Kota Suralaya yang dikenal akan kebersihan kotanya itu mendadak menjadi yang terkotor di seluruh Netherville begitu kami, Kelompok Operasi Spesial, menginjakkan kaki di jalan utama kota ini.
Banyak tanaman yang layu karena terinjak-injak kaki manusia yang pastinya berlarian ke sana-sini untuk mencari perlindungan ketika kekacauan yang diakibatkan menyebarnya Virus Rusa Zombie yang ditularkan melalui upaya vaksin pencegahan Virus SARS-CoV-2 yang sempat menjadi wabah global. Hampir separuh populasi manusia di seluruh dunia menjadi korban dari keganasan virus tersebut.
Kemudian, ketika sekelompok orang memberikan harapan kepada kami, umat manusia, yang terancam akan kiamat, sebuah harapan di mana kami bisa menjadi kebal terhadap virus tersebut jika kita menyuntikkan sebuah vaksin yang akan mereka sebarkan. Banyak orang-orang kaya berbondong-bondong membeli vaksin tersebut, mengantre cukup panjang dan lama hanya untuk satu kali penyuntikan vaksin. Membiarkan para rakyat yang kurang mampu tidak mendapatkan jatah vaksin yang dibagikan oleh pemerintah.
Lalu, terjadi sebuah kekacauan yang terasa seperti sebuah kiamat sedang terjadi. Kejadian yang digambarkan oleh film-film barat bertemakan ‘Bertahan Hidup’.
Mereka yang divaksin, tiba-tiba berubah menjadi makhluk menyeramkan. Kurus kering, daging ditubuh mereka seakan-akan meluruh, menyisakan tulang yang dibalut oleh kulit yang menghitam dan keriput. Mata mereka berubah total menjadi putih, tidak ada pupil dengan iris dengan warna variasi yang menghiasinya. Gigi mereka pun berubah menjadi tidak rata, rusak, dan terlihat bergerigi. Bau busuk dan kematian tercium kuat dari mereka, membuat mual siapa pun yang berdekatan dengan mereka.
Zombie. Penampilan mereka sedikit berbeda dengan apa yang digambarkan di film-film. Mereka bergerombol, menggeram berisik dengan air liur yang menetes dari sudut bibir. Begitu melihat manusia, mereka akan menyerang. Mengoyak leher dan kemudian meninggalkan seseorang yang mereka gigit begitu saja. Mencari manusia lain yang masih hidup untuk melakukan hal yang serupa.
Terus menerus hingga para manusia satu persatu mati, berubah menjadi serupa dengan mereka yang menyebabkan kekacauan di seluruh dunia semakin parah.
Bahkan yang kudengar dari siaran berita, beberapa negara besar akhirnya hancur. Tidak melakukan upaya penanggulangan karena pemimpin negara mereka mati dan berubah menjadi makhluk kurus tersebut. Menyebabkan mereka tak memiliki rencana untuk menyelamatkan penduduk dan berakhir negara tersebut menjadi negara mati. Hanya ada Zombie-zombie yang berkeliaran, mencari manusia hidup untuk mereka makan dan menyebarkan virusnya.
Negara tempat aku lahir, besar, dan tinggal pun mengalami hal yang serupa. Tapi, sebagian kecil dari para penduduknya diam-diam melalukan upaya penanggulangan. Dan begitu kekacauan itu terjadi, kami masih bisa bertahan di sebuah kota yang berlindung di balik tembok kokoh setinggi sepuluh meter.
Aku, Yveria Andromeda. Merupakan salah satu prajurit Militer Divisi Khusus yang tergabung dalam Kelompok Operasi Spesial. Sedang menjalankan misi penyelamatan di Provinsi Alluxendria Timur, tempat di mana sekarang ini aku sedang bercerita.
Bersama dengan keempat rekan sekelompokku, kami pergi menyusuri jalanan sembari menodongkan senjata laras panjang kami. Tidak ada suara-suara yang berarti di sekitar kami. Hanya suara gesekan dedaunan akibat embusan angin. Benar-benar sunyi hingga membuat sebuah celah kelengahan tercipta di antara kami jika kami tidak memiliki banyak pengalaman di medan perang.
“Terlalu sunyi,” ujar seorang pemuda bertubuh paling tinggi di antara kami, Jeremy Magnolia. “Aku merasa tidak yakin masih ada yang selamat di kota ini.” Dia melanjutkan dengan mata yang memutari sekelilingnya. Berusaha mencari keberadaan makhluk hidup yang sekiranya bisa kami selamatkan di sini. “Jika tidak menemukan seseorang, haruskah kita merampok persediaan bahan makanan di minimarket?” Dia kemudian bertanya, menatap pada salah satu dari kami yang berjalan di depan barisan. Dia ketua kelompok ini.
Ketua kelompok kami itu bernama Asher Selvator. Dia berjalan seorang diri di paling depan dengan tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Bahkan sepertinya dia bisa saja mendengar suara detak jantung kami karena saking fokusnya dia terhadap suara di sekitar. Aku menatapnya di balik bahu Jeremy, Hanya terlihat kepalanya saja karena perbedaan tinggi badan kedua pria itu sedikit berjarak. Sebenarnya, aku menunggu jawabannya atas pertanyaan Jeremy barusan. Aku penasaran, apakah dia akan memperbolehkan kami untuk mencuri dan membagikannya pada manusia yang tersisa di balik tembok.
“Kenapa harus menanyakan sebuah pertanyaan yang sudah mendapatkan jawaban yang pasti? Hukum, moral, ataupun norma sudah tidak berlaku lagi. Kita bebas melakukan tindak kejahatan selama untuk kebaikan.” Dia, Asher, menjawab dengan tajam dan sedikit ketus tak punya perasaan. Terdengar mengesalkan memang. Tapi tetap saja, dia pemimpin kami. Seberapa sakit hatinya kami karena ucapannya, kami tetap tidak bisa membantahnya.
“Kalau begitu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanyaku setelah Asher terdiam untuk beberapa saat setelah mengatakannya. Dapat kulihat dia sedikit menolehkan kepalanya, melihatku dari ujung matanya yang terlihat tajam dengan bibir tebalnya yang terlihat seksi. “Kita tidak mungkin berkeliaran di jalanan besar ini tanpa melakukan apa pun, bukan?”
Asher masih terdiam dan itu membuatku merasa jengkel seketika. “Mana jawabanmu, Ketua!?” pintaku sedikit memaksa.
“Aku tidak bisa memutuskannya secepat ini, Yveria Andromeda!” Suara beratnya terdengar kesal untuk menjawab pertanyaanku. “Berjalan terus menelusuri jalan besar ini memang berbahaya. Lebih berbahaya lagi jika kita bertemu dengan zombie di dalam gedung pencakar langit.” Suara terdengar lebih rendah dari sebelumnya. Terselip sebuah rasa kekesalan yang sepertinya karena tidak menemukan sebuah solusi.
Aku mengangguk sambil bergumam tidak jelas, agar Asher tidak salah paham kepadaku karena merasa mengabaikan jawabannya. Aku menunduk untuk menatap kakiku yang dilapisi sepatu boots berwarna hitam mengilat begitu terkena cahaya.
Setiap kali melangkah, beban berat terasa sangat menyakitkan untuk sebuah kaki yang sudah cukup lama berjalan tanpa bantuan kendaraan. Namun, aku abaikan karena merasa nyaman saja karena sudah terbiasa.
Asher tiba-tiba mengisyaratkan untuk berhenti secara mendadak. Sontak kami berempat berhenti tepat di balik punggung Asher yang masih mengacungkan kelima jarinya.
“Apakah ada sesuatu yang akan muncul?” tanya Jeremy mendekat pada Asher yang terlihat seperti sedang menajamkan telinganya.
Tanpa terduga aku mendengar sebuah suara rintihan dan teriakan namun terasa samar-samar. Tempatnya seakan-akan berada jauh di depan sana namun karena sunyinya keadaan sekitar, suara itu mampu tertangkap di indra pendengaranku dan Asher.
“Ada suara teriakan,” jawab seorang pemuda bersurai hitam legam yang bernama Eugene Andromeda, kakakku, berdiri tepat di sebelahku. Aku menoleh kepadanya karena merasa takjub dia bisa mendengar suara yang asalnya dari jauh tersebut. Wajahnya terlihat datar dan dingin, tidak ada emosi yang tersampaikan dari sana. “Suara anak kecil menangis, seorang wanita yang merintih, dan... samar-samar terdengar suara teriakan laki-laki karena dagingnya terkoyak.”
Aku sontak membulatkan mataku karena terkejut dan merasa kagum dengan kehebatan kakakku, Eugene. Dia bisa mendengar suara sampai sedetail itu, sedangkan aku hanya bisa mendengar suara rintihan wanita dari kejauhan sana.
“Apakah para zombie itu mulai bermunculan?” tanya seorang pemuda yang sedikit lebih pendek dari ketiga rekanku yang lain, namanya Helios Lexone. Dia bergerak mendekati Asher sembari menodongkan senapan laras panjangnya ke segala arah, kewaspadaannya patut di acungi jempol.
Tak ada sahutan. Kami semua lebih memilih untuk mengintai sekitar kami. Mengantisipasi kemunculan makhluk-makhluk kurus kering yang menyebabkan kiamat kecil dan memusnahkan hampir seluruh manusia di seluruh dunia.
“Kita bergerak sekarang. Pergi menuju ke tempat sumber suara itu berasal!”
Aku mengernyit saat Asher mengatakan untuk mendekati sumber suara. Ada sebuah perasaan yang mengganjal di dadaku, seperti sebuah pertanda akan terjadi sesuatu yang buruk jika kami pergi ke sana. Namun, aku mengabaikannya dan lebih memilih untuk menyusul rekan-rekanku.
Tanpa tahu akan terjadi suatu kejadian yang menyebabkan salah satu dari kami pergi dari dunia ini.
To Be Continue.
Apa yang didengar oleh Eugene benar adanya. Setelah melewati dua perempatan utama jalanan besar di pusat Kota Suralaya, akhirnya kami menemukan sumber suara tersebut. Di celah cukup sempit di antara dua bangunan pencakar langit, terdapat tiga manusia dan dua makhluk kurus kering dengan bau busuk yang sangat menusuk ke hidung. Seorang lelaki, kakinya sedang dikunyah dengan begitu rakus oleh salah satu zombie tersebut. Matanya melotot kepada kami, terlihat kosong dan penuh kehampaan. Dan tentu saja kami tahu. Dia telah mati. Ada lagi seorang wanita. Sekarat di pelukan makhluk kurus kering itu. Suara kunyahan dan sebuah geraman terdengar dari sana. Leher wanita itu dikoyak cukup ganas oleh zombie tersebut. Pemandangan yang mengundang mual yang entah kenapa kami berlima seperti sudah terbiasa. “Ada anak kecil di sudut sana,” bisik Helios yang kini berdiri di seb
Lautan darah hitam tercipta, memenuhi jalan utama Kota Suralaya yang senggang. Tubuh-tubuh yang kurus kering, tinggal tulang yang terbalut kulit tergeletak di sana-sini. Potongan tangan, bahkan hingga kepala pun ikut memeriahkan acara menghias jalanan besar tersebut.Aku terengah, menatap satu persatu anatomi tubuh yang terlepas dari batang kokohnya karena tebasanku. Sudah setengah jam berlalu, tapi jumlah dari makhluk menjijikkan ini tidak berkurang sedikit pun. Semakin bertambah hingga membuat kami kewalahan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang membuatku terkejut.Mereka membawa bahan peledak! Entah dari mana mereka mendapatkannya, tapi yang pasti mereka mengerti cara menggunakannya. Dan itu membuat kami kewalahan karena harus menghindari tempat yang dilempari bahan peledak tersebut.“Kalau begini terus, kita bisa mati di sini!” Tidak jauh dari tempatku, Helios terdengar sedang mengeluh. K
Serpihan-serpihan ingatan yang berisikan kobaran api mengganggu kegelapanku.Eugene yang berlari kesetanan mengejar Reptilian yang menyanderaku.Kemudian terdengar sebuah ledakan dan berakhir aku mati di pelukan seseorang misterius.Aku melompat bangun. Memaksakan membuka mata begitu saja hingga sebuah denyutan yang terasa perih di kelopak mata kiriku. Sebelah pandanganku juga terlihat gelap. Apakah aku mengalami kebutaan di sebelah mataku?Ada sebuah rasa sakit lain yang terasa di berbagai tempat di sekujur tubuhku. Ada sebuah perasaan hampa, dan sebuah rasa lapar yang sangat luar biasa hingga membuat tenggorokanku terasa kering. Mungkin jika aku bersuara sedikit saja bisa menyebabkan tenggorokanku lecet.Namun mengabaikan kekhawatiranku, aku memilih untuk melihat sekitar. Tempat yang sangat asing. Usang, berdebu, terlihat sudah ditinggalkan pu
Di sinilah aku. Berada di sebuah ruangan yang sepertinya adalah sebuah kantor di masa lampau. Bersama dengan Aquilla yang sedang sibuk memperhatikanku yang berdiri kikuk di hadapannya. Pria itu menyenderkan bokongnya pada meja yang telah berjamur, kedua tangannya menyilang di dada. Benar-benar terasa seperti aku sedang diinterogasi oleh atasan karena melakukan kesalahan.“Sejujurnya, aku juga merasa takjub dengan kecepatanmu menerima suatu hal di luar logika, seperti saat ini.” Dia membuka suara setelah sekian menit diselimuti keheningan. “Tapi itu membuatku bisa menghemat waktu untuk meyakinkanmu akan kenyataan.”Aku hanya mengangguk dan terus menatap Aquilla yang melakukan hal yang sama denganku. Tidak ada percakapan lagi selanjutnya. Kembali diselimuti keheningan, membiarkan suara-suara alam dan desis angin menguasai indra pendengaran kami.“Kau tahu siapa aku?”
Tepat tengah malam, aku berada di atas bukit di sebuah padang rumput maha luas bersama dengan Seonghwa. Setelah sesi perkenalan itu, Aquilla tanpa menjelaskan apa pun lagi langsung memerintah Seonghwa untuk menjadi pemanduku dalam pelajaran pertama sebagai seorang Seraphie.“Aku sudah mendengar garis besarnya dari Aquilla tentang dunia ini,” ujarku membuka percakapan dengan kakak satu darahku yang sedang berdiri di ujung bukit kecil ini. “Jadi, kau sudah setua apa untuk menjadi seorang Seraphie?” Hening sejenak, kakak satu darahku itu tak bergeming sama sekali. Angin malam yang dingin yang tak dapat kurasakan berembus, menerbang surai hitamku dan juga Seonghwa yang masih berdiri di sana. Mendongak menatap langit yang bertabur bintang.“Empat puluh delapan tahun.” Seonghwa bersuara tanpa emosi dan tak berniat mengalihkan sed
Aku membulatkan mataku karena tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Yoon Seonghwa, dengan santainya mengizinkan para perampok itu untuk bersenang-senang denganku. Amarahku mendadak menyentuh ubun-ubun. Iblis di dalam tubuhku pun meraung, merasa tidak terima dengan ucapan kakak satu darahku itu. “Yoon Seonghwa,” panggilku, merasa terkhianati dan dia tetap bergeming, bahkan dia tak menoleh kepadaku ataupun melirikku. Menyebalkan. “Ini pelatihanmu. Aku yakin kau bisa bela diri jika dilihat dari pakaianmu yang kau pakai saat pertama kali Aquilla membawamu kemari.” Akhirnya dia bersuara namun tetap saja menyebalkan di mataku. Aku mendengus kesal, mengarahkan mataku untuk melihat salah satu dari mereka, para perampok itu, mendekatiku dengan senyuman nakalnya. Mungkin pria gendut dengan tangan yang diselimuti oleh kotoran itu berpikir kalau anak perempuan
Sedikit mengentakkan kakiku dengan sengaja karena kesal, Aku melangkah menuju Aquilla. Kuharap pria tampan itu masih berada di ruangannya.Seonghwa benar-benar pergi, tanpa memberikanku sebuah kesempatan untuk menyusulnya karena rasa penasaran yang melambung tinggi ke atas langit. Alhasil, aku merasa kesal seperti seorang anak kecil yang ditinggal kakak tercintanya.Dan itu membuatku merinding.Aku terperanjat terkejut saat pintu coklat yang hendak kubuka tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Menampilkan wajah dingin Aquilla yang melemahkan sedikit otot wajahnya. Baru kali ini kulihat wajah terkejutnya itu.“Fajar masih lama, cepat sekali kau kembali,” ucapnya segera menutup kembali pintu coklat tersebut dan kami berdiri saling berhadapan. Sial, tinggi badanku hanya sebatas tulang selangkanya saja. Dan itu membuatku harus mendongak untuk menatap tepat di mata ungunya.
Aku melompat dan terbangun di malam berikutnya karena sebuah suara gaduh dari luar gudang ini.Sebuah gudang yang tak tersentuh oleh cahaya matahari sedikit pun dan aku memutuskan untuk tidur di sini setelah mengucapkan selamat tidur kepada Aquilla. Dan benar saja, aku membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk terpejam.Aku beranjak dari posisiku, duduk meringkuk di sudut gudang. Keluar dari tempat ini untuk memeriksa apa yang sedang terjadi di luar sana. Lorong gelap dan berbau apak. Berantakan. Kertas-kertas berjamur yang berserakan di seluruh lantai kayu yang berderit setiap kali kuinjak. Dan terkadang aku mencium aroma darah yang sudah disamarkan oleh bau jamur yang entah pusatnya di mana.Aku menengok di balik tembok berjamur dan retak, mendapati sosok Yoon Seonghwa yang sedang berhadapan dengan seorang pria yang tak kukenal di ruang terbuka di bangunan tua ini. Pria itu bersurai hitam kec