran, mencari manusia hidup untuk mereka makan dan menyebarkan virusnya.

Negara tempat aku lahir, besar, dan tinggal pun mengalami hal yang serupa. Tapi, sebagian kecil dari para penduduknya diam-diam melalukan upaya penanggulangan. Dan begitu kekacauan itu terjadi, kami masih bisa bertahan di sebuah kota yang berlindung di balik tembok kokoh setinggi sepuluh meter.

Aku, Yveria Andromeda. Merupakan salah satu prajurit Militer Divisi Khusus yang tergabung dalam Kelompok Operasi Spesial. Sedang menjalankan misi penyelamatan di Provinsi Alluxendria Timur, tempat di mana sekarang ini aku sedang bercerita.

Bersama dengan keempat rekan sekelompokku, kami pergi menyusuri jalanan sembari menodongkan senjata laras panjang kami. Tidak ada suara-suara yang berarti di sekitar kami. Hanya suara gesekan dedaunan akibat embusan angin. Benar-benar sunyi hingga membuat sebuah celah kelengahan tercipta di antara kami jika kami tidak memiliki banyak pengalaman di medan perang.

“Terlalu sunyi,” ujar seorang pemuda bertubuh paling tinggi di antara kami, Jeremy Magnolia. “Aku merasa tidak yakin masih ada yang selamat di kota ini.” Dia melanjutkan dengan mata yang memutari sekelilingnya. Berusaha mencari keberadaan makhluk hidup yang sekiranya bisa kami selamatkan di sini. “Jika tidak menemukan seseorang, haruskah kita merampok persediaan bahan makanan di minimarket?” Dia kemudian bertanya, menatap pada salah satu dari kami yang berjalan di depan barisan. Dia ketua kelompok ini.

Ketua kelompok kami itu bernama Asher Selvator. Dia berjalan seorang diri di paling depan dengan tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Bahkan sepertinya dia bisa saja mendengar suara detak jantung kami karena saking fokusnya dia terhadap suara di sekitar. Aku menatapnya di balik bahu Jeremy, Hanya terlihat kepalanya saja karena perbedaan tinggi badan kedua pria itu sedikit berjarak. Sebenarnya, aku menunggu jawabannya atas pertanyaan Jeremy barusan. Aku penasaran, apakah dia akan memperbolehkan kami untuk mencuri dan membagikannya pada manusia yang tersisa di balik tembok.

“Kenapa harus menanyakan sebuah pertanyaan yang sudah mendapatkan jawaban yang pasti? Hukum, moral, ataupun norma sudah tidak berlaku lagi. Kita bebas melakukan tindak kejahatan selama untuk kebaikan.” Dia, Asher, menjawab dengan tajam dan sedikit ketus tak punya perasaan. Terdengar mengesalkan memang. Tapi tetap saja, dia pemimpin kami. Seberapa sakit hatinya kami karena ucapannya, kami tetap tidak bisa membantahnya.

“Kalau begitu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanyaku setelah Asher terdiam untuk beberapa saat setelah mengatakannya. Dapat kulihat dia sedikit menolehkan kepalanya, melihatku dari ujung matanya yang terlihat tajam dengan bibir tebalnya yang terlihat seksi. “Kita tidak mungkin berkeliaran di jalanan besar ini tanpa melakukan apa pun, bukan?”

Asher masih terdiam dan itu membuatku merasa jengkel seketika. “Mana jawabanmu, Ketua!?” pintaku sedikit memaksa.

“Aku tidak bisa memutuskannya secepat ini, Yveria Andromeda!” Suara beratnya terdengar kesal untuk menjawab pertanyaanku. “Berjalan terus menelusuri jalan besar ini memang berbahaya. Lebih berbahaya lagi jika kita bertemu dengan zombie di dalam gedung pencakar langit.” Suara terdengar lebih rendah dari sebelumnya. Terselip sebuah rasa kekesalan yang sepertinya karena tidak menemukan sebuah solusi.

Aku mengangguk sambil bergumam tidak jelas, agar Asher tidak salah paham kepadaku karena merasa mengabaikan jawabannya. Aku menunduk untuk menatap kakiku yang dilapisi sepatu boots berwarna hitam mengilat begitu terkena cahaya.

Setiap kali melangkah, beban berat terasa sangat menyakitkan untuk sebuah kaki yang sudah cukup lama berjalan tanpa bantuan kendaraan. Namun, aku abaikan karena merasa nyaman saja karena sudah terbiasa.

Asher tiba-tiba mengisyaratkan untuk berhenti secara mendadak. Sontak kami berempat berhenti tepat di balik punggung Asher yang masih mengacungkan kelima jarinya.

“Apakah ada sesuatu yang akan muncul?” tanya Jeremy mendekat pada Asher yang terlihat seperti sedang menajamkan telinganya.

Tanpa terduga aku mendengar sebuah suara rintihan dan teriakan namun terasa samar-samar. Tempatnya seakan-akan berada jauh di depan sana namun karena sunyinya keadaan sekitar, suara itu mampu tertangkap di indra pendengaranku dan Asher.

“Ada suara teriakan,” jawab seorang pemuda bersurai hitam legam yang bernama Eugene Andromeda, kakakku, berdiri tepat di sebelahku. Aku menoleh kepadanya karena merasa takjub dia bisa mendengar suara yang asalnya dari jauh tersebut. Wajahnya terlihat datar dan dingin, tidak ada emosi yang tersampaikan dari sana. “Suara anak kecil menangis, seorang wanita yang merintih, dan... samar-samar terdengar suara teriakan laki-laki karena dagingnya terkoyak.”

Aku sontak membulatkan mataku karena terkejut dan merasa kagum dengan kehebatan kakakku, Eugene. Dia bisa mendengar suara sampai sedetail itu, sedangkan aku hanya bisa mendengar suara rintihan wanita dari kejauhan sana.

“Apakah para zombie itu mulai bermunculan?” tanya seorang pemuda yang sedikit lebih pendek dari ketiga rekanku yang lain, namanya Helios Lexone. Dia bergerak mendekati Asher sembari menodongkan senapan laras panjangnya ke segala arah, kewaspadaannya patut di acungi jempol.

Tak ada sahutan. Kami semua lebih memilih untuk mengintai sekitar kami. Mengantisipasi kemunculan makhluk-makhluk kurus kering yang menyebabkan kiamat kecil dan memusnahkan hampir seluruh manusia di seluruh dunia.

“Kita bergerak sekarang. Pergi menuju ke tempat sumber suara itu berasal!”

Aku mengernyit saat Asher mengatakan untuk mendekati sumber suara. Ada sebuah perasaan yang mengganjal di dadaku, seperti sebuah pertanda akan terjadi sesuatu yang buruk jika kami pergi ke sana. Namun, aku mengabaikannya dan lebih memilih untuk menyusul rekan-rekanku.

Tanpa tahu akan terjadi suatu kejadian yang menyebabkan salah satu dari kami pergi dari dunia ini.

To Be Continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status