Aku duduk seorang diri di depan teras rumah. Menatap sepeda motor yang berdiri dengan gagah di hadapanku. Namun, pikiranku masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang perubahan sikap Bia. Seorang gadis berparas ayu yang sudah menjadi sahabat dekatku hampir sebelas tahun ini.
Sejak dahulu kami memang sering menghabiskan waktu bersama. Entah aku yang bermain ke rumahnya, atau ia yang ke rumahku. Namun, lebih sering ia datang ke rumah karena Bunda yang meminta. BundakuRatna Harum Sarimemang sudah menganggap Bia sebagai anaknya sendiri. Selain karena kami memang sudah dekat dari kecil, Bunda juga sering mengeluh merasa kesepian saat ditinggal ke luar kota oleh Ayah atau ditinggal ngetrip olehku bersama kawan-kawan komunitas.
Ayah dan Bunda sebenarnya memiliki tiga orang anak. Aku, Sauqi Habibillah merupakan anak bungsu mereka. Aku memiliki dua orang kakak. Kakak pertamaku yaitu Mas Fatir. Namun, ia sudah meninggal dunia tiga tahun lalu karena mengidap penyakit kanker. Sementara itu, kakak keduaku—Mba Huma—kini sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren.
Mba Huma sejak lulus SMP memang sudah masuk ke pesantren di daerah Pekalongan. Ia menjadi seorang santri sekaligus mahasiswa di sana. Alhasil, di rumah ini hanya ada aku, Bunda, dan Ayah. Itu pun sering hanya aku dan Bunda saja karena AyahkuMuhamad Darmawanbekerja di kantor BPBD Wonosobo, sehingga ia sering diutus menjadi relawan di daerah-daerah yang terkena bencana.
Beruntung ada Bia yang sering datang ke rumah menemani Bunda. Ya. Dialah Biani Saliha. Tetangga sekaligus sahabat dekatku. Kata Bunda, kami sudah bersama sejak baru bisa merangkak di atas kasur. Namun, aku sendiri pun lupa. Aku hanya ingat, awal-awal persahabatan kami yaitu sejak bersekolah di TK yang sama.
Waktu itu, Bia merupakan anak yang lemah dan cengeng. Tidak seperti sekarang. Bia sering diganggu dan digoda oleh anak laki-laki yang sudah duduk di bangku SD. Selain karena parasnya yang cantik, ia juga sedikit pendiam, sehingga anak-anak itu sepertinya merasa geregetan saat Bia hanya diam ketika disapa.
Seperti saat itu. Aku masih ingat awal-awal persahabatanku dengan Bia. Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang dari TK. Namun, tiba-tiba aku melihat Bia sedang diganggu oleh tiga anak kelas empat SD yang aku tahu mereka bernama Reza, Indra, dan Boni. Tampak di sana Reza dan Boni sedang mengusili Bia dengan memainkan rambut kuncirnya. Sementara itu, Indra hanya tertawa melihat gadis kecil berpipi tembam itu sudah terisak karena mendapat perlakuan nakal dari mereka.
Sebagai seorang anak laki-laki yang jantan—meskipun masih TK—aku merasa tidak tega jika ada anak perempuan yang menangis karena diganggu laki-laki. Apalagi anak perempuan itu satu TK denganku. Alhasil, kuberanikan diri untuk memghampiri mereka.
“Bang Reza! Bang Boni! Bang Indra! Jangan nakal sama Bia! Aku bilangin Ayah, loh!” teriakku. Aku melangkah dengan percaya diri mendekati mereka. Kedua bola mataku membulat, menatap tajam mereka. Sementara kedua tanganku masih memegang tali ransel yang kugedong di punggung.
Mendengar suara teriakan, mereka bertiga menghentikan aktivitasnya dan menatap ke arahku. “Hey, Uqi! Mau ngapain kamu! Berani sama kita, hah?!” tantang anak laki-laki yang bernama Boni itu seraya berkacak pinggang. Ia memelotot ke arahku. Namun, aku tak pedulikan ucapannya. Pandanganku tetap terarah kepada Bia yang masih terus menangis.
“Ka-kalian jangan gangguin Bia!” ucapku seraya menarik tangan gadis mungil itu agar menjauh dari mereka bertiga. Ia yang masih menangis karena perlakuan nakal mereka bertiga pun hanya menurut dan kini bersembunyi di belakangku.
Boni, Reza, dan Indra tampak terkejut dengan sikap keberanianku. “Kamu mau jadi superhero, Qi?! Atau jangan-jangan kamu pacarnya Bia, ya?!” gertak Reza seraya mengacungkan telunjuknya tepat ke jidatku.
Refleks aku pun langsung menyingkirkan tangan anak laki-laki berambut keriting itu dari depan wajahku. Membuat telapak tangannya sedikit terhuyung ke samping. “Berani kamu ya, Qi! Mau berantem sama aku!” ucap Reza tak terima. Anak bertubuh gempal itu kini sudah berpose seolah ingin menyerangku. Kedua tangannya ia letakkan di depan dada. Bersiap memukul.
“Be-berani,” jawabku sedikit gemetar. Jujur aku merasa sedikit takut. Aku seorang diri dan masih bersekolah TK, tetapi berani melawan mereka bertiga yang sudah duduk di kelas empat SD. Seperti ingin mati konyol saja. Sontak Reza langsung mendorong tubuhku. Membuat tubuhku mundur beberapa langkah.
Akhirnya terjadilah pertengkaran yang tidak adil. Aku dipukuli oleh mereka bertiga. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat kulit tubuhku sedikit memar. Beruntung ada abang penjual cilok yang tidak sengaja lewat di jalanan sekitar kami, membuat Reza, Boni, dan Indra langsung lari terbirit meninggalkanku dan Bia.
“Uqi, ka-kamu nggak papa?” tanya Bia, masih dengan sesenggukan yang sesekali keluar dari mulutnya. Gadis kecil bermata lentik itu segera mendekatiku yang kini terduduk di atas jalanan. Ia menatapku dengan sendu.
“Aku nggak papa kok, Bi,” jawabku sambil tersenyum ke arahnya.
“Ka-kamu berdarah, Qi. Pasti sakit, ya?” tanya Bia dengan raut wajah yang khawatir. Ia yang kini sudah berjongkok di depanku, sedikit menggigit bibir bawahnya yang ranum dengan kedua gigi kelincinya.
“Iya. Cuma sedikit, kok,” jawabku, berusaha terlihat kuat di depan Bia. Jujur, luka-luka ini memang terasa sakit. Tadi mereka bertiga beberapa kali menendang kaki dan memukul kepalaku. Namun aku tak mungkin menangis di depan orang lain, apalagi di depan anak perempuan.
“Kok kamu nggak nangis, Qi?” tanyanya polos. Kedua bola matanya yang bulat menatapku dengan pandangan kagum. Membuatnya terlihat begitu lucu.
Aku hanya tersenyum. “Kata Ayah, laki-laki itu nggak boleh nangis, Bi. Luka kayak gini mah nggak bisa bikin jagoan Uqi nangis. Hehe,” ucapku seraya tertawa kecil. Bia pun ikut tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya isakan tangisnya sudah menghilang sekarang, berganti dengan ukiran indah di kedua sudut bibir yang menghiasi wajah putihnya.
“Kamu nggak papa, Bi? Mereka nakal sama kamu?” tanyaku. Kutatap lekat-lekat kedua bola mata Bia. Takut sebelum aku datang, ketiga anak nakal itu sudah memukul atau melukainya.
“Nggak papa kok, Qi. Tadi Bang Reza dan Bang Boni hanya mainin rambut Bia,” jawabnya. “Bia pengin kayak Uqi. Nggak gampang nangis. Tadi Bia cuma digituin udah nangis.”.
Pertanyaan Bia membuatku sedikit berpikir keras. “Emm, kamu harus jadi anak yang kuat, Bi. Kata Ayah kalau anak kuat pasti jarang nangis,” jawabku.
“Ooh gitu ya, Qi,” jawabnya seraya mengangguk. “Bia harus jadi anak kuat kayak Uqi.”
“Uqi aja belum kuat, Bi. Ini buktinya Uqi kalah melawan Bang Reza, Bang Boni, dan Bang Indra,” ucapku sedikit lesu. Kutundukkan wajah, menatap beberapa bagian kakiku yang terkena luka. Aku merasa belum bisa menjadi anak laki-laki yang kuat.
“Kata siapa Uqi nggak kuat. Buktinya Uqi berani melawan mereka buat nolongin Bia. Uqi udah kayak superhero. Hebat banget. Bia makasih banget sama Uqi,” jawabnya seraya tersenyum kepadaku. Kedua bola matanya yang hitam kecoklatan tampak berbinar-binar.
Aku pun ikut tersenyum menatapnya. Ucapan gadis kecil berhidung mancung ini seketika menumbuhkan sikap percaya diri kepada diriku. “Iya sama-sama, Bi. Udah ayo kita pulang. Nanti dicariin Ayah dan Bunda,” ajakku.
“Iya, Qi. Bia anterin Uqi pulang, ya. Bia nggak tega liat Uqi luka kayak gini.”
Aku hanya mengangguk dan segera berdiri. Kini, kami berjalan pulang bersama dengan bergandengan tangan. Melewati jalanan kampung yang dihiasi pemandangan sawah dan perkebunan. Rumahku dan Bia memang satu arah. Sangat dekat malah. Hanya dibatasi jalan raya di depan rumah kami.
Beberapa menit berjalan, kami pun sampai di depan rumahku. Sedikit kuketuk pintu agar orang rumah tahu kepulanganku. “Assalamu'alaikum,” ucapku.
“Wa'alaikumsalam.” Tampak seorang wanita berwajah teduh membuka pintu rumah. Ia yang kini mengenakan jilbab berwarna biru tampak tersenyum mengetahui kepulanganku. Namun, senyumnya tiba-tiba memudar saat kedua netranya menatap beberapa luka di tubuhku. “Loh Uqi. Kamu kenapa, Sayang?” tanyanya dengan raut wajah yang begitu khawatir.
“Emm. Ma-maaf, Tante. Uqi luka gara-gara nolongin Bia tadi. Ini semua salah Bia, Tante,” jawab Bia pelan. Saat ini ia terlihat sedikit cemas, wajahnya ia tundukkan ke bawah. Mungkin gadis kecil berkulit putih itu takut dimarahi Bunda. Kedua jari jemarinya saling ia tautkan satu sama lain.
“Enggak kok, Bunda. Bia nggak salah. Bia tadi digangguin sama anak-anak nakal, jadi Uqi bantuin,” jawabku, membela Bia. Aku menatap lekat-lekat wajah Bunda. Berharap ia percaya dengan ucapanku dan tidak memarahi Bia.
“Ya udah, ayo masuk. Biar Bunda obatin. Bia masuk juga, ya. Ayo!” ajak Bunda sembari memegang pundakku dan Bia. Kami pun segera masuk ke rumah. Aku dan Bia duduk di atas kursi ruang tengah. Sementara itu, Bunda segera mengambil kotak obat di dalam lemari.
Dengan segera, Bunda mengobati luka-luka lecetku di daerah muka dan kaki. Aku sempat meringis kesakitan saat wanita berparas ayu itu meneteskan obat merah. Memang rasanya sedikit perih. Apalagi lukaku tidak hanya satu.
“Lain kali hati-hati ya, Sayang. Gimana kalau terjadi apa-apa sama kamu,” ucap Bunda. Perempuan yang sangat kucintai itu tampak begitu khawatir. Kedua tangannya masih terus mengobati lukaku. Menempelnya dengan plaster.
“Iya, Bunda,” jawabku patuh. Bunda mengelus lembut kepalaku, lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Terasa sangat hangat. Beberapa kali ia juga mengecup ujung kepalaku. Menyalurkan kasih sayangnya kepadaku.
“Hiks ... hiks ....” Tiba-tiba terdengar suara isakan dari mulut kecil Bia.
“Loh loh, Bia kenapa? Kok nangis?” tanya Bunda. Aku pun menoleh ke arah gadis berpipi tembam itu. Benar. Ia memang sedang menangis. Air matanya sudah mulai menetesi pipinya. Melihat hal itu, Bunda melepas pelukannya dari tubuhku, lalu mendekat ke arah Bia. “Bia ada yang sakit juga?” tanya Bunda.
Gadis berambut pendek itu hanya menggeleng. Namun, isak tangis masih terdengar kecil dari mulutnya. Sesekali tangan mungilnya pun mengusap butiran air yang terus mengalir dari kedua sudut bola mata. “Trus kenapa?” Bunda kini menggenggam erat tangan Bia. Kedua netranya menatap lembut netra milik Bia.
“Bi-Bia iri sama Uqi. Uqi punya Bunda yang baik dan cantik kayak Tante. Tante kayaknya sayang banget sama Uqi. Bia juga pengin disayang kayak Uqi.” Air mata Bia semakin deras menetes. Kini aku tahu kenapa Bia tiba-tiba menangis.
Ibu Bia memang sudah meninggal sejak ia berusia satu tahun. Sejak itu pula ia hanya tinggal bersama ayahnya yang seorang petugas kantor kelurahan. Bia tidak memiliki kakak atau pun adik sehingga saat ayahnya bekerja, Bia pun sendirian di rumah.
“Udah, udah, Sayang. Jangan nangis lagi.” Bunda memeluk erat tubuh mungil Bia. Mendekapnya dengan cinta. “Bia boleh kok anggap Tante sebagai bunda Bia. Panggil Tante 'Bunda' aja nggak papa. Bia akan Tante anggap sebagai anak Bunda juga,” ucap Bunda seraya mengelus lembut surai hitam Bia.
“Be-beneran, Tante? Bia boleh manggil Tante 'Bunda'?” tanya Bia dengan isak tangis yang mulai memelan.
“Iya, Sayang. Panggil Bunda aja.”
“Te-terima kasih, Bunda.” Tampak Bia tersenyum ke arah Bunda. Tangisnya kini sudah berganti dengan sesenggukan yang terdengar dari mulut mungilnya.
“Sama-sama, Sayang. Jangan nangis lagi ya,” ucap Bunda sambil berusaha mengusap air mata yang membasahi pipi tembam Bia.
“I-iya, Bunda,” jawab Bia.
“Loh loh ada apa ini, kok pada peluk-pelukan? Trus jagoan Ayah kenapa? Kok luka-luka?” Tampak Ayah yang baru keluar dari kamar segera datang menghampiriku. Ayah hari ini memang sedang libur kerja, sehingga waktunya ia habiskan untuk istirahat di rumah. “Ada Bia juga? Loh kok Bia nangis? Kenapa?”
Aku pun menoleh ke arah Ayah. “Tadi ada yang nakalin Bia, Ayah. Mereka gangguin Bia sampai nangis. Trus Uqi tolongin, deh. Tapi karena Uqi belum jago berantem, jadi Uqi kalah, Ayah,” jawabku mengadu kepada Ayah.
“Wah, hebat nih anak Ayah.” Ayah kini duduk di sebelahku. Ia menepuk bahuku pelan, “Jadi laki-laki memang harus seperti itu. Jangan diam saja kalau ada perempuan yang disakiti. Ayah bangga sama kamu.”
Aku hanya tersenyum mendengar pujian Ayah. Namun, senyumanku berubah saat mengingat kejadian perkelahian tadi. Saat aku dipukuli oleh oleh Boni, Indra, dan Reza. “Tapi Uqi kalah, Ayah,” ucapku.
Ayah tersenyum dan menatapku lembut. “Nggak masalah menang atau kalahnya, Sayang. Yang penting kamu sudah berani melawan ketidakadilan.” Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku sedikit tak paham dengan apa yang Ayah katakan itu. Jelas saja. Aku masih TK dan Ayah berbicara tentang ketidakadilan. Mana aku paham.
“Kayaknya sudah saatnya kamu belajar bela diri, Sayang. Biar kamu bisa jaga diri,” ucap Ayah kepadaku.
Bersambung.
Wajah Bunda seketika berubah kaget. Ia sedikit mengerutkan kening saat Ayah menyarankanku belajar olahraga bela diri. “Ayah, Uqi kan masih kecil. Belum saatnya belajar begituan,” ucap Bunda, tak sependapat dengan Ayah. Wanita berwajah ayu itu tampak mengerutkan dahi putihnya menatap wajah Ayah.“Nggak kok, Bunda. Sepertinya Uqi sudah siap. Nanti biar Ayah bilang sama Pak Slamet buat ngajarin jurus-jurus yang mudah saja dulu. Uqi mau, 'kan?” ucap Ayah. Ia tetap kekeh dengan keputusan awalnya ingin mulai mengajariku ilmu bela diri. Pria berwajah tegas itu tersenyum seraya menatap wajahku.“Iya, Ayah. Uqi mau belajar bela diri. Uqi pengin jago berantem kayak Ayah dan Mas Fatir,” ucapku penuh semangat.“Hush! Bukan buat berantem, Sayang. Tapi buat melindungi diri sendiri dan orang lain,” ucap Ayah seraya mengelus rambut jambulku.“Ooh, berarti Uqi nggak boleh berantem ya, Yah?” tanyaku. Jujur aku masih merasa bingung dengan perkataan Ayah. Kutatap wajah pria yang
Beberapa tahun berlalu. Kini, aku dan Bia sudah sama-sama remaja dan menginjak bangku SMA. Selama itu pula, kami tetap bersahabat. Seperti janji kami waktu masih TK. Kami sering melakukan berbagai aktivitas bersama. Sampai-sampai, banyak yang beranggapan kami adalah sepasang kekasih. Apalagi mereka yang tidak benar-benar mengenal kami. Entahlah. Aku juga tak tahu kenapa.Memang apa salahnya hubungan persahabatan antara laki-laki dan perempuan? Toh, aku juga punya sahabat laki-laki. Sahabatku tidak hanya Bia. Begitu pula dengan Bia. Ia juga punya sahabat lain selain aku. Memang benar, setiap hari aku dan Bia selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Namun, saat sudah sampai sekolah pun kami akan sibuk dengan teman masing-masing.Seperti pagi ini. Seperti biasa, aku datang ke sekolah dengan memboncengkan Bia. Tampak di depan sana, kawan-kawan mainku sudah menunggu di parkiran sekolah. Kuyakin mereka pasti akan mengolok-olokku lagi.“Ciyee pasangan
Kriing!Bel istirahat berbunyi. Membuatku bernafas lega. Menyebalkan sekali pagi-pagi seperti ini sudah dijejali pelajaran matematika. Membuat otakku bekerja tujuh kali lebih ekstra dibanding biasanya. Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Kupejamkan mata sejenak. Menghadapkan wajahku ke langit-langit ruangan. Otakku sepertinya butuh istirahat. Ia sudah terlalu lelah dengan rumus dan angka-angka yang menjejal di kepala.“Qi, pinjem jaket kamu, dong.” Tiba-tiba kudengar suara Bia berbicara kepadaku. Entah kapan datangnya, saat aku membuka mata, gadis berambut pendek itu sudah ada di depan meja. “Aku nanti pelajaran Bahasa Indonesia ada penilaian drama, mau pake jaket kamu buat properti. Boleh, ya?”Aku menatap ke arahnya. “Hmm iya, deh.” Segera kuambil jaket yang memang hanya kuletakkan di atas kursi. “Nih,” ucapku seraya menyerahkan jaket warna navy-ku kepadanya.“Makasih, Uqi. Nanti pulang sekolah biar bawa pulang aku aja, ya. Sekali
Hari demi hari berlalu. Hubunganku dan Bia masih berjalan normal saja, layaknya seorang sahabat. Kami berangkat sekolah bersama, latihan beladiri bersama, mendaki Puncak Prau bersama, dan masih banyak kegiatan yang sering kami lakukan bersama. Mungkin satu-satunya kegiatan yang tak pernah kulakukan bersama Bia adalah bermain balap motor.Berbeda denganku yang suka dunia motor dan otak-atik mesinnya, Bia sama sekali tak suka dengan hal-hal semacam itu, bahkan sampai sebesar ini pun Bia sama sekali belum bisa mengendarai sepeda motor. Alhasil, hampir setiap hari aku menjadi tukang ojeknya untuk antar jemput berangkat sekolah.Namun, hari ini aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tak biasanya ia berangkat sekolah terlebih dahulu meninggalkanku. Padahal biasanya ia selalu setia menungguku menjemputnya di depan rumah, tetapi tidak dengan hari ini. Semuanya berbeda. Apalagi saat bertemu di sekolah. Kedua netraku dibuat terbelalak karena perubahan penampilann
“Maaf, Qi. Tapi mulai sekarang aku nggak bisa berangkat bareng kamu lagi. Kita nggak bisa boncengan seperti biasanya. Kita bukan mahram, Qi. Nggak sepantasnya kita berdekatan seperti itu.”Aku sedikit menelan saliva mendengar semua penjelasan Bia. Inikah alasan perubahan sikapnya kepadaku?Meskipun aku tak terlalu pandai ilmu agama, sedikitnya aku tahu kami berdua memang tidak ada hubungan mahram. Namun, bukankah interaksi kami selama ini juga biasa saja? Kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kami hanya berinteraksi layaknya seorang sahabat.“Sekali lagi aku minta maaf, Qi. Bukannya aku bermaksud menghindari kamu. Hanya saja, aku pengin kita menjaga jarak, tak seperti biasanya. Aku harap kamu mengerti aku, Qi,” ucapnya lagi. Kali ini nada suara Bia terdengar seperti memohon. Aku tahu, Bia amat serius dengan ucapannya itu.Aku coba mendekat satu langkah ke arahnya. Namun, gadis berkulit putih itu justru refleks memundurkan tubuhnya satu
Sayup-sayup suara kokok ayam membangunkanku dari alam mimpi. Segera aku menuju ke kamar mandi. Cuci muka dan mengambil air wudhu. Sudah menjadi rutinitasku, selalu menunaikan salat malam setiap harinya.Ayah dan bundaku memang selalu mengajari anak-anaknya agar senantiasa menjaga salat malam. Sesibuk apapun, semalas apapun, kami harus tetap melaksanakan salat malam.“Seseorang yang merutinkan salat malam, pasti akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Di saat yang lain terlelap, kita sudah terbangun. Di saat yang lain masih larut di alam mimpi, kita sudah bermunajat, bermesraan dengan Tuhan. Apa tidak hebat namanya? Allah itu sudah menjanjikan ampunan bagi siapa pun yang mendekat kepada-Nya. Siapa pun yang berdoa di sepertiga malam terakhir pasti akan Allah kabulkan. Seluruh penduduk bumi dan langit pun turut serta mengamininya.”Nasihat ayah waktu itu selalu terngiang di kepalaku. Menjadi penyemangat saat aku hendak melaksankan salat malam
Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, aku selalu memastikan penampilanku harus sesempurna mungkin. Bukan buat pamer. Apalagi cari perhatian. Tujuanku hanya satu. Agar tak ada yang menertawai jika aku berpenampilan aneh saat ke sekolah. Tidak lucu kan jika tiba-tiba di rambutku masih ada bekas sampo, atau dasi yang kupakai tergantung miring, atau bahkan masih ada kotoran di kedua sudut mata. Bisa hilang ketampanan yang ada pada diriku.Setelah semua siap, aku segera berpamitan kepada Ayah dan Bunda, lantas keluar rumah menuju motor kesayanganku. Motor ninja yang Ayah berikan satu tahun lalu, saat aku berhasil menjuarai kompetisi karate tingkat provinsi. Yah, meskipun aku gagal di tingkat nasional.Aku memang sangat suka bermain karate. Sedari kecil aku sudah banyak ikut kompetisi. Namun, sejujurnya aku lebih suka dengan dunia otomotif. Bagiku, sepeda motor dan segala pernak-perniknya sudah menjadi separuh jiwaku. Biarlah orang berpikir aneh, tetapi memang kenyataann
Bia berjalan melewatiku dan Elsa dengan wajah tertunduk. Jangankan menyapa, menatap wajah pun tak ia lakukan. Ia hanya sempat melirik kami saat masih di depan sana. Sejenak aku menghentikan langkah, menatap Bia yang berlalu melewatiku dan Elsa. Rasanya hampa sekali. Tak ada obrolan atau candaan yang biasa mengalir di antara kami.“Qi?” Suara Elsa tiba-tiba menyadarkanku yang sedari tadi tengah menatap kepergian Bia. “Ada apa?” tanyanya. Elsa sepertinya tampak bingung karena melihatku tiba-tiba berhenti. Ia sedikit mengerutkan kening menatapku.“Eh, nggak papa, El,” sahutku buru-buru. Aku segera mengalihkan pandangan dari Bia.“Kirain ada apa,” ucap Elsa.Aku hanya tersenyum, berusaha mengalihkan pikiranku dari Bia yang tadi hanya berlalu melewatiku, lalu kami pun kembali melangkah bersama menyusuri koridor sekolah.“Bukannya tadi itu Bia temen kamu ya, Qi?” tanya Elsa tiba-tiba