Share

Bersama Elsa

Bia berjalan melewatiku dan Elsa dengan wajah tertunduk. Jangankan menyapa, menatap wajah pun tak ia lakukan. Ia hanya sempat melirik kami saat masih di depan sana. Sejenak aku menghentikan langkah, menatap Bia yang berlalu melewatiku dan Elsa. Rasanya hampa sekali. Tak ada obrolan atau candaan yang biasa mengalir di antara kami.

“Qi?” Suara Elsa tiba-tiba menyadarkanku yang sedari tadi tengah menatap kepergian Bia. “Ada apa?” tanyanya. Elsa sepertinya tampak bingung karena melihatku tiba-tiba berhenti. Ia sedikit mengerutkan kening menatapku. 

“Eh, nggak papa, El,” sahutku buru-buru. Aku segera mengalihkan pandangan dari Bia.

“Kirain ada apa,” ucap Elsa. 

Aku hanya tersenyum, berusaha mengalihkan pikiranku dari Bia yang tadi hanya berlalu melewatiku, lalu kami pun kembali melangkah bersama menyusuri koridor sekolah.

“Bukannya tadi itu Bia temen kamu ya, Qi?” tanya Elsa tiba-tiba. Ia sedikit menatap ke arahku sembari tetap melangkah. 

“Iya, El.”

“Bia sekarang pake jilbab, Qi?” tanyanya lagi.

“Ya, seperti yang kamu lihat.”

“Bia pake jilbab jadi tambah cantik ya, Qi.” Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Elsa. Kenapa ia tiba-tiba membahas tentang Bia. “Iya, 'kan?” tanyanya lagi.

“Hmm, Bia emang udah cantik dari dulu si, El,” jawabku.

Tiba-tiba Elsa menghentikan langkahnya. Entah karena apa. Aku pun menoleh kepadanya. Tampak gadis berwajah oriental itu sedikit mencebikkan bibirnya. “Kenapa berhenti, El?”

“Eng-enggak papa, Qi,” jawabnya sedikit terbata.

“Aku kira kenapa.” Elsa hanya tersenyum simpul mendengar ucapanku. Namun, raut wajahnya masih terlihat masam. “Ya udah, ayo jalan lagi,” ajakku.

“I-iya, Qi.” Kami pun melanjutkan kembali langkah kami.

“Mmm ... Qi, kamu sama Bia udah lama temanan ya?” tanya Elsa.

“Ya. Lumayan lama, si. Udah dari TK,” jawabku, “Bia itu nggak cuma sekedar temen, El. Tapi Bia itu sahabat terdekat aku.”

Elsa mengangguk mendengar jawabanku. “Hanya sahabatan, Qi?” tanyanya pelan. Sepertinya ia ragu-ragu mengucapkan kalimat itu.

“Maksud kamu, El?” Jujur aku sedikit tak paham dengan pertanyaan Elsa.

“Kamu ... kamu nggak pernah jatuh cinta sama Bia, Qi?” tanya Elsa tiba-tiba. Membuatku sedikit bingung. Aku pun menoleh ke arahnya.

“Kok tiba-tiba tanya gitu?” ucapku.

Elsa tampak mengalihkan pandangan. “Eh, aku cuma penasaran aja, Qi. Kamu kan udah lama sahabatan sama Bia. Barangkali tiba-tiba perasaan kalian berubah jadi cinta,” ucap Elsa pelan.

Aku terdiam sejenak. Perasaan cinta? Hal yang sama sekali tak pernah terlintas di otakku. Apalagi kepada Bia, sahabatku sendiri. “Enggak lah. Aku sama Bia cuma sahabatan biasa, kok,” jawabku seraya tertawa kecil.

Elsa tampak sedikit tersenyum mendengar ucapanku. “Kalau perempuan lain? Apa kamu udah punya perempuan spesial di hati kamu, Qi.”

Aku sedikit mengerutkan kening. Mengapa Elsa sedari tadi menanyaiku tentang kehidupan percintaan? Apa dia sedang mewawancaraiku? 

“Perempuan spesial? Siapa ya?” Aku sedikit berpikir. “Emm, perempuan spesial di hati aku ya paling cuma Bunda,” jawabku.

“Nggak ada yang lain?” tanyanya begitu antusias.

“Enggak,” jawabku singkat. Aku memang sedang tidak jatuh cinta kepada siapa pun. Namun, bukan berarti aku tak suka perempuan. Terakhir kali aku merasa jatuh cinta ketika masih SMP. Namun, perasaan itu pun menghilang sebelum aku sempat mengungkapkannya. Saat ini, aku sedang tak menjalani hubungan dengan siapapun, karena memang tak ada satu pun perempuan lain yang spesial di hatiku selain Bunda.

Elsa tampak tersenyum mendengar jawabanku. Senyuman yang begitu merekah. Menciptakan lesung di kedua pipinya. Cantik memang. Namun, aku sama sekali tak ada perasaan tertarik atau suka kepadanya.

Kami pun sampai di kelas XI IPS 1. Segera kuletakkan modul-modul ini di atas meja guru. Begitu pun dengan Elsa. Kami kembali ke kelas karena pelajaran selanjutnya akan segera berlangsung.

***

Sore ini cuaca begitu terik. Peluhku mengalir begitu deras. Apalagi, tadi aku baru saja bermain futsal bersama kawan-kawan sekelas di lapangan sekolah. Kami memang sering bermain bola sepulang sekolah, kalau cuaca tidak hujan dan kalau lapangan sedang tidak digunakan untuk kegiatan ekstrakulikuler. Olahraga itu seolah-olah mampu menghilangkan beban di otak yang seharian menerima berbagai mata pelajaran.

Kini, aku, Deni, dan Ryan tengah duduk di pinggir lapangan. Mengistirahatkan otot-otot kaki, sembari menegak air mineral untuk melegakan dahaga.

“Tumben banget lo nggak pulang dulu, Qi. Biasanya nganterin Bia dulu baru ke sini,” ucap Ryan yang kini tengah duduk di sebelahku.

“Enggak. Bia nya lagi nggak pengin dianter gue,” balasku. 

Ryan tampak heran mendengar jawabanku. Begitu pun Deni. “Kenapa?”

“Ya nggak papa. Bia lagi pengin latian naik angkot aja katanya,” jawabku. Tak mungkin aku katakan alasan sebenarnya Bia tak mau pulang denganku.

“Tumben banget,” ucap Deni. Aku hanya tersenyum simpul, sembari memainkan si kulit bundar yang kini berada di genggaman tanganku.

“Kayaknya lo sama Bia emang beneran lagi ada masalah ya, Qi? Nggak usah ditutup-tutupin lagi deh. Udah keliatan banget tahu perubahan sikap Bia ke lo. Beneran ada masalah, 'kan?” tanya Ryan tiba-tiba.

Aku sedikit tercekat. Sebegitu jelaskah perubahan sikap Bia kepadaku sampai Ryan pun tahu tentang masalahku dengan Bia? Aku menoleh ke arah Ryan. Tampak ia sedang menunggu jawaban dariku.

“Lo beneran lagi berantem sama Bia, Qi?” Kali ini giliran Deni yang bertanya. Mereka berdua tampak begitu kompak menginterogasiku. “Apa jangan-jangan gara-gara Bia pake jilbab, lo sama dia jadi ngejauh kayak gini?”

Ah! Mereka berdua memang selalu kepo dengan kehidupan pribadiku. Ya wajar juga si, karena mereka memang teman dekatku. Namun, suasana hatiku sedang tidak ingin menceritakan segalanya kepada mereka.

Aku menghela napas. “Lo berdua emang kepo banget, ya.”

“Mau nggak kepo gimana, orang kalian keliatan banget bedanya. Biasanya barengan terus, lah ini kayak nggak kenal satu sama lain. Kan gue heran,” ucap Ryan.

Aku tertawa kecil. Bukan menertawai ucapan Ryan, tetapi menertawai diriku sendiri. Memang aneh juga si. Kenapa aku dan Bia jadi seperti orang yang tak kenal seperti ini.

“Udah lah, nggak usah dibahas lagi. Gue pulang duluan, ya. Habis ini ada jadwal latihan karate soalnya.” Aku segera bangkit dan meraih ransel yang kuletakkan di atas rumput. Meninggalkan mereka berdua dengan raut wajah yang masih begitu penasaran.

“Ehh, Qi. Tapi lo belum cerita,” ucap Deni mencoba menahanku.

Aku menoleh ke arahnya. “Ya, kapan-kapan gue ceritain deh. Gue cabut dulu.” Aku segera melangkah, menjauhi mereka menuju tempat parkir. Segera kunyalakan mesin motor saat sampai di parkiran. Tubuhku sudah terlalu lepek. Rasanya ingin sekali segera sampai rumah. Membasuh semua peluh yang sudah membasahi tubuh ini.

Aku segera melaju meninggalkan parkiran. Namun, lajuku terhenti saat tiba-tiba kulihat Elsa sedang berdiri di pinggir jalan seorang diri. Tak biasanya gadis itu berada di sana. Biasanya setiap berangkat dan pulang sekolah, ia selalu diantar oleh kakaknya. Itu yang kutahu.

Segera kuhampiri Elsa karena penasaran. Kumatikan mesin motor tepat di hadapan gadis berambut panjang itu berdiri. “El, kok belum pulang?” tanyaku.

Elsa tampak kaget melihat kehadiranku. “Eh, Uqi. Iya ini lagi nunggu angkot, Qi,” jawabnya sembari memainkan jari-jemarinya yang lentik.

“Tumben banget naik angkot. Nggak dijemput kakak kamu?” tanyaku. 

“Kakakku lagi ada acara, jadi nggak bisa jemput.”

“Mau aku anter aja?” tawarku.

Elsa tampak kaget mendengar ucapanku. Kedua alis tebalnya sedikit terangkat. “Ka-kamu mau anter aku, Qi?”

“Iya. Daripada naik angkot, 'kan?” ucapku seraya tersenyum ke aarahnya.

“Kamu nggak pulang sama Bia, Qi?” tanya Elsa tiba-tiba. 

Seketika aku jadi teringat Bia. Kira-kira dia sudah pulang atau belum, ya. Apa benar Bia berani naik angkot? Bagaimana kalau Bia muntah di dalam angkot? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku. Jujur aku begitu khawatir dengannya.

“Qi?” ucap Elsa seraya menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajahku.

“Eh. Iya, El. Enggak kok. Aku nggak pulang sama Bia,” sahutku buru-buru. Bisa-bisanya aku melamun saat sedang berbicara sepert ini. Aku sedikit merutuki diri sendiri yang sering sekali tiba-tiba teringat dengan Bia. 

“Ooh.” Elsa mengangguk mendengar ucapanku.

“Jadi gimana? Mau aku anter?” tawarku lagi.

“Beneran nggak papa?” tanya Elsa. Ia tampak sedikit ragu. Ini memang pertama kalinya aku menawari Elsa untuk pulang bersama. Wajar jika ia merasa heran.

“Iya, nggak papa. Ayo naik.” Elsa tersenyum, lalu dengan perlahan naik ke atas motorku. “Udah siap, El?”

“Iya. Udah, Qi.” 

Aku pun segera menyalakan mesin motor. Namun, sebelum aku sempat melaju, pandanganku tiba-tiba menangkap Bia yang sedang berada di seberang jalan sana. Ia bersama seorang temannya hendak menyeberang menuju ke sekolah.

Sekilas aku melihat Bia tampak menatap ke arahku. Gadis berjilbab itu tampak mengernyitkan kening melihatku dan Elsa yang sedang naik motor bersama. Tiba-tiba, entah kenapa aku merasa bersalah karena memboncengkan perempuan lain selain Bia.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status