Share

Bayar, atau Tunggu saja!

Satu per satu kantung berisi kotak nasi, Joya susun di dekat tangga. “Ini pesanan yang dipinta untuk diantar ke lantai sepuluh?” tanya seorang security yang keluar dari dalam gedung.

Joya menganggukkan kepalanya saat tiga orang security itu sudah berdiri di hadapannya. Joya mengangkat masing-masing satu kantung berisi kotak nasi di tangan kanan dan kirinya, sedangkan kantung-kantung yang lain dibawa oleh tiga orang security tadi. “Pak, apa kita tidak menggunakan lift?” Joya termangu ketika tiga orang security tadi mengajaknya untuk melewati tangga darurat.

“Lift, digunakan hanya untuk mereka yang berkerja, dan juga para client. Jangan banyak bertanya!" sahut salah satu security dengan mengarahkan pandangan tajam ke arah Joya.

Joya mengerutkan keningnya, ‘apa bertanya termasuk dosa besar?’ gerutu Joya di dalam hati sambil mengangkat kembali kedua kantung menaiki tangga.

Joya menghentikan langkah kakinya sejenak, kedua matanya terpaku menatap angka lima yang tertulis di dinding yang ada di sampingnya, ‘Ya Tuhan, apakah aku berjalan di tempat?” lirih Joya kembali berbisik di hatinya, dia mengangkat sebelah tangannya mengusap kening yang telah dibanjiri keringat.

“Dek, apa masih sanggup?”

Perkataan salah satu security paruh baya, membuat Joya mendongakkan kepala menatapnya, “aku baik-baik saja, Pak,” jawab Joya dengan mengangkat telapak tangannya ke atas.

‘Demi uang, demi tabunganmu. Lakukan semuanya, demi uang, Joya.’

Joya kembali menggenggam erat kedua kantung yang ada di kedua sisi tubuhnya, dia menarik napas dalam sebelum melangkahkan kakinya lagi menaiki tangga. Genggaman Joya di kedua kantung tadi semakin menguat tatkala embusan napas yang ia keluarkan semakin tak beraturan. “Astaga, akhirnya aku menemukan angka sepuluh,” gumam Joya yang bersandar di pegangan tangga dengan kepala tertunduk.

Joya kembali melangkah dengan membawa dua kantung, mengikuti tiga orang security yang membawanya ke sebuah ruang luas, lengkap dengan meja panjang dan kursi yang berjejer rapi di dekatnya. Joya meletakkan kantung berisi kotak nasi ke sudut dinding, mengikuti tiga orang security yang sudah terlebih dahulu melakukan hal yang sama.

Joya berbalik, menatap punggung security-security tadi yang melenggang ke luar ruangan, “Pak! Bagaimana dengan bayarannya?!” Dia berteriak memanggil mereka.

“Kami hanya disuruh untuk membantumu. Masalah lainnya, bukan urusan kami,” ungkap salah satu security sebelum dia berjalan menyusul kedua temannya.

Joya kembali masuk ke dalam ruangan, dia menarik salah satu kursi lalu mendudukinya, “apa-apaan mereka? Memberikanku ketidakpastian seperti ini,” gerutu Joya dengan meraih ponsel yang ada di saku seragamnya.

Panggilan itu kembali terhubung, suara laki-laki yang sama … Menjawab panggilan telepon yang Joya lakukan. “Maaf, aku telah membawa semua pesanannya. Dan sekarang, aku sedang menunggu bayarannya di Ruang Rapat,” ungkap Joya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Bayaran?”

Joya menghela napas, “maaf, maaf sekali. Tapi aku, harus mengerjakan banyak perkerjaan lainnya. Bisakah, Anda sekarang datang ke Ruang Rapat, lalu membayar semua pesanannya?” tanya Joya pada suara asing yang menjawab panggilannya itu.

“Aku mengerti.”

Joya kembali menatap layar ponselnya saat panggilan di antara mereka berdua berakhir, “pendidikan seperti apa yang harus aku lakukan, agar dapat berkerja di kantor seluas ini?” tukas Joya bergumam dengan dirinya sendiri.

Joya beranjak berdiri dari kursi saat suara pintu terbuka mengetuk telinganya, pandangan matanya beralih pada seorang laki-laki dewasa muda yang berjalan mendekatinya. Agha Hengkara, begitulah yang tertulis di kartu pengenal yang dipakai laki-laki tersebut. “Apa kau, yang menghubungiku?”

Kepala Joya mengangguk, “aku telah mengantarkan semua pesanannya, dan aku meminta bayarannya,” ucap Joya dengan meraih lembaran kertas yang ada di sakunya.

Agha mengernyitkan keningnya, “apa itu?” tanyanya dengan menunjuk ke arah barisan kotak nasi yang ada di belakang Joya.

“200 kotak nasi.”

“Kotak? Nasi?” Agha melirik tajam ke arahnya, “aku meminta mereka untuk memesan cemilan di restoran X, bukan kotak nasi dari tempat yang tidak jelas,” gumam Agha dengan meraih ponsel di saku celananya.

“Kau, pulanglah. Dan bawa kembali semua kotak-kotak nasi itu!” Perintah Agha sambil melirik ke arah Joya.

“Apa maksudmu?” Joya sedikit tertegun, berusaha mencerna apa yang terjadi.

“Bawa, semua kotak nasi milikmu itu pulang. Kami, tidak akan pernah memesan makanan dari tempat yang tidak jelas,” sambung Agha dengan berbalik membelakanginya.

Joya mengangkat tangannya mencengkeram kuat lengan Agha, “aku tidak peduli, jika kalian salah memesan atau apa? Setidaknya, bayar semua makanan itu. Itu makanan, jika makanan tidak bisa dijual lagi, kami akan rugi,” ujar Joya semakin memperkuat cengkeramannya.

Agha berbalik menatapnya, “jika tidak bisa dijual, buang saja semuanya.” Joya tertunduk sambil menarik napas panjang, “setidaknya, bayar semua makanan itu! Kau ingin membayarnya, atau tidak? Aku, tidak bisa pulang jika tidak membawa uang,” ancam Joya dengan menarik kerah kemeja Agha.

“Aku tidak memesannya, jadi aku tidak akan membayarnya,” timpal Agha dengan menepis tangan Joya hingga tangannya itu terlepas dari kerah kemeja yang Agha kenakan.

“Kau, akan menyesal melakukan hal ini padaku,” ujar Joya, dia berjalan mendekati saklar lampu yang menempel pada dinding lalu menyentuhnya.

“Apa yang kau lakukan?!” bentak Agha, Joya tak mengindahkan bentakan tadi, matanya masih melirik ke sekitar. “Aman,” gumam Joya sembari kembali menghidupkan lampu yang ada di dalam ruangan.

Joya melirik ke arah Agha saat dia berjalan melewatinya, dia meraih ponsel yang ada di sakunya diikuti sebelah tangannya yang lain meraih salah satu kotak nasi yang ada di dalam kantung. Joya berdiri membelakangi Agha lalu melempar kotak nasi itu ke lantai.

“Apa yang kau lakukan?” geram Agha sambil menarik lengan Joya hingga tubuhnya berbalik menatap Agha.

Joya terdiam, dia melirik ke arah ponselnya yang kameranya telah menyala. Dia merekam tumpahan nasi yang ada di lantai sebelum dia mengarahkan kamera ponselnya itu ke arah Agha, “lepaskan, apa yang ingin kau lakukan padaku?” tangis Joya diikuti tangannya yang dengan cepat menyembunyikan ponselnya itu ke punggungnya.

Agha tertegun sejenak ketika rengekan yang Joya lakukan semakin menjadi-jadi, dia melirik ke arah lengan Joya yang menyembunyikan ponsel tersebut, seakan baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Joya yang merasa jika rencananya telah disadari Agha, berusaha melepaskan cengkeraman Agha di lengannya dengan menggigit kuat tangannya.

“Berikan ponselmu!” Agha meninggikan suaranya saat Joya berhasil melepaskan diri darinya.

Joya mengangkat ponselnya itu ke atas dengan sedikit menggoyangkannya, “kau ingin ponselku?” tukas Joya sembari berjalan mundur, berusaha menghindari Agha. “Aku akan menghapus videonya, saat kau membayar semua tagihan pesanan,” sambung Joya kembali padanya.

“Perusahaan macam apa, yang tidak meletakkan CCTV di Ruang Rapatnya,” gumam Joya, langkah kakinya terhenti saat tubuhnya menabrak sebuah tembok.

Dia melirik ke arah pintu, mengangkat tangannya meraih gagang pintu, “kau ingin membayarnya? Atau aku akan menyebarkan video ini dengan mengatakan, jika karyawan bernama Agha Hengkara telah melecehkanku.”

“Aku menahan lapar hanya karena ingin mengantar pesanan dari tempatku berkerja, setelah pesanan telah selesai aku antar, aku malah mendapatkan pelanggan miskin sepertimu. Jangan meremehkanku hanya karena aku masihlah SMA. Aku tanyakan sekali lagi, bayar atau bersiap-siaplah … Dalam waktu 1x24 jam, wajahmu akan aku buat viral di seluruh media sosial yang ada,” sambung Joya kembali, dia berjalan mundur melewati pintu yang telah dia buka sebelumnya dengan matanya yang masih melirik tajam ke arah Agha.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status