Alvin berjalan ke markas dengan tatapan penuh amarah. Dua orang pemuda menyambut kedatangan Alvin dengan antusiasme tinggi. Mereka berdua adalah Roni dan Jack.
"Tuan Alvin, kami ingin melaporkan jika pengiriman obat-obatan ke luar negeri berjalan dengan lancar," ucap Roni mewakili.
"Benarkah, bagus? Kalian berempat, bawa mereka berdua ke ruang penyiksaan!" perintah Alvin pada keempat bodyguardnya.
Roni dan Jack dibuat tersentak oleh perintah Alvin, belum lagi keempat bodyguard itu menyeret tubuh mereka ke ruang penyiksaan. "Hei, apa-apaan ini?! Kami bersusah payah mengirim obat-obatan itu ke luar negeri, beginikah balasan yang kami dapat?! Lepaskan kami, Tuan Alvin!" Jack berteriak tidak terima pada Alvin.
Alvin tidak menghiraukan teriakan Jack yang mengungkit jasanya. Amarah sudah menguasai dirinya secara penuh dan hasrat untuk membunuh sudah semakin meningkat. Dia tidak akan menahan diri untuk dua berandal kelas teri itu. Setibanya mereka di ruang p
Sorry, updatenya terlalu lama kali ini. Kesibukan di dunia nyata benar-benar menyita waktuku. Akhirnya bisa update lagi hari ini, semoga kalian tidak bosan menunggu, meskipun aku tahu tidak ada yang membaca cerita ini. Bye-bye....
Setibanya Albert, Felix, dan Naomi di penjara, mereka langsung mengunjungi Clara dan kebetulan Clara sudah menunggu mereka. Jika bukan karena keinginan Clara yang ingin membawa Naomi dalam penangkapan Alvin nanti, mereka tidak ingin membawa Naomi untuk menjenguk Clara. Belum lagi harus menunggu gadis itu berdandan layaknya ke pesta. Albert mendekati Clara dan berbisik, "Dia ingin meminta maaf padamu, jika bukan karenamu aku tidak ingin membawanya kemari. Lihatlah penampilannya itu, sudah seperti mau ke pesta." Clara terkekeh dan menatap penampilan Naomi. Benar yang dikatakan Albert, tetapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin keluar dari penjara dan berdiskusi untuk menghancurkan Alvin. "Jadi, ini orang yang membuatku masuk ke penjara, bukan?" Naomi mendecih dan membuang muka. "Iya, memangnya kenapa?!" tanya Naomi ketus. Clara mendengkus. "Khe, jika saja aku tidak memaafkanmu kau tidak akan bisa berduaan dengan Felix, tahu?" Naomi men
Keesokan siangnya, para tahanan wanita sedang melakukan kegiatan bersih membersih. Clara yang sedang menyapu nampak kesusahan bernapas. "Uhuk ... uhuk...." Clara memegangi dadanya dan terbatuk. Ruam-ruam mulai muncul di kulitnya dan kepalanya mulai berdenyut. Kakinya pun tak kuat lagi untuk menopang tubuhnya hingga.... Bruk! Clara pun tumbang dan kehilangan kesadaran. Hal itu tentu disadari oleh sipir wanita di sana dan dia pun menghampiri Clara. Salah satu dari sipir wanita itu memeriksa denyut nadi Clara. "Dia pingsan? Clara, apa yang terjadi padamu? Bangunlah, kau bisa dengar aku?" Sipir itu berusaha membangunkan Clara dari pingsannya, tapi tidak berhasil. Alhasil, dia memanggil sipir lain untuk membantu mengangkat tubuh Clara menuju klinik. Setibanya di klinik, Clara dibaringkan di ranjang pasien dan seorang dokter segera menghampiri Clara. "Ada apa ini? Kenapa dia bisa pingsan?" "Kami juga tidak tahu, Bu Dokter. Saa
Keesokan paginya, David masih berkutat dengan penampilannya. Di usianya yang sudah paruh baya, David masih terlihat tampan dan pesonanya tidak dapat dikalahkan. Kali ini, dia harus menyamar agar sulit dikenali oleh Albert dan Clara. Pasalnya, David, Vincent dan Felix berencana ingin memberi kejutan pada Albert dan Clara. Dalam hati David berharap semoga Clara dan Albert tidak mengenalinya agar rencana ini lancar."Ayah, apa kau sudah siap?" tanya Vincent mendatangi kamar sang ayah. Dia terpaku menatap penampilan sang ayah yang berkarisma. "Kau benar-benar keren, Ayah. Kau sudah seperti pengacara sungguhan.""Benarkah? Apa mereka tidak akan mengenaliku?" tanya David ragu.Vincent tersenyum dan menepuk pundak tegap sang ayah. "Tenang, Ayah. Kupastikan mereka tidak akan mengenalimu. Percayalah padaku.""Baiklah kalau begitu. Apa kau akan ikut?" tanya David.Tiba-tiba, wajah Vincent tertekuk. "Maaf, Ayah. Sepertinya aku tidak bisa. Aku harus kemb
"Vincent, kirimkan orang untuk mengawasi hakim itu!" perintah Alvin. Vincent pun menatap bingung. "Memangnya ada apa dengan hakim itu, Pa?" Panggilan Vincent terhadap Alvin berubah atas permintaan Alvin sendiri. Dia tidak ingin calon menantunya ini memakai panggilan formal padanya. Alvin menatap lurus ke depan. "Papa curiga kalau hakim itu tidak akan menuruti perintah Papa. Jika hakim itu memang tidak menuruti perintah Papa, dia harus mati saat itu juga." "Baiklah, aku akan mengirim orang kepercayaanku." Alvin mengetik nomor di ponselnya dan menghubungi seseorang. Tidak perlu waktu lama, Vincent telah mematikan panggilan tersebut. Kemudian, Alvin dan supir mengantar Alvin ke kantor, sementara dirinya harus menjemput Calista pulang dari kampus. Sementara di tempat Clara, David dan Felix telah sampai di lapas David turun dari mobil dan masuk ke lapas. Mereka menunggu penjaga lapas untuk mengeluarkan Clara agar bisa bertemu dengannya. Hampir saja mata Da
Calista bersama kedua temannya berjalan menuju gerbang. Senyuman manis masih membingkai di antara mereka bertiga yang sedang berbincang. "Maaf ya, teman-teman, aku tidak bisa ikut kalian ke spa. Soalnya aku dijemput." Salah satu teman Calista yang bernama Rani tersenyum maklum. "Tidak apa-apa, Cal, masih ada lain hari." "Cie yang mau kencan," goda teman Calista yang satu lagi. Dia bernama Annisa. "Apaan sih!" ujar Calista malu. Wajahnya menampakkan rona seperti blush on di kedua sisi wajahnya. Tin Tin.... Suara klakson mobil membuat Calista dan kedua temannya menoleh. "Tuh, sudah dijemput pacar." Kali ini, giliran Rani yang menggoda. "Hei, hentikan! Jangan menggodaku terus!" Calista berbalik dan masuk ke mobil tersebut, lalu dia melambaikan tangannya pada kedua temannya. "Sampai ketemu besok, teman-teman." "Bye, Calista. Selamat menikmati waktu indah dengan pacar." Kali ini, Rani dan A
Albert pulang ke mansionnya dan disambut oleh maidnya. "Tuan sudah pulang?" tanya Maid itu. Albert mengangguk. "Panggilkan Naomi dan suruh dia ke ruanganku!" perintah Albert. "Baik, Tuan," jawab Maid itu dan meninggalkan Albert. Sementara itu, Albert melangkah ke ruang kerjanya dan membuka komputer yang ada di meja kerjanya. Albert mengetikkan sesuatu di komputer itu dan sayangnya tidak menemukan apapun. Albert mendengkus. "Tidak ada hasil? Khe, yang benar saja! Albert pun mencoba untuk menelusuri lebih dalam dengan melakukan peretasan, tetapi nihil. "Pengacara tidak memiliki akun? Bisa jadi karena kesibukannya dalam menangani kasus klien. Maafkan Paman, Clara, Paman tidak bisa mencari tahu." Akhirnya, setelah tidak mendapatkan informasi apapun, Albert langsung mengirim pesan pada Felix dengan harapan jika Felix akan memberitahukan isi pesan itu pada Clara. Albert menyandarkan tubuhnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas.&
Pada pukul 8 malam, Vincent dan Calista baru saja pulang dari melakukan aktivitas. Menonton bioskop, ke pantai, dan ke mall untuk belanja. Banyak sekali barang belanjaan Calista di tangan Vincent, tapi Vincent tidak mengeluh sama sekali. Vincent sangat mencintai Calista, begitu juga sebaliknya. Setibanya mereka di mansion, Vincent mengecup kening Calista dan tanpa sadar kegiatan mereka dilihat oleh Risa, sang ibu. "Ekhem, cieee yang habis jalan-jalan. Bagaimana kegiatannya? Menyenangkan?" ujar risa hingga membuat sepasang kekasih itu tersentak. Mereka langsung berbalik menatap Risa dengan wajah memerah. "Eh Mama kok ada di sini?" tanya Calista. Risa tersenyum menggoda tatkala melihat wajah sang anak memerah. "Tentu saja Mama menunggumu pulang bersama kekasihmu ini. Bagaimana kencannya? Apa menyenangkan?" "Kencannya sangat menyenangkan. Vincent sangat romantis dan memperlakukanku seperti seorang putri," jawab Calista. Tak lama kemudian, Alvin keluar dari rumah dan mendapati Calista
Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s