Share

Tak Seperti Biasa

Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, aku selalu memastikan penampilanku harus sesempurna mungkin. Bukan buat pamer. Apalagi cari perhatian. Tujuanku hanya satu. Agar tak ada yang menertawai jika aku berpenampilan aneh saat ke sekolah. Tidak lucu kan jika tiba-tiba di rambutku masih ada bekas sampo, atau dasi yang kupakai tergantung miring, atau bahkan masih ada kotoran di kedua sudut mata. Bisa hilang ketampanan yang ada pada diriku.

Setelah semua siap, aku segera berpamitan kepada Ayah dan Bunda, lantas keluar rumah menuju motor kesayanganku. Motor ninja yang Ayah berikan satu tahun lalu, saat aku berhasil menjuarai kompetisi karate tingkat provinsi. Yah, meskipun aku gagal di tingkat nasional.

Aku memang sangat suka bermain karate. Sedari kecil aku sudah banyak ikut kompetisi. Namun, sejujurnya aku lebih suka dengan dunia otomotif. Bagiku, sepeda motor dan segala pernak-perniknya sudah menjadi separuh jiwaku. Biarlah orang berpikir aneh, tetapi memang kenyataannya aku begitu mencintai sepeda motorku ini.

“Hati-hati di jalan ya, Qi. Jangan ngebut-ngebut,” ucap Bunda yang sedari tadi sibuk menyiram bunga-bunga di depan rumah.

“Iya, Bunda.” Setelah mencium tangannya, aku segera memakai helm dan menyalakan mesin motor. “Uqi berangkat, Bunda. Assalamu'alaikum.” Aku melajukan motor meninggalkan halaman rumah.

Sesampainya di depan gerbang, aku menyeberang jalan, menuju depan rumah Bia. Kubunyikan klakson seperti biasa. Namun, tak ada tanda-tanda Bia di sana. Aku baru tersadar, bukannya Bia kemarin mengatakan tak mau lagi berangkat bersamaku. Ah! Bisa-bisanya aku lupa.

Segera kulesatkan sepeda motor melewati jalanan desa, meninggalkan rumah Bia. Aku masih merutuki diri sendiri, kenapa aku bisa lupa apa yang dikatakan Bia. Ah! Mungkin aku masih belum bisa meninggalkan kebiasaanku menjemput Bia itu.

Angin sepoi-sepoi sesekali menerpa tubuhku. Udara pagi yang masih sejuk membuatku sedikit kedinginan. Apalagi aku sama sekali tak memakai jaket.

Sesampainya di sekolah, kulihat Deni dan Ryan sudah menungguku di parkiran. Kami memang selalu masuk ke kelas bersama. Jika aku yang berangkat terlebih dahulu, aku yang menunggu mereka. Begitu pun sebaliknya. Kami sudah seperti trio macan. Eh, bukan lah. Masa ganteng-ganteng seperti ini dibilang trio macan. Trio arjuna, mungkin. Haha.

Segera kuparkirkan sepeda motor di sebelah sepeda motor mereka. “Tumben pagi banget kalian udah berangkat,” ucapku seraya melepas helm, lalu menaruhnya di atas spion.

“Lo kali yang kesiangan, Qi,” sahut Deni. Aku melirik ke arloji yang melingkar di tangan kanan. Pukul 06.45 WIB. Memang aku sedikit kesiangan hari ini. Mungkin karena terlalu lama berdiam diri di kamar mandi.

“Hehe, iya iya, gue yang kesiangan,” balasku seraya terkekeh kecil. 

“Lo nggak berangkat bareng Bia lagi?” tanya Ryan tiba-tiba.

Aku menoleh ke arahnya. “Enggak. Bia udah berangkat kayaknya,” jawabku.

“Tumben banget si, udah dua hari kalian nggak berangkat bareng, 'kan? Lagi berantem?” tanya Ryan lagi.

“Enggak kok, gue nggak berantem sama Bia. Kemarin aja pulang bareng,” jawabku. Tak mungkin aku menceritakan tentang ucapan Bia kemarin. Bisa-bisa aku dicibir habis-habisan oleh mereka. Jangan sampai mereka berpikir aku dicampakkan Bia. Bisa hancur reputasiku.

“Kirain udah cerai, mau gue embat tuh si Bia, haha,” ucap Deni sambil tertawa kecil.

“Cerai! Cerai! Emangnya gue udah nikah?!” sewotku. Mereka berdua memang selalu saja menyebutku dan Bia sepasang suami istri.

“Eh itu Bia, Qi? Kok beda?” ucap Ryan seraya menunjuk ke arah gerbang sekolah. Aku pun menoleh ke sana. Tampak Bia baru saja turun dari motor ayahnya. Kupikir Bia sudah berangkat terlebih dahulu, ternyata belum. Itu artinya, Bia pasti tahu tadi pagi aku menghampirinya.

“Bia sekarang pake jilbab, Qi?” tanya Ryan. Raut mukanya tampak begitu terkejut. Aku maklumi itu. Aku, sahabatnya sendiri saja amat terkejut. Apalagi orang lain.

Aku hanya mengangguk. Namun, pandanganku masih tertuju ke arah Bia. Tampak ia masih berbicara dengan ayahnya di depan sana. 

“Masyaallah, bidadari dunia. Bia keliatan makin cantik ya kalau pakai jilbab,” ucap Deni. Seketika otakku pun mengiakan perkataan Deni. Benar. Bia memang makin cantik saat memakai jilbab. Aura tomboinya berubah menjadi keanggunan. Kenapa aku baru sadar sekarang?

“Udah, Qi! Biasa aja ngeliatinnya! Takut diambil orang, po?” Ucapan Deni tiba-tiba menyadarkanku. Seketika aku mengalihkan pandangan dari Bia. “Tenang aja, bentar lagi pasti dia ke sini, nyapa lo,” lanjut Deni.

Aku melirik lagi ke arah Bia. Tampak ia sedang berjalan melewati gerbang, menuju jalanan dekat parkiran. “Tunggu aja, dia pasti nyapa. Satu ... dua ... tiga ....” ucap Deni. Namun, dugaan Deni salah. Bia sama sekali tak menyapaku. Ia lewat tanpa mengucap sepatah kata pun. Sebenarnya tadi ia sempat melirik ke arah kami, tetapi kemudian ia berjalan di depan kami dengan tatapan menunduk.

Ryan dan Deni dibuat melongo dengan sikap Bia. “Loh kok, tumben banget Bia gitu, Qi? Biasanya kalau liat kita, pasti 'kan nama lo yang pertama disapa,” ucap Deni keheranan. 

Aku hanya diam seraya menatap punggung Bia yang mulai menghilang. “Lo beneran lagi nggak berantem sama Bia, Qi?” tanya Ryan. Ia menatapku dengan tatapan bingung. Begitu pula Deni.

“Enggak,” jawabku singkat.

“Serius?” ucap Ryan tak percaya.

“Iya, serius.”

“Trus tadi kenapa Bia kayak gitu?” tanyanya lagi.

“Entahlah.” Aku mengangkat kedua pundak, tanda tak mengerti. Biarlah, aku saja yang mengetahui alasan Bia menjauhiku.

Ryan dan Deni masih menatapku dengan tatapan bingung. “Udah, ayo masuk kelas aja,” ajakku. “Udah, ayoo.”

***

Hari ini, pelajaran pertama di kelasku adalah Sejarah. Rasanya membosankan sekali mendengarkan Pak Sugeng berceramah tentang perang dunia di depan sana. Mataku terasa begitu berat. Beberapa kali kepalaku hampir terjatuh ke atas meja.

Kriing!

Bunyi bel pergantian jam pelajaran seolah-olah menyelamatkanku dari rasa kantuk yang luar biasa. Akhirnya pelajaran sejarah selesai juga.

“Baiklah, sekian pelajaran kita hari ini. Silahkan modulnya dikumpulkan kembali,” ucap Pak Sugeng. Semua siswa pun saling mengoper modul ke teman di depannya. Mengumpulkannya di barisan paling depan.

“Saya cukupkan. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Pak Sugeng, dan dijawab salam oleh semua siswa, “Uqi, bantu Elsa bawa modul ke kelas XI IPS 1! Saya mau ke ruang guru terlebih dahulu,” perintah Pak Sugeng.

Baru saja aku ingin merebahkan kepala di atas meja, pria paruh baya berkaca mata itu malah menyuruhku membawa modul. Alhasil, aku pun menurut dan segera membawa modul-modul itu bersama Elsa. 

Elsa memang kebagian jadwal piket hari ini, sehingga ia yang tadi bertugas mengambil modul dan membawanya kembali. Namun, kenapa Pak Sugeng menyuruhku membawa modul juga? Jangan-jangan ia melihatku sedang mengantuk saat pelajaran.

Mau tak mau, aku pun harus menurut. Aku segera beranjak ke luar kelas bersama Elsa. Mengantarkan modul-modul itu ke kelas XI IPS 1. Kebetulan ruang kelas XI IPS 1 sedang diperbaiki, sehingga mereka untuk sementara menggunakan ruang laboratorium bahasa sebagai ruang kelas.

Aku dan Elsa berjalan beriringan melewati koridor sekolah. Sesekali Elsa tampak melirik ke arahku. Walaupun pandanganku selalu ke depan, aku tahu bahwa Elsa beberapa kali memperhatikan wajahku.

“Kenapa, El? Kok ngeliatin terus? Ada yang aneh ya dengan wajahku?” Aku sedikit meraba-raba pipi, berusaha mencari sesuatu, barangkali ada yang menempel.

“E-eh. Enggak kok, Qi. Enggak papa,” jawab Elsa.

“Beneran nggak ada apa-apa di wajahku?” Aku berhenti sejenak, lalu berusaha melihat bayangan wajahku sendiri dari kaca depan kelas yang kami lewati.

“Beneran kok, Qi. Nggak ada apa-apa,” jawab Elsa. 

“Ooh, kiraan ada iler atau apa gitu yang menempel di pipi, hehe,” balasku seraya tertawa kecil. Aku pun kembali berjalan.

“Muka kamu walaupun ada iler-nya tetep keliatan ganteng kok, Qi.”

“Apa, El?” Aku kembali menghentikan langkah, lalu menatap Elsa. Tampak ia sudah membungkam mulutnya dengan sebelah tangan. Wajahnya sudah merona kemerahan. Sepertinya tadi ia keceplosan mengatakan aku ganteng.

“Ng-nggak. Bukan apa-apa, Qi.” Aku sedikit tersenyum melihat Elsa yang salah tingkah. Wajahnya semakin merona. Dengan segera, ia berjalan meninggalkanku.

“El! Tungguin,” ucapku seraya berjalan cepat mendekatinya.

Namun, dari arah depan tampak Bia sedang berjalan berlawanan arah dengan kami. Aku sempat melihatnya sedikit melirik ke kami sebelum ia kembali menunduk, lalu berjalan melewati kami.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status