Di tengah sawah hijau Desa Sidomulyo, Jawa Tengah, era akhir 1980-an, Ardi Santoso, anak petani miskin yang cerdas, dan Rendra Wijaya, sahabatnya dari keluarga kaya, terjebak dalam persaingan dan persahabatan yang rapuh. Munculnya Sari Wulandari, gadis pemberani yang baru pindah ke desa dan bekerja di bioskop keliling, mengubah segalanya. Cinta segitiga yang tumbuh di antara mereka menjadi "oasis" di tengah tekanan sosial: kemiskinan, preman lokal, dan gejolak politik Orde Baru. Ketika Ardi terjerat dunia kriminal demi keluarganya, Rendra mengejar ambisi di kota sebagai aktivis mahasiswa, dan Sari berjuang menyelamatkan bioskop pamannya, rahasia keluarga dan pengkhianatan mengancam menghancurkan mereka. Akankah cinta dan persahabatan mereka bertahan di tengah badai, atau justru tenggelam di sawah Sidomulyo?
Lihat lebih banyak“Kisah kasih di sekolah, alangkah indahnya...” — Chrisye, 1980
Pagi di Sidomulyo selalu bikin hati tenang, seperti ada keajaiban yang cuma muncul saat matahari mulai naik. Hamparan sawah hijau membentang luas di bawah kaki Gunung Merbabu, seperti permadani hidup yang bernapas pelan, mengikuti irama angin pagi. Udara sejuk membawa aroma tanah basah, embun menempel di padi muda, dan langit perlahan berwarna merah muda bercampur oranye lembut. Cahaya matahari merayap pelan dari puncak gunung, seolah dunia sedang membuka mata dan berbisik tentang harapan yang belum terucap.
Ardi Santoso berdiri di tengah sawah, tangannya memegang cangkul kayu yang sudah tua, gagangnya licin karena digenggam bertahun-tahun. Punggungnya yang kuat, terlatih oleh kerja subuh sejak kecil, terasa ringan hari ini. Mungkin karena pagi ini terasa lebih hidup, atau cuma harapan kosong bahwa sesuatu bakal berubah, pikirnya. Dia anak petani, lahir dan besar di Desa Sidomulyo, sebuah kampung kecil yang terselip di lereng Merbabu, Jawa Tengah. Tahun 1988, di tengah semangat Orde Baru yang gila-gilaan dengan swasembada pangan, sawah buat Ardi bukan simbol kemajuan negara. Itu cuma hidup, sederhana, penuh keringat dan mimpi yang sulit diraih.
“Bapak, embunnya masih banyak. Saya siram dulu petak sebelah, ya?” tanya Ardi pada Pak Santoso, ayahnya, yang sudah membungkuk di sawah sejak fajar, memeriksa akar padi dengan tangan penuh lumpur.
Pak Santoso menoleh, matanya tajam meski wajahnya letih. “Cepat, Ardi. Jangan sampai matahari tinggi, padi kita butuh air sebelum panas.” Suaranya kasar tapi penuh perhatian, seperti orang yang membawa beban dunia di pundaknya.
Ardi mengangguk, lalu menancapkan cangkul ke tanah lembek. Gerakannya mengalir, senyaman napas yang keluar-masuk tanpa dipikir. Tapi di kepalanya, pikiran melayang. Kenapa hidup harus begini terus? Setiap hari cangkul, sawah, lumpur, lalu ulang lagi. Dia membayangkan dirinya di Semarang, duduk di bangku kuliah, belajar hukum atau teknik, lepas dari siklus tanam-panen yang bikin tangannya kapalan. Mimpi itu indah, tapi jauh, seperti puncak Merbabu yang cuma bisa dilihat dari kejauhan.
Sawah Sidomulyo punya pesona yang sulit dilupain. Padi muda bergoyang pelan ditiup angin, menciptakan ombak hijau yang seolah tak punya ujung. Di kejauhan, rumah-rumah Jawa dengan genteng merah berjejer rapi, asap tipis mengepul dari dapur-dapur yang baru nyala. Suara ayam berkokok bercampur dengan deru sepeda tua yang lewat di jalan setapak. Pasar desa, yang cuma beberapa ratus meter dari sawah, mulai ramai. Pedagang ikan wader dan tempe goreng udah teriak-teriak, saling bersahut.
“Ikan wader panas! Tempe mendoan, murah!” Suara Mbok Siti, ratu gosip pasar, menggema, selalu punya cerita baru buat tetangga.
Ardi senyum kecil mendengar itu. Pasar selalu bikin dia ingat Rendra Wijaya, sahabat masa kecilnya. Keluarga Rendra jualan beras, rumah mereka besar, halamannya luas, bahkan punya motor CB 100 yang kinclong, bikin anak-anak desa ngiler tiap lewat. Dulu, Ardi dan Rendra main bola di tanah berdebu, ketawa bareng tanpa mikirin apa-apa. Tapi sekarang, di tahun terakhir SMA, semuanya beda. Ardi pinter, selalu juara kelas, tapi Rendra punya duit, koneksi, dan mimpi kota yang udah di depan mata.
“Bapak, padi di ujung petak kayaknya kurang air. Saya cek, ya?” tanya Ardi, menyeka keringat di dahinya.
Pak Santoso cuma mengangguk, fokus ke padi. “Jangan lama, Ardi. Nanti kita ke saluran irigasi bareng.”
Ardi melangkah, lumpur merekat di kakinya. Hidup di sawah ini berat, tapi indah juga, pikirnya, sambil menatap padi yang bergoyang. Dia ingat janji Rendra waktu mereka masih kecil, main di bawah pohon sawo dekat pasar. “Kita kuliah bareng di Semarang, Di. Gue traktir makan di warung Pak Haji!” kata Rendra waktu itu, matanya penuh semangat. Tapi sekarang, janji itu terasa kosong, seperti angin yang cuma lewat.
Selesai menyiram, Ardi dan ayahnya duduk di pinggir saluran irigasi, angin sejuk menyapu wajah. Di rumah, Bu Siti, ibunya, udah menyiapkan bubur jagung panas dan kue beras manis. Rumah bambu mereka sederhana, lantai tanah, tapi selalu penuh kehangatan. “Ardi, besok ada bioskop keliling lagi di lapangan pasar,” kata Bu Siti, sambil menyodorkan mangkuk kayu penuh bubur.
Ardi nyaris tersedak. Sari Wulandari. Gadis baru dari Solo yang kerja di bioskop keliling itu punya mata gelap yang kayak menyimpan rahasia dan senyum yang bikin jantungnya lari. Mereka ketemu sebulan lalu di pasar, saat Ardi beli garam buat ibunya.
“Kamu Ardi, ya? Yang menang cerdas cermat di sekolah?” tanya Sari, matanya berbinar di bawah sinar matahari.
“Iya, Mbak Sari,” jawab Ardi, wajahnya panas seperti kena oven. Sejak itu, dia gak bisa lupain Sari. Dia beda, gak pernah ngejek aku anak petani, gak kayak anak kota lain.
Tapi ada Rendra. Ardi tahu sahabatnya itu pasti udah dengar soal Sari. Dengan motor kinclong dan cerita-cerita kota, Rendra selalu punya cara memikat cewek desa. Jangan mikirin yang gak-gak, Di. Fokus ke ujian, Ardi memaksa dirinya.
Pagi itu, Ardi mengayuh sepeda tuanya ke SMA Negeri Sidomulyo, bangunan bata merah sederhana dengan halaman yang jadi lapangan voli. Di gerbang, Rendra udah menunggu, bersandar di motor CB 100-nya yang mengkilap. “Loe lama banget, Di! Gak di sawah, ya?” canda Rendra, senyumnya lebar tapi ada nada ngejek.
“Masih bantu Bapak,” balas Ardi, nyengir. Mereka jalan bareng ke kelas, seperti biasa.
Rendra mengangkat bahu. “Gue kemarin nonton ‘Janur Kuning’ di kota. Propaganda, tapi seru. Eh, besok bioskop keliling datang, loe ikut?”
Jantung Ardi ngebut. “Pasti. Sari yang jual tiket, kan?”
Rendra nyenggol lengan Ardi, ketawa. “Naksir, ya? Awas, dia cewek kota. Mungkin lebih suka motor gue ketimbang cangkul loe.”
Ardi ketawa, meninju lengan Rendra. “Sok kaya, loe!” Tapi di dalam hati, ada benih kecil yang mulai tumbuh, sesuatu yang belum pernah ada di persahabatan mereka.
Di kelas sejarah, Pak Budi, guru yang selalu pakai kacamata tebal, berceramah. “Sawah kalian itu tulang punggung bangsa. Tapi setiap kemajuan punya harga, anak-anak.”
Ardi coba mendengar, tapi pikirannya melayang ke Sari. Film apa yang dia suka? Sore itu, dia dan Rendra nongkrong di warung Pak Haji, nyeruput teh panas sambil makan tempe goreng. Radio tua memutar “Kisah Kasih di Sekolah”, dan sejenak, dunia terasa cuma milik mereka berdua.
“Perjuangan itu seperti sawah kering, butuh hujan untuk tumbuh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Pagi di Sidomulyo ramai, warga berkumpul di lapangan desa di bawah sinar matahari yang terik. Sari Wulandari berdiri di tengah, batik birunya rapi meski matanya merah karena menangis semalaman. Aku harus selamatin Ardi dan bioskop, pikirnya, tangannya mencengkeram mikrofon tua berkarat. Warga berbisik, beberapa ragu, tapi mata mereka penuh harap.Rendra Wijaya berdiri di samping Sari, luka di lengannya dibalut kain lusuh, darah merembes pelan. “Mbak Sari, loe yakin ngadepin Pak Darmo?” tanyanya pelan, matanya cemas. Gue dukung loe, tapi ini bahaya, pikirnya. Sari mengangguk, suaranya tegas. “Mas Rendra, ini demi Sidomulyo,” katanya. Aku gak akan nyerah, pikirnya.Sari mengangkat mikrofon, suaranya menggema di lapangan. “Warga Sidomulyo, Ardi gak bersalah! Pak Darmo jebak dia!” ter
“Kesetiaan itu seperti pohon di sawah, akarnya kuat meski badai datang.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Tengah malam di Sidomulyo, penjara desa yang dingin dan lembap menelan Ardi Santoso. Borgol di tangannya menggigit kulit, lantai semen kasar menggores lutut. Cahaya lampu minyak tanah redup dari luar jeruji, bayang polisi bergerak pelan. Ayah, gue gak akan nyerah, pikirnya, matanya menatap dinding penuh lumut.Sari Wulandari berdiri di pematang sawah, batik birunya compang-camping, angin malam membekukan tulang. Ardi, loe gak boleh nyerah, pikirnya, air mata membasahi pipi. Dia menatap penjara dari kejauhan, tangannya mencengkeram ilalang. Ibu, aku harus selamatin bapak, pikirnya.Rendra Wijaya bersandar di pohon sawo dekat rumah Pak Lurah, luka di lengannya dibalut kain lusuh. Di, gue bikin loe masuk penjara, pikirnya, rasa bersalah menggerogoti. Dia mengepal tangan, wajahnya pucat di bawah bulan p
“Kebenaran itu seperti padi di sawah, tumbuh pelan tapi tak bisa ditekan.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo terasa mencekam, angin dingin menerpa rumah Pak Lurah. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di loteng, napas mereka tersengal. Kotak besi bukti korupsi Pak Darmo tergeletak di samping Ardi, kertas tua di dalamnya penuh rahasia. Ini nyawa kita sekarang, pikirnya, jantungannya kencang.Sari duduk di sudut loteng, batik birunya basah lumpur, matanya penuh ketakutan. Ibu, mimpimu hancur, aku gagal, pikirnya, tangannya gemetar. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue selamatin loe sama bukti ini, pikirnya, tangannya mencengkeram kotak besi.Rendra bersandar di dinding kayu, lengan masih berdarah dari luka golok. “Di, Mbak Sari, kita harus bawa bukti ini ke pasar besok,” katanya pelan, suaranya serak. Bapak gue mungkin dalang, tapi gue pilih kebena
“Cinta itu seperti air di sawah, jernih tapi mudah keruh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo gelap, angin dingin menyapu sawah luas. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di gudang tua dekat pematang. Bau jerami basah menyengat, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di tangan Ardi. Kita hampir ketahuan tadi, pikirnya, jantungannya masih kencang.Sari duduk di sudut, batik birunya lusuh, wajahnya pucat setelah bioskop keliling hancur. Ibu, mimpimu hilang di tanganku, pikirnya, matanya berkaca. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue gak akan biarin loe sendiri, pikirnya.Rendra bersandar di dinding kayu, jaket jeansnya robek, darah kering di pelipis. “Di, Mbak Sari, kita harus ke Pak Lurah malam ini,” katanya pelan. Bapak gue mungkin di belakang ini, tapi gue pilih kalian, pikirnya. Ardi mengangguk, tapi matanya ke Sari. Ren, loe berani, tapi Mb
“Kenangan itu seperti layar bioskop, redup tapi tak pernah hilang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Sidomulyo hening, hanya suara jangkrik dan angin menerpa sawah. Bioskop keliling Sari Wulandari berdiri di ujung desa, layar putih compang-camping berkibar pelan. Sari berdiri di depan proyektor, wajahnya pucat tapi tegas. Ini pemutaran terakhirku, pikirnya, hatinya perih.Ardi Santoso duduk di barisan depan, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di pangkuannya. Mbak Sari, loe gak boleh nyerah, pikirnya, matanya penuh kekhawatiran. Dia melirik penonton, warga desa yang datang meski tahu ancaman Pak Darmo. Mereka percaya sama Mbak Sari, pikirnya.Rendra Wijaya tiba, jaket jeansnya berdebu dari Semarang. “Di, Mbak Sari, gue datang,” katanya pelan, duduk di samping Ardi. Gue taruhan semuanya buat kalian, pikirnya, ingat demo dan borgol polisi. Ardi menatapnya, lega. Ren, loe beneran bal
“Perubahan itu seperti angin di sawah, tak terlihat tapi mengguncang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Semarang ramai, suara demo mahasiswa menggema di jalanan. Bau asap dan teriakan penuh semangat memenuhi udara. Rendra Wijaya berdiri di trotoar, jaket jeansnya berdebu, matanya menatap spanduk bertuliskan “Lawan Korupsi”. Gue gak bisa diam lagi, pikirnya, hatinya bergolak.Rendra ingat dokumen yang ditemukan Ardi di sawah. Bapak gue terlibat, tapi gue gak bisa tutup mata, pikirnya, amarahnya membuncah. Dia mengepal tangan, melihat mahasiswa menentang pejabat. Di, loe bener, kita harus lawan Pak Darmo, pikirnya.Di Sidomulyo, Ardi Santoso bersembunyi di gudang bioskop, kotak besi di tangannya. Ren, loe di mana? pikirnya, cemas. Sari Wulandari duduk di sampingnya, batik birunya lusuh. “Ardi, Mas Rendra bakal bantu kita, kan?” tanyanya sopan, suaranya penuh harap.Ardi mengangguk, tapi ragu. “Mbak Sari, Ren
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen