Home / Young Adult / About Me: Alshameyzea / Bab 7. Bukti (Part 2)

Share

Bab 7. Bukti (Part 2)

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-09-26 07:00:31

"Alsha, kamu udah siap belum?" Suara Aline membuyarkan lamunanku, dengan nada ceria yang menyentuh.

Aku tersadar dan menoleh padanya. "Iya, ayo berangkat," jawabku sambil tersenyum, mencoba menepis kerinduan yang menyelinap di pikiranku.

Malam ini kami berencana menuju Grandfather Coffeeshop, tempat yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Karena jaraknya yang dekat, kami memutuskan untuk jalan kaki. Langkah-langkah kami menapaki jalanan yang tenang, diterangi oleh lampu-lampu kota yang berkelip lembut. Kafka yang mengundang kami ke acara ini, dan hampir seluruh teman sekelas kami dijadwalkan hadir.

Ketika kami sampai di depan rumah, langkah kami terhenti sejenak. Di depan gerbang, Keenan bersama teman-temannya sudah menunggu di atas motor mereka yang terparkir di pinggir jalan. Mereka tampak santai dan karismatik, dikelilingi oleh kilau lampu jalanan yang lembut.

Kami melangkah mendekati gerbang dengan rasa penasaran. Aline, dengan tatapan campur aduk antara heran dan tidak sabar, memandang ke arah mereka dan bertanya, "Kalian ngapain di sini?"

Abhi membalas dengan senyum lebar, mengangkat satu alisnya, "Mau jemput tuan putri."

Aline mengerutkan kening, melirik ke arahku dengan nada mengomel, "Siapa? Alsha? Gak ya! Alsha bareng gue jalan kaki. Enak aja, udah cantik-cantik gini, pakai rok juga, masa iya dibonceng pakai motor sport."

Mereka semua memperhatikan penampilan kami, dan aku merasakan kehangatan di wajahku. Seperti yang dikatakan Aline, aku juga enggan dibonceng motor besar itu.

Keenan tersenyum, mencoba tampak santai, dan bertanya, "Sheena? Mau kan dibonceng aku?"

Aline segera menyahut dengan tegas, "Gak boleh! Alsha mau jalan kaki bareng gue!"

"Heh bawel. Yang ditanya siapa yang jawab siapa," sergah Kafka, suaranya terdengar acuh tak acuh.

"Bodo amat! Mulut-mulut gue, suka-suka gue lah!" balas Aline dengan penuh semangat, tidak mau mengalah.

Nevan, yang selama ini hanya mengamati, akhirnya ikut berbicara dengan nada setengah menggoda, "Mulai dah mulai."

Keenan, dengan senyum lebar di wajahnya, menggoda, "Sheena bareng aku ya."

Aku tertawa kecil, merasa sedikit canggung, dan menjawab, "Ee... aku jalan kaki aja bareng Aline. Makasih banyak tawarannya." Senyumku tipis, namun tulus.

Abhi, yang berdiri di samping Keenan, mencoba membujuk dengan nada khawatir, "Duh neng Alsha, nanti kalau jalan kaki kelamaan sampainya, cafe-nya keburu tutup loh."

Nevan menambahkan dengan nada bercanda, "Bener tuh, apalagi ini sudah malem, nanti kalau di jalan ada orang yang iseng gimana?"

Aline langsung membalas dengan tegas, "Lo yang iseng! Yuk Al, kita jalan." Dia menarik tanganku dengan semangat.

Sebelum kami sempat melangkah lebih jauh, Keenan turun dari motornya dan mencegat kami berdua. "Sheena," katanya dengan nada lembut namun penuh perhatian, "kamu beneran gak mau dibonceng aku?"

Aku tersenyum tipis, menjawab dengan penuh rasa terima kasih, "Engga, Keenan, makasih ya tawarannya. Aku gak bisa naik motor kamu kalau pakaianku seperti ini."

Aline menimpali dengan sedikit kesal, "Nah kan? Lo gak denger Keenan?"

Keenan tampak khawatir, suaranya bergetar lembut, "Tapi kalau nanti Sheena gue kenapa-kenapa gimana?"

Kata-kata Keenan membuat jantungku berdegup kencang. Sheena gue? Pikiranku berputar, terhanyut dalam makna di balik kalimatnya.

Kafka, yang sudah mulai tidak sabar, berdehem pelan sebelum ikut turun dari motornya. "Kalau masih debat terus, kapan mau sampainya? Ini udah hampir jam delapan,"

"Kalau gitu aku dan Aline naik angkot aja," ucapku sambil menunjuk ke angkot yang berhenti di seberang jalan.

"Aku ikut," ucap Keenan, membuat teman-temannya terkejut.

"Lo serius?" tanya Kafka, tampak tidak percaya.

"Motornya Pak Ketu gimana?" tanya Abhi.

"Bukannya lo itu gak suka naik angkot?" tanya Nevan, bingung.

Aline dan aku saling melirik, baru menyadari bahwa Keenan sepertinya tidak pernah naik angkot sebelumnya.

"Motor gue, lo yang bawa," ucap Keenan sambil menyerahkan kunci motornya kepada Abhi. "Yuk, Sheena." Dengan langkah cepat dan penuh tekad, Keenan berlari menuju angkot yang sudah menunggu, meninggalkan kami semua yang masih terheran-heran dengan keputusan mendadaknya.

"Keenan bisa ngelakuin apa aja demi orang yang dia suka," ujar Kafka dengan nada santai, membuat jantungku berdegup kencang mendengar kata-katanya.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 7)

    “E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 6)

    Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 5)

    Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

    Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

    Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status