Share

Awal Mula Persahabatan

Aku duduk seorang diri di depan teras rumah. Menatap sepeda motor yang berdiri dengan gagah di hadapanku. Namun, pikiranku masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang perubahan sikap Bia. Seorang gadis berparas ayu yang sudah menjadi sahabat dekatku hampir sebelas tahun ini.

Sejak dahulu kami memang sering menghabiskan waktu bersama. Entah aku yang bermain ke rumahnya, atau ia yang ke rumahku. Namun, lebih sering ia datang ke rumah karena Bunda yang meminta. BundakuRatna Harum Sarimemang sudah menganggap Bia sebagai anaknya sendiri. Selain karena kami memang sudah dekat dari kecil, Bunda juga sering mengeluh merasa kesepian saat ditinggal ke luar kota oleh Ayah atau ditinggal ngetrip olehku bersama kawan-kawan komunitas. 

Ayah dan Bunda sebenarnya memiliki tiga orang anak. Aku, Sauqi Habibillah merupakan anak bungsu mereka. Aku memiliki dua orang kakak. Kakak pertamaku yaitu Mas Fatir. Namun, ia sudah meninggal dunia tiga tahun lalu karena mengidap penyakit kanker. Sementara itu, kakak keduaku—Mba Huma—kini sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren.

Mba Huma sejak lulus SMP memang sudah masuk ke pesantren di daerah Pekalongan. Ia menjadi seorang santri sekaligus mahasiswa di sana. Alhasil, di rumah ini hanya ada aku, Bunda, dan Ayah. Itu pun sering hanya aku dan Bunda saja karena AyahkuMuhamad Darmawanbekerja di kantor BPBD Wonosobo, sehingga ia sering diutus menjadi relawan di daerah-daerah yang terkena bencana.

Beruntung ada Bia yang sering datang ke rumah menemani Bunda. Ya. Dialah Biani Saliha. Tetangga sekaligus sahabat dekatku. Kata Bunda, kami sudah bersama sejak baru bisa merangkak di atas kasur. Namun, aku sendiri pun lupa. Aku hanya ingat, awal-awal persahabatan kami yaitu sejak bersekolah di TK yang sama.

Waktu itu, Bia merupakan anak yang lemah dan cengeng. Tidak seperti sekarang. Bia sering diganggu dan digoda oleh anak laki-laki yang sudah duduk di bangku SD. Selain karena parasnya yang cantik, ia juga sedikit pendiam, sehingga anak-anak itu sepertinya merasa geregetan saat Bia hanya diam ketika disapa.

Seperti saat itu. Aku masih ingat awal-awal persahabatanku dengan Bia. Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang dari TK. Namun, tiba-tiba aku melihat Bia sedang diganggu oleh tiga anak kelas empat SD yang aku tahu mereka bernama Reza, Indra, dan Boni. Tampak di sana Reza dan Boni sedang mengusili Bia dengan memainkan rambut kuncirnya. Sementara itu, Indra hanya tertawa melihat gadis kecil berpipi tembam itu sudah terisak karena mendapat perlakuan nakal dari mereka.

Sebagai seorang anak laki-laki yang jantan—meskipun masih TK—aku merasa tidak tega jika ada anak perempuan yang menangis karena diganggu laki-laki. Apalagi anak perempuan itu satu TK denganku. Alhasil, kuberanikan diri untuk memghampiri mereka.

“Bang Reza! Bang Boni! Bang Indra! Jangan nakal sama Bia! Aku bilangin Ayah, loh!” teriakku. Aku melangkah dengan percaya diri mendekati mereka. Kedua bola mataku membulat, menatap tajam mereka. Sementara kedua tanganku masih memegang tali ransel yang kugedong di punggung.

Mendengar suara teriakan, mereka bertiga menghentikan aktivitasnya dan menatap ke arahku. “Hey, Uqi! Mau ngapain kamu! Berani sama kita, hah?!” tantang anak laki-laki yang bernama Boni itu seraya berkacak pinggang. Ia memelotot ke arahku. Namun, aku tak pedulikan ucapannya. Pandanganku tetap terarah kepada Bia yang masih terus menangis.

“Ka-kalian jangan gangguin Bia!” ucapku seraya menarik tangan gadis mungil itu agar menjauh dari mereka bertiga. Ia yang masih menangis karena perlakuan nakal mereka bertiga pun hanya menurut dan kini bersembunyi di belakangku. 

Boni, Reza, dan Indra tampak terkejut dengan sikap keberanianku. “Kamu mau jadi superhero, Qi?! Atau jangan-jangan kamu pacarnya Bia, ya?!” gertak Reza seraya mengacungkan telunjuknya tepat ke jidatku. 

Refleks aku pun langsung menyingkirkan tangan anak laki-laki berambut keriting itu dari depan wajahku. Membuat telapak tangannya sedikit terhuyung ke samping. “Berani kamu ya, Qi! Mau berantem sama aku!” ucap Reza tak terima. Anak bertubuh gempal itu kini sudah berpose seolah ingin menyerangku. Kedua tangannya ia letakkan di depan dada. Bersiap memukul.

“Be-berani,” jawabku sedikit gemetar. Jujur aku merasa sedikit takut. Aku seorang diri dan masih bersekolah TK, tetapi berani melawan mereka bertiga yang sudah duduk di kelas empat SD. Seperti ingin mati konyol saja. Sontak Reza langsung mendorong tubuhku. Membuat tubuhku mundur beberapa langkah. 

Akhirnya terjadilah pertengkaran yang tidak adil. Aku dipukuli oleh mereka bertiga. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat kulit tubuhku sedikit memar. Beruntung ada abang penjual cilok yang tidak sengaja lewat di jalanan sekitar kami, membuat Reza, Boni, dan Indra langsung lari terbirit meninggalkanku dan Bia. 

“Uqi, ka-kamu nggak papa?” tanya Bia, masih dengan sesenggukan yang sesekali keluar dari mulutnya. Gadis kecil bermata lentik itu segera mendekatiku yang kini terduduk di atas jalanan. Ia menatapku dengan sendu.

“Aku nggak papa kok, Bi,” jawabku sambil tersenyum ke arahnya. 

“Ka-kamu berdarah, Qi. Pasti sakit, ya?” tanya Bia dengan raut wajah yang khawatir. Ia yang kini sudah berjongkok di depanku, sedikit menggigit bibir bawahnya yang ranum dengan kedua gigi kelincinya.

“Iya. Cuma sedikit, kok,” jawabku, berusaha terlihat kuat di depan Bia. Jujur, luka-luka ini memang terasa sakit. Tadi mereka bertiga beberapa kali menendang kaki dan memukul kepalaku. Namun aku tak mungkin menangis di depan orang lain, apalagi di depan anak perempuan. 

“Kok kamu nggak nangis, Qi?” tanyanya polos. Kedua bola matanya yang bulat menatapku dengan pandangan kagum. Membuatnya terlihat begitu lucu.

Aku hanya tersenyum. “Kata Ayah, laki-laki itu nggak boleh nangis, Bi. Luka kayak gini mah nggak bisa bikin jagoan Uqi nangis. Hehe,” ucapku seraya tertawa kecil. Bia pun ikut tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya isakan tangisnya sudah menghilang sekarang, berganti dengan ukiran indah di kedua sudut bibir yang menghiasi wajah putihnya. 

“Kamu nggak papa, Bi? Mereka nakal sama kamu?” tanyaku. Kutatap lekat-lekat kedua bola mata Bia. Takut sebelum aku datang, ketiga anak nakal itu sudah memukul atau melukainya.

“Nggak papa kok, Qi. Tadi Bang Reza dan Bang Boni hanya mainin rambut Bia,” jawabnya. “Bia pengin kayak Uqi. Nggak gampang nangis. Tadi Bia cuma digituin udah nangis.”.

Pertanyaan Bia membuatku sedikit berpikir keras. “Emm, kamu harus jadi anak yang kuat, Bi. Kata Ayah kalau anak kuat pasti jarang nangis,” jawabku.

“Ooh gitu ya, Qi,” jawabnya seraya mengangguk. “Bia harus jadi anak kuat kayak Uqi.”

“Uqi aja belum kuat, Bi. Ini buktinya Uqi kalah melawan Bang Reza, Bang Boni, dan Bang Indra,” ucapku sedikit lesu. Kutundukkan wajah, menatap beberapa bagian kakiku yang terkena luka. Aku merasa belum bisa menjadi anak laki-laki yang kuat. 

“Kata siapa Uqi nggak kuat. Buktinya Uqi berani melawan mereka buat nolongin Bia. Uqi udah kayak superhero. Hebat banget. Bia makasih banget sama Uqi,” jawabnya seraya tersenyum kepadaku. Kedua bola matanya yang hitam kecoklatan tampak berbinar-binar.

Aku pun ikut tersenyum menatapnya. Ucapan gadis kecil berhidung mancung ini seketika menumbuhkan sikap percaya diri kepada diriku. “Iya sama-sama, Bi. Udah ayo kita pulang. Nanti dicariin Ayah dan Bunda,” ajakku.

“Iya, Qi. Bia anterin Uqi pulang, ya. Bia nggak tega liat Uqi luka kayak gini.”

Aku hanya mengangguk dan segera berdiri. Kini, kami berjalan pulang bersama dengan bergandengan tangan. Melewati jalanan kampung yang dihiasi pemandangan sawah dan perkebunan. Rumahku dan Bia memang satu arah. Sangat dekat malah. Hanya dibatasi jalan raya di depan rumah kami. 

Beberapa menit berjalan, kami pun sampai di depan rumahku. Sedikit kuketuk pintu agar orang rumah tahu kepulanganku. “Assalamu'alaikum,” ucapku. 

“Wa'alaikumsalam.” Tampak seorang wanita berwajah teduh membuka pintu rumah. Ia yang kini mengenakan jilbab berwarna biru tampak tersenyum mengetahui kepulanganku. Namun, senyumnya tiba-tiba memudar saat kedua netranya menatap beberapa luka di tubuhku. “Loh Uqi. Kamu kenapa, Sayang?” tanyanya dengan raut wajah yang begitu khawatir.

“Emm. Ma-maaf, Tante. Uqi luka gara-gara nolongin Bia tadi. Ini semua salah Bia, Tante,” jawab Bia pelan. Saat ini ia terlihat sedikit cemas, wajahnya ia tundukkan ke bawah. Mungkin gadis kecil berkulit putih itu takut dimarahi Bunda. Kedua jari jemarinya saling ia tautkan satu sama lain.

“Enggak kok, Bunda. Bia nggak salah. Bia tadi digangguin sama anak-anak nakal, jadi Uqi bantuin,” jawabku, membela Bia. Aku menatap lekat-lekat wajah Bunda. Berharap ia percaya dengan ucapanku dan tidak memarahi Bia.  

“Ya udah, ayo masuk. Biar Bunda obatin. Bia masuk juga, ya. Ayo!” ajak Bunda sembari memegang pundakku dan Bia. Kami pun segera masuk ke rumah. Aku dan Bia duduk di atas kursi ruang tengah. Sementara itu, Bunda segera mengambil kotak obat di dalam lemari.

Dengan segera, Bunda mengobati luka-luka lecetku di daerah muka dan kaki. Aku sempat meringis kesakitan saat wanita berparas ayu itu meneteskan obat merah. Memang rasanya sedikit perih. Apalagi lukaku tidak hanya satu.

“Lain kali hati-hati ya, Sayang. Gimana kalau terjadi apa-apa sama kamu,” ucap Bunda. Perempuan yang sangat kucintai itu tampak begitu khawatir. Kedua tangannya masih terus mengobati lukaku. Menempelnya dengan plaster.

“Iya, Bunda,” jawabku patuh. Bunda mengelus lembut kepalaku, lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Terasa sangat hangat. Beberapa kali ia juga mengecup ujung kepalaku. Menyalurkan kasih sayangnya kepadaku. 

“Hiks ... hiks ....” Tiba-tiba terdengar suara isakan dari mulut kecil Bia.

“Loh loh, Bia kenapa? Kok nangis?” tanya Bunda. Aku pun menoleh ke arah gadis berpipi tembam itu. Benar. Ia memang sedang menangis. Air matanya sudah mulai menetesi pipinya. Melihat hal itu, Bunda melepas pelukannya dari tubuhku, lalu mendekat ke arah Bia. “Bia ada yang sakit juga?” tanya Bunda. 

Gadis berambut pendek itu hanya menggeleng. Namun, isak tangis masih terdengar kecil dari mulutnya. Sesekali tangan mungilnya pun mengusap butiran air yang terus mengalir dari kedua sudut bola mata. “Trus kenapa?” Bunda kini menggenggam erat tangan Bia. Kedua netranya menatap lembut netra milik Bia.

“Bi-Bia iri sama Uqi. Uqi punya Bunda yang baik dan cantik kayak Tante. Tante kayaknya sayang banget sama Uqi. Bia juga pengin disayang kayak Uqi.” Air mata Bia semakin deras menetes. Kini aku tahu kenapa Bia tiba-tiba menangis. 

Ibu Bia memang sudah meninggal sejak ia berusia satu tahun. Sejak itu pula ia hanya tinggal bersama ayahnya yang seorang petugas kantor kelurahan. Bia tidak memiliki kakak atau pun adik sehingga saat ayahnya bekerja, Bia pun sendirian di rumah.

“Udah, udah, Sayang. Jangan nangis lagi.” Bunda memeluk erat tubuh mungil Bia. Mendekapnya dengan cinta. “Bia boleh kok anggap Tante sebagai bunda Bia. Panggil Tante 'Bunda' aja nggak papa. Bia akan Tante anggap sebagai anak Bunda juga,” ucap Bunda seraya mengelus lembut surai hitam Bia.

“Be-beneran, Tante? Bia boleh manggil Tante 'Bunda'?” tanya Bia dengan isak tangis yang mulai memelan.

“Iya, Sayang. Panggil Bunda aja.” 

“Te-terima kasih, Bunda.” Tampak Bia tersenyum ke arah Bunda. Tangisnya kini sudah berganti dengan sesenggukan yang terdengar dari mulut mungilnya. 

“Sama-sama, Sayang. Jangan nangis lagi ya,” ucap Bunda sambil berusaha mengusap air mata yang membasahi pipi tembam Bia.

“I-iya, Bunda,” jawab Bia.

“Loh loh ada apa ini, kok pada peluk-pelukan? Trus jagoan Ayah kenapa? Kok luka-luka?” Tampak Ayah yang baru keluar dari kamar segera datang menghampiriku. Ayah hari ini memang sedang libur kerja, sehingga waktunya ia habiskan untuk istirahat di rumah. “Ada Bia juga? Loh kok Bia nangis? Kenapa?”

Aku pun menoleh ke arah Ayah. “Tadi ada yang nakalin Bia, Ayah. Mereka gangguin Bia sampai nangis. Trus Uqi tolongin, deh. Tapi karena Uqi belum jago berantem, jadi Uqi kalah, Ayah,” jawabku mengadu kepada Ayah.

“Wah, hebat nih anak Ayah.” Ayah kini duduk di sebelahku. Ia menepuk bahuku pelan, “Jadi laki-laki memang harus seperti itu. Jangan diam saja kalau ada perempuan yang disakiti. Ayah bangga sama kamu.” 

Aku hanya tersenyum mendengar pujian Ayah. Namun, senyumanku berubah saat mengingat kejadian perkelahian tadi. Saat aku dipukuli oleh oleh Boni, Indra, dan Reza. “Tapi Uqi kalah, Ayah,” ucapku.

Ayah tersenyum dan menatapku lembut. “Nggak masalah menang atau kalahnya, Sayang. Yang penting kamu sudah berani melawan ketidakadilan.” Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku sedikit tak paham dengan apa yang Ayah katakan itu. Jelas saja. Aku masih TK dan Ayah berbicara tentang ketidakadilan. Mana aku paham.

“Kayaknya sudah saatnya kamu belajar bela diri, Sayang. Biar kamu bisa jaga diri,” ucap Ayah kepadaku.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status