Share

Langit Subuh

Sayup-sayup suara kokok ayam membangunkanku dari alam mimpi. Segera aku menuju ke kamar mandi. Cuci muka dan mengambil air wudhu. Sudah menjadi rutinitasku, selalu menunaikan salat malam setiap harinya. 

Ayah dan bundaku memang selalu mengajari anak-anaknya agar senantiasa menjaga salat malam. Sesibuk apapun, semalas apapun, kami harus tetap melaksanakan salat malam.

“Seseorang yang merutinkan salat malam, pasti akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Di saat yang lain terlelap, kita sudah terbangun. Di saat yang lain masih larut di alam mimpi, kita sudah bermunajat, bermesraan dengan Tuhan. Apa tidak hebat namanya? Allah itu sudah menjanjikan ampunan bagi siapa pun yang mendekat kepada-Nya. Siapa pun yang berdoa di sepertiga malam terakhir pasti akan Allah kabulkan. Seluruh penduduk bumi dan langit pun turut serta mengamininya.”

Nasihat ayah waktu itu selalu terngiang di kepalaku. Menjadi penyemangat saat aku hendak melaksankan salat malam. Ayah memang bukan lulusan pesantren. Namun, ilmu agama yang Ayah miliki cukup luas.

Ayah pernah mengatakan bahwa ia menyesal sewaktu muda dahulu tidak belajar di pondok pesantren. Maka dari itu, ayah selalu menyuruh anak-anaknya agar belajar di pesantren. Namun, hanya aku seorang, anak ayah yang tak mau menjadi seorang santri. Mba Huma dan almarhum Mas Fatir patuh kepada perintah ayah untuk belajar di pesantren, tetapi tidak denganku.

Bukannya aku ingin melawan perintah Ayah. Hanya saja aku merasa belum siap jika menjadi seorang santri. Aku masih ingin bebas bergaul dengan kawan-kawan, dan tentunya bermain balap motor. Jika aku berada di pesantren, pasti hobi balap motorku akan terkubur rapat-rapat. Setidaknya, meskipun aku belum bisa menjadi seorang santri, sebisa mungkin aku selalu rajin menjalankan ibadahku baik yang wajib maupun sunah.

Sajadah segera kugelar di atas lantai kamar. Udara dingin kaki Gunung Prau yang selalu menyelimuti daerahku, tak pernah menyulutkan niatku untuk menengadah kepada Tuhan Semesta Alam.

“Allahu akbar.”

Beberapa menit aku larut dalam keheningan malam. Menyatu dengan ayat-ayat Ilahi yang kulantunkan dalam ibadah salat. Aku memang tak serajin dan sesaleh Ayah maupun almarhum Mas Fatir. Setiap hari aku hanya bisa melaksanakan empat rakaat salat malam. Itu pun menurutku sudah cukup. Daripada tidak melaksanakannya sama sekali.

Seusai salat, tak lupa kulantunkan zikir dan doa, memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Karena manusia memang tempatnya salah. Apalagi aku. Pasti dosa-dosaku sudah begitu banyak karena belum bisa menjadi anak yang berbakti dan membanggakan Ayah dan Bunda.

Sebuah mushaf Al-Qur'an kuambil dari atas nakas di samping tempat tidurku. Kulantunkan beberapa ayat Ilahi seraya menunggu azan Subuh berkumandang. Lama-kelamaan kedua kelopak mataku mulai memberat. Huruf-huruf hijaiyyah yang kubaca seolah-olah menghipnotis, dan membuatku tertidur lagi.

“Qi, Uqi.” Suara Bunda tiba-tiba terdengar masuk ke dalam telingaku. “Ayo bangun, Qi. Sudah azan Subuh.”

Perlahan aku mencoba membuka mata. Sepertinya aku tadi tertidur dengan posisi duduk di atas lantai, punggungku masih bersandar pada bagian samping ranjang. Kedua tanganku pun masih menggenggam Al-Qur'an.

“Ayo, ambil air wudhu, Qi. Biar nggak telat jemaahnya.” Aku menurut. Segera aku bangkit menuju ke kamar mandi dan mengambil wudu lagi. Karena memang salah satu hal yang membatalkan wudu adalah tertidur, kecuali tidurnya orang yang duduk. Dan sepertinya tadi aku tertidur dengan posisi duduk berselonjor. Sudah pasti wuduku batal.

Aku melangkah ke luar kamar. Di sana sudah ada Ayah dan Bunda yang sedang menungguku. Kami memang biasa berangkat ke masjid bersama. Meskipun jarak masjid tak terlalu jauh, aku selalu menikmati saat-saat kami berangkat salat Subuh bersama. Rasanya begitu tenang dan damai. Apalagi udara masih sangat sejuk. Bintang-bintang pun masih berkumpul menghiasi langit.

Kami bertiga berjalan bersama di bawah langit subuh kaki Gunung Prau. Tak lupa pintu dan gerbang pun kami kunci. Meskipun hanya ditinggal sebentar, kami harus tetap waspada, karena kejahatan bisa mengincar siapa saja jika ada kesempatan.

Sampai di depan gerbang rumah, tak sengaja kami bertemu dengan Bia yang juga hendak berangkat ke masjid. Aku melirik sekilas ke arahnya. Membuat ia sedikit menunduk, menghindari tatapanku.

“Eh, Bia. Ayo kita ke masjid bareng-bareng saja,” ucap Bunda. Membuatku sedikit terkejut.

“I-iya, Bunda.” Bia hanya menurut dan segera bergabung dengan kami. Bia berjalan di depan bersama Bunda. Sementara aku dan Ayah tepat berada di belakang mereka.

“Bia kok sendirian?” tanya Bunda, memulai obrolan. 

“Iya, Bunda. Ayah memang sudah biasa berangkat duluan,” jawab Bia, menanggapi pertanyaan Bunda. Sementara aku hanya diam, mendengarkan obrolan mereka.

“Ooh. Kalau gitu, kita berangkat bareng-bareng saja tiap hari. Daripada kamu sendirian.” Aku tertegun mendengar perkataan Bunda. Saat ini saja aku merasa canggung karena berjalan bersama Bia. Apalagi setiap hari. Mungkin jika kemarin-kemarin saat Bia belum berubah, aku tak akan secanggung ini. Namun, entah kenapa hari ini rasanya canggung sekali saat aku berasama dengannya.

“I-iya, Bunda,” ucap Bia pelan. Aku dapat merasakan dari suara Bia, ia pasti juga merasa canggung saat diajak berangkat bersama kami setiap harinya. Namun, Bia pasti merasa tak enak hati jika menolak ajakan Bunda.

***

Seusai salat subuh, seperti biasa para remaja di desa kami selalu mengaji kepada Kyai Ja'far di masjid. Kyai Ja'far merupakan salah satu kyai yang cukup dihormati di daerah kami. Beliau masih memiliki hubungan kerabat denganku. Kalau tidak salah, almarhum ayah Kyai Ja'far dan almarhum kakekku merupakan saudara kandung.

Kyai Ja'far biasa mengajar kitab Safinatun Najah setiap ba'da Subuh. Kitab yang berisi tentang kajian-kajian fikih itu, beliau berikan kepada kami agar dalam menjalankan ibadah tetap sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh Rasulullah yang diturunkan kepada para sahabat, tabi'in, tabi'at, serta para ulama dan kyai.

Aku pun selalu bersemangat saat mengaji bersama beliau. Walau terkadang mataku harus melawan rasa kantuk yang begitu berat.

“’Aurotur rojulin muthlaqon wal amatu fissholati ma bainas suroti warrukbati.” Kyai Ja'far mulai menjelaskan kajian kitab pagi ini. “Auratnya laki-laki dan budak perempuan di dalam salat yaitu daerah antara pusar sampai lutut.”

“Wa'aurotul khurroti jami'u badaniha ma siwal wajhi wal kafaini. Sedangkan auratnya perempuan merdeka yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan,” lanjut Kyai Ja'far.

“Aurat yang dimaksud di sini, tidak hanya di dalam salat saja. Tetapi juga di luar salat. Baik laki-laki maupun perempuan harus tetap menutup auratnya sesuai batasan yang telah ditentukan dalam kitab tadi. Namun, untuk laki-laki, ya sebaiknya lebih dari bagian itu. Meskipun yang wajib ditutupi hanya bagian pusar sampai lutut, jangan sampai salat cuma pakai sarung tanpa pakai baju. Bisa-bisa yang perempuan malah jadi nggak fokus salatnya,” papar Kyai Ja'far seraya terkekeh kecil.

Sontak seluruh yang hadir di ruangan ini tertawa mendengar penjelasan Kyai Ja'far. Begitu pula denganku. Sekarang aku paham. Mungkin perubahan penampilan Bia karena ia benar-benar ingin menjaga auratnya. Diam-diam aku memperhatikannya seraya tersenyum melihat ia yang masih asik tertawa.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status