Share

5 :: Panggilan Rejeki ::

Eadric melihat ponselnya sepanjang jalan dia menuju kantor Raka siang ini. Dia berpikir tidak mungkin lagi bertemu wanita yang dia foto di lampu merah semalam. Padahal semalam dia tidur berfantasi-kan wajah polos wanita ini.

"Bos kita sudah sampai," suara Ali membuat Ed memasukkan ponselnya ke dalam saku jas.

"Bos apa tidak menelpon Pak Raka dulu mungkin beliau sedang makan diluar kantor karena ini jam makan siang."

"Raka makan siang di luar ? Robot sepertinya pasti akan tetap di kantor meski jam makan siang." Ed tersenyum kepada Ali mengingat betapa gigih temannya yang bernama Raka itu bekerja.

Ketika Ed masuk beberapa karyawan yang mengenalnya sebagai teman dari bos mereka langsung membungkuk memberi hormat.

Ada satu wanita cantik yang melewatinya dengan rok mini yang jelas sekali wanita itu mengumbar keseksian tubuhnya tersenyum menggoda Ed.

Dengan jahilnya sebelum pintu lift tertutup Ed mengedipkan satu matanya kepada wanita itu. Ali hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Ed.

Ali dan Ed sampai di lantai dimana ruangan Raka berada, mereka melihat meja sekertaris kosong sehingga Ed dengan mudah masuk ke dalam ruangan Raka. "Lihat sudah ku bilang Ali teman ku ini tidak akan meninggalkan kantor jika tidak ada paksaan."

"Kau datang? Bukannya janji kita setelah makan siang?"

Seorang wanita mengetuk pintu ruangan Raka membuat Ed tidak jadi berbicara. Wanita itu masuk dengan nampan di tangannya. Makanan yang dibawa wanita itu terlihat sangat menggoda dan aromanya membuat perut Ed minta di isi.

“Apa yang kamu bawa?” tanyanya sambil menatap makanan yang di bawa oleh wanita itu.

“Ayam rend—”

“Buat saya.” Tanpa basa-basi, Ed langsung mengambil nampan itu dan membawanya duduk.

“Tapi itu makan siang Pak Raka,” gumam wanita itu pelan. Dia tampak bingung dan menatap Raka meminta bantuan. Membuat Ed geli melihat ekspresi wanita  yang kini terlihat bingung itu.

"Karyawan baru? Nama kamu siapa?" tanya Ed.

"Nindy, Pak. Asisten Pak Raka.”

"Jangan menggodanya, Ed," ujar Raka jengah.

"Aku hanya bertanya nama bukan alamatnya." Balas Ed dengan santai lalu dia terlihat sangat menikmati makanan itu. “Ini enak sekali. Kamu beli di mana Nindy?”

Raka mendengus mendengar pertanyaan Ed. Bahkan pria itu tidak peduli dengan dua orang yang menatapnya kesal saat ini.

“Saya pesan di teman saya, Pak.”

Ed mengangguk dan berbicara dengan mulut yang penuh, “Beri saya nomornya biar saya bisa beli sendiri nanti.”

Setelah terlihat berpikir Nindy berdehem dan mulai memasang wajah serius, “Tapi teman saya hanya menerima pesanan dengan jumlah banyak, Pak.”

Ed mengangkat wajahnya dan mengangguk, “Tidak masalah. Saya bisa pesan buat kantor saya.”

Wanita bernama Nindy itu menyebutkan nomor teman yang katanya memasak makanan yang sedang Ed nikmati sementara Ali yang menyimpan nomor tersebut.

Sudah dari semalam dia sangat suka makan makanan berat seperti ini itu artinya olahraga-nya juga harus ekstra nanti malam.

***

Terik matahari sudah membuat peluh di tubuh Arinda semakin lengket rasanya. Hari ini pagi-pagi sekali dia sudah berangkat menggunakan sepedanya ke salah satu pasar yang tidak jauh dari tempat kost-nya.

Arinda sudah mengikat kotak dengan aman di bagian tengah sepeda untuk meletakkan beberapa bungkus nasi dan juga lauk serta sayur yang sudah siap dia masak untuk dijual di pasar. Berharap ada beberapa orang yang tidak sempat membuat sarapan akan membelinya.

Namun saat dia berhasil mendapatkan lapak untuk dia berjualan ada saja penjual lain yang mengusir dan mengatakan itu adalah tempat berjualan mereka.

Arinda akhirnya memutuskan berkeliling saja di sepanjang jalan di pasar sambil menawarkan jualannya kepada semua orang yang dia lihat.

Sudah empat jam dan dia mulai kelelahan. "Nasi ayam kremes, nasi rendang," katanya  masih berjalan perlahan sambil mendorong sepedanya. Dari berkeliling di dalam pasar kini Arinda pergi ke pinggir jalan di sekitaran pasar tersebut.

"Arinda. Oi Samosa," panggil suara dari belakangnya dan jika sudah memanggil dengan Samosa pasti dia adalah Ena alias Reina salah satu sahabat Arinda juga. Arinda berhenti dan melihat ke arah belakangnya.

"Apa ?" tanyanya lalu motor yang membawa Reina kini maju ke depan dan sudah berada di sebelahnya.

"Ini siapa pac__," ucap Arinda terhenti karena pelototan Reina yang memberhentikan pertanyaan Arinda.

"Lo lagi ngapain di sini ?" tanya Reina kemudian.

"Jualan nasi. Udah kalau gak mau beli sana deh gue mau lanjut lagi. Eh tunggu lo balik jangan malam-malam terus Ena, ntar ada yang marah baru tau rasa."

"Siapa yang marah ?" tanya pria yang membonceng Reina saat ini.

"Bapaknya," jawab Arinda lalu dia tertawa seorang diri sementara Reina mungkin saat ini ingin menjewer kuping Arinda. "Udah bye gue mau lanjut jualan lagi," kata Arinda melambaikan tangan dan kini dia sudah kembali berteriak menjajakan jualannya kembali.

Dari jam enam pagi kini sudah mencapai pukul sebelas siang, Arinda melihat wadah kotak tempat dia meletakkan jualannya. Masih ada tersisa dua bungkus nasi dan tiga lauk serta sayur, Arinda menarik napas meski tidak sepenuhnya habis tapi dia tetap bersyukur, lagi pula sisa jualannya masih bisa dia makan di kost nanti.

Arinda pun ingin pergi dari jalanan pasar yang kini sudah penuh tapi rejekinya datang karena satu buah mobil   berhenti di sebelahnya dan wajah seorang wanita cantik  bertanya kepadanya.

"Kamu jualan apa ? Nasi atau hanya kue saja," tanya wanita itu.

"Nasi kak. Ada ayam kremes ada juga yang ayam rendang," jawab Arinda masih tersenyum dengan ramah.

"Pas kalau gitu saya memang lagi cari nasi. Saya mau keduanya deh ya," kata wanita itu lalu memberikan selembar uang kertas berwarna merah kepada Arinda.

Dia lagi mengambil uang kembaliannya namun kemudian mobil tersebut sudah pergi. Arinda sudah memanggil tapi nyatanya mobil itu pergi begitu saja.

"Cantik,kaya, baik lagi." Arinda mengatakan hal itu sambil mendamba. Sedetik kemudian dia tersenyum sendiri lalu benar-benar meninggalkan pasar.

Kayuh sepedanya berhenti tepat di depan kost dia turun kemudian mengunci sepedanya di parkiran yang tersedia.

"Arinda," sapa Anton yang sepertinya baru ingin keluar.

"Eh Bang Anton ada apa ?"

"Teman-teman saya memuji masakan kamu mereka bilang makanan kamu luar biasa enak," kata Anton membuat senyum Arinda merekah.

"Makasih ya bang atas orderannya."

"Iya sama-sama. Oh ya kamu ada acara gak nanti malam," tanya Anton dan Arinda yang tidak memiliki acara menggelengkan kepalanya.

"Kalau tidak ada mau gak ikut saya nonton ?" Arinda sebenarnya mau saja namun dia berpikir sedang sangat-sangat menghemat lagi pula dia juga harus mempersiapkan jualan untuk besok.

"Duh bang Anton maaf ya, nanti malam Arinda harus siapin untuk jualan besok di pasar."

"Oh ya sudah lain kali saja," kata Anton lalu dia pamit pergi dari hadapan Arinda.

Menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya bagaikan naik gunung untuk Arinda saat ini, kakinya benar-benar sudah pegal.

Begitu masuk kamar Arinda meluruskan kakinya lalu minum banyak air putih yang ada di botol minum.

Ponselnya bergetar menampilkan nama Gendis, dia mengangkatnya langsung.

"Apaan ?" tanya Arinda dengan suara lelah.

["Lo ngapain? habis agustusan apa gimana?”]

"Apaan sih Gen gue capek nih habis jualan. Lo kenapa nelpon ? Awas aja kalau minta anterin makan, gue udah gak sanggup mau jalan lagi."

["Dih, sok tau lo. Itu tadi ada temen Pak Raka yang minta nomor telpon lo. Katanya dia suka masakan lo dan mau order. Awas kalau gak lo angkat. Rejeki tuh."]

"Ah... Mantap ! Thanks me beloped Gendis."

["Belo belo! Nggak usah sok Inggris, Butet! Inggris lo belepotan."]

Sambungan telpon terputus dan Arinda tertawa puas, dia memang tidak bisa bahasa inggris dan itu kadang membuat sahabatnya kesal jika mereka menonton karena dia pasti tidak akan mau menonton film luar.

"Lebih baik baca novel, dari pada nonton yang dilihat hanya subtitle-nya doang !"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status