Share

Ada Apa dengan Bia?
Ada Apa dengan Bia?
Penulis: hajara

Prolog

“Sauqi ... Sauqi ....” Samar-samar kudengar seseorang memanggil namaku. Suaranya begitu pelan, bahkan aku hampir tak mendengarnya.

“Sauqi ....” Entah kenapa suara itu terus masuk ke dalam gendang telingaku. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Aku bisa mendengar dengan jelas si pemilik suara itu adalah seorang perempuan.

“Sauqi!” Kali ini volume suara itu semakin meninggi. Seperti seseorang yang menggelegarkan suaranya tepat di depan daun telingaku. Membuatku begitu kaget dan refleks langsung menjawab panggilannya. 

“Eh, Iya, Bunda! Uqi udah bangun, kok.”

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang memenuhi  seisi ruangan ini. 

“Bunda! Bunda! Sejak kapan saya menikah dengan Ayah kamu!” gertak Bu Rahayu, sosok perempuan yang ternyata memanggilku tadi.

Ya. Ternyata aku tadi tertidur di kelas. Parahnya lagi, aku tertidur saat pelajaran Bu Rahayu sedang berlangsung. Guru kimia yang terkenal cukup killer di sekolahku.

“Ma-maaf, Bu. Saya ketiduran,” ucapku sedikit gemetar. Bukan gemetar karena takut. Lebih tepatnya gemetar karena lenganku sedikit kesemutan. Sepertinya tadi terlalu lama kugunakan sebagai bantal, alhasil sekarang pun rasanya kesemutan sekali.

“Sudah puas tidurnya?! Ketemu siapa tadi di dalam mimpi?!” tanya wanita berusia empah puluh tahunan itu dengan nada sedikit tinggi. Ia kini sudah berdiri tepat di samping mejaku dengan kedua tangan dilipat di depan dada.

“Ketemu siapa ya, Bu? Saya lupa. Kayaknya si ketemu Raisa, Bu. Hehe,” ucapku asal seraya menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal.

“Huuuu ....” Sontak suara teriakan kembali menggema di dalam kelas. 

“Ya sudah sana, lanjutkan lagi ketemu Raisa-nya. Tapi di depan tiang bendera! Sambil hormat!” gertak Bu Rahayu seraya mengetuk keras spidol di genggaman tangannya ke meja.

Aku hanya menurut. Menerima hukuman yang diberikan Bu Rahayu. Memang salahku tidur di saat jam pelajaran sedang berlangsung, apalagi hari masih pagi seperti ini. Memang bukan murid teladan.

Kini, aku sudah berdiri tepat di depan tiang bendera. Kuangkat telapak tangan kanan ke sebelah pelipis untuk memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Layaknya orang sedang melaksanakan upacara bendera. 

Beberapa menit berlalu. Peluhku sudah mulai menetes. Padahal arloji di tangan kananku masih menunjukkan pukul 09.00 WIB, tetapi cuaca terasa sangat terik. Pandanganku beredar mencari apa pun yang tak membuatku silau. Namun, tiba-tiba aku terkesiap saat melihat seorang siswi berjalan melewati koridor di hadapanku. 

Wajahnya sangat kukenal, tetapi ada yang aneh dengan dia. Penampilannya berbeda sekali. Apa aku salah liat? Kucoba mengucek kedua bola mata. Barangkali aku belum seratus persen bangun dari alam mimpiku. Namun, siswi itu masih dengan penampilan yang sama, seperti yang kulihat tadi.

“Bia!” teriakku, memekikkan namanya. 

Dialah Biani Saliha. Tetangga sekaligus sahabat karibku sejak kecil. Sejak masih TK, aku dan Bia memang selalu bersama. Kami sudah seperti Upin dan Ipin. Ah tidak, zaman kecilku dahulu belum ada Upin dan Ipin. Mungkin lebih tepat jika disebut Nobita dan Doraemon. Entah siapa yang Nobita, siapa yang Doraemon.

Aku dan Bia selalu menghabiskan waktu bersama. Mulai dari mendaki gunung, latihan karate, bermain PS, bahkan kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Ia memang gadis yang tomboi, maka dari itu hobinya pun sama dengan hobiku. 

Namun, saat ini aku sungguh dibuat heran dengan penampilan gadis berpipi tembam itu. Ia berbeda dari biasanya. Berbeda sekali. Aku coba mendekat, sedikit berlari ke arahnya yang sedang berjalan di koridor depan kelas XI Bahasa.

“Bi!” teriakku, kembali memanggil namanya. Akhirnya ia pun menoleh, menatap ke arahku. Kupercepat langkah sampai akhirnya kini aku sudah berdiri tepat di hadapannya. 

“Bi? Ini kamu, 'kan? Kok kamu beda?” tanyaku sedikit memperhatikan wajahnya. Kutatap gadis berkulit putih ini dari ujung kaki sampai kepala. Mencoba meyakinkan bahwa dia memang Bia sahabatku.

“Memangnya kalau aku bukan Bia, siapa lagi?” jawabnya seraya mengalihkan pandangan dariku. Ini perasaanku saja atau memang Bia sama sekali tak ingin menatapku.

“Kamu nggak kenapa-kenapa, kan, Bi? Kamu lagi nggak kesambet, 'kan?” tanyaku seraya meletakkan punggung tangan di dahi mulusnya. 

“Apaan si, Qi. Nggak usah pegang-pegang juga,” ucap Bia seraya mengalihkan tanganku dari wajahnya. Membuatku semakin merasa aneh dengan semua perubahan sikapnya. 

“Aku nggak kenapa-kenapa, kok. Aku nggak kesambet juga. Kalau aku kesambet mana mungkin aku berangkat sekolah,” jawabnya, masih dengan pandangan yang entahlah ia arahkan ke mana.

“Kok penampilan kamu beda, Bi?” tanyaku amat penasaran. 

“Nggak papa. Cuma pengin berubah aja. Nggak salah, 'kan?” Ia tersenyum kecil mendengar pertanyaanku. Namun, pandangannya tetap mengarah ke tempat lain. Senyum manisnya itu tak ia arahkan kepadaku. 

“Ya ... enggak, si. Cuma sedikit aneh aja. Sifat kamu juga agak berubah,” ucapku ragu.

“Oh ya? Cuma perasaan kamu aja kali, Qi.”

Aku hanya mengangguk, tetapi rasa penasaran masih berenang-renang di dalam kepalaku. “Kamu kok tadi pagi berangkat sekolah duluan? Berangkat sama siapa, Bi?” tanyaku lagi. Tadi pagi memang entah kenapa Bia sudah tak ada di rumah saat aku menjemputnya. Padahal hampir tiap hari ia selalu setia menungguku di depan rumahnya. 

“Aku berangkat sama Ayah, Qi,” jawabnya. “Mulai besok ... kita nggak usah berangkat bareng lagi ya, Qi. Biar aku diantar Ayah aja.”

Ucapan Bia seketika membuat kedua netraku membulat sempurna. Aku begitu terkesiap. Setiap hari kami selalu berangkat bersama, tetapi kenapa ia malah berkata seperti itu. “Loh, kenapa, Bi?”

“Nggak papa. Pengin berangkat sama Ayah aja. Dari dulu kan kamu selalu antar aku buat berangkat dan pulang sekolah, mulai sekarang biar aku sama Ayah aja, Qi. Aku nggak enak sama kamu,” ucapnya sedikit menunduk.

Aku semakin heran dengan ucapan Bia. Dahiku berkerut sembari menatap lekat-lekat wajahnya. “Aku nggak papa kok, Bi. Kamu nggak usah sungkan sama aku, kayak sama siapa aja. Aku malah seneng kok antar kamu. Jadi ada temen berangkat, 'kan,” balasku.

“Enggak, Qi. Biar mulai sekarang aku diantar Ayah aja,” kekehnya. 

“Trus kamu pulangnya gimana? Ayah kamu kan jam segitu masih di kantor,” ucapku, sedikit khawatir dengannya. Ayah Bia merupakan seorang pegawai di Kantor Kelurahan. Di saat jam pulang sekolah, beliau pasti masih berada di kantor. 

“Aku bisa naik angkot kok,” jawabnya seraya tersenyum kecil.

“Kok naik angkot?”

“Nggak papa, Qi. Ya udah, ya. Aku mau nganterin tugas anak-anak dulu di ruang guru. Takut Pak Slamet udah nungguin. Assalamu'alaikum,” ucap Bia seraya undur diri dan melangkah meninggalkanku.

“Tapi, Bi ....” ucapku, berusaha mencegahnya. 

Namun, gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur menjauh. Aku hanya bisa menatap kepergiannya yang sama sekali tak menoleh ke arahku. “Wa'alaikumussalam, Bi.”

Aku menghela napas panjang. Sungguh aku dibuat heran dengan tingkah Bia hari ini. Gadis yang biasanya menguncir surai sebahunya ke belakang itu benar-benar sudah membuat kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan. Bagaimana tidak?

Pertama, penampilannya kini sungguh sangat berubah. Ia yang biasanya terlihat tomboi dengan lengan seragam sekolah panjang yang ia lipat jadi tiga perempat, kini memakai seragam yang benar-benar tertutup rapat. Bahkan surai hitamnya pun tertutup rapi oleh sepotong jilbab yang menutup dada.

Terlebih sikapnya yang seolah-olah sedang menjauhiku, bahkan saat bicara tadi ia sama sekali tak pernah menatap mataku. Kusentuh dahinya pun tak mau. Ia benar-benar aneh. Padahal biasanya sering sekali kepalaku dijitak oleh tangan mungilnya saat aku terlalu kencang membawa sepeda motor.

Dan satu lagi, kenapa ia tiba-tiba tak mau berangkat dan pulang sekolah bersamaku. Padahal sudah dari SMP kami selalu berangkat bersama. Argh! Aku benar-benar dibuat bingung dengan semua perubahan sahabatku itu. Apa yang terjadi sebenarnya.

Ada apa dengan Bia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status