Mag-log in
Jaka bukan lah seorang remaja yang dikenal banyak orang. Bukan pula seorang remaja yang akan kamu cari di tengah keramaian. Jaka hanyalah bayangan yang lewat di lorong sekolah atau suara pelan yang terabaikan di ruang kelas. Sejak kecil, ia terbiasa dengan kesepian. Bukan karena dia menginginkannya tapi karena dunia seolah sudah memilihnya untuk menjalaninya.
Kedua orang tuanya pernah terlihat bahagia atau setidaknya begitulah yang diceritakan oleh orang-orang. Walau sepengetahuannya, ia tak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya hidup di rumah yang penuh kasih. Sejak usianya cukup untuk memahami kehidupan orang dewasa, ia hanya dapat melihat pertengkaran, teriakan, suara piring atau gelas yang memecahkan atau suara pintu yang ditutup dengan sangat keras. Ayahnya sudah tidak tinggal serumah disana, ayahnya pergi meninggalkan Jaka saat ia masih duduk di bangku SMP dan tak pernah benar-benar kembali. Ayahnya memilih kehidupan yang penuh dengan kenikmatan dunia, yaitu perempuan LC, alkohol dan dunia malam.
Ibunya?
Ibunya tetap tinggal bersamanya, namun tidak seutuhnya, karena kehadirannya hanya bersifat fisik dan formalitas semata. Tubuhnya ada di dalam rumah saat hari sudah hampir pagi, pikiran hanya dipenuhi oleh urusan di kantor dan sisanya habis oleh rasa lelah.
Jaka terbiasa menyiapkan makanannya sendiri. Merayakan ulang tahunnya sendiri. Mengerjakan tugas rumah sendiri dan menangis pun sendiri, itupun kalau menangis masih bisa dianggap sebagai pilihan. Ia tumbuh dengan tangki cinta yang kosong. Di sekolah, anak-anak lain melihatnya sebagai sasaran empuk pelampisan. Tubuh Jaka kurus, suaranya pelan lembut dan matanya selalu tampak sayu. Mereka sering mendorong Jaka saat di kantin, menyembunyikan bukunya, mengejek bajunya yang lusuh dan bahkan menjadi pelampiasan kemarahan teman – temannya tanpa sebab. Guru-guru sekolahya menutup mata, mungkin karena orang tua yang lain memiliki gelar lebih tinggi atau mungkin karena Jaka terlalu tidak penting.
Hingga malam itu tiba.
Langit mendung seperti sedang menahan sesuatu yang seharusnya keluar. Kota kecil tempat Jaka tinggal tampak lengang dan udara membawa bau tanah yang lembap. Malam itu seperti biasanya, Ibunya belum pulang dari kantor dan ia tak berharap apa-apa. Ia berdiri sambil mengambil jaket tipis dan kunci motor tua warisan kakeknya yang sudah lama meninggal. Ia menyalakan mesin motor itu dan melaju ke jalanan gelap kota yang sudah tak asing lagi baginya.
Angin malam mencambuk wajahnya yang tampak seperti kelopak mawar yang mekar dengan warna kuning keemasan yang lembut. Matanya terbuka lebar dan tampak menantang dingin, seolah berharap ada sesuatu yang cukup kuat untuk menghentikannya. Ia memacu motornya lebih kencang, hingga memasuki jalan yang dikenal orang-orang sebagai 'Ujung Mati'. Itu adalah sebuah jalan sempit yang tak terurus dan merupakan jalan panjang dengan kegelapan tanpa henti. Di atasnya berdiri sebuah rumah kosong yang besar dan megah, namun tampak nuansa gelap seperti tengkorak tua yang mengintip dari balik gelap.
Orang-orang bilang rumah itu adalah rumah berhantu. Rumah itu telah lama terbengkalai karena penghuni rumah itu telah meninggal dan tak menyisakan ahli waris. Tapi Jaka tak peduli akan hal itu.
Hantu pun mungkin bisa menjadi teman yang lebih baik dari manusia.
Lampu motornya menerobos kabut tipis yang mulai turun. Roda berdecit saat tikungan datang terlalu cepat. Ia mengerem secara tiba-tiba, namun terlambat.
Motornya slip.
Segalanya terasa pelan menjadi. Jaka sempat melihat sebuah cahaya atau mungkin hanya lampu motornya yang berputar melayang di udara. Tubuhnya menghantam lapisan aspal jalan bersamaan dengan kepalanya yang membentur sangat keras. Dunia menjadi senyap. Tak ada suara. Tak ada rasa sakit.
Hanya dinginnya angin malam.
Dan sesaat sebelum matanya benar-benar tertutup, ia melihat pintu rumah itu terbuka perlahan. Seolah-olah ada seorang yang sedang menyambut.
Jaka dinyatakan meninggal di tempat.
Tapi untungnya, cerita ini baru saja dimulai.
Jaka mencoba membuka matanya. Pandangannya masih buram seperti habis bangun dari tidur yang sangat panjang. Tapi ini bukan tempat tidur, bukan kamar dan jelas bukan rumahnya. Ia mendapati dirinya berada di pinggir jalan sempit yang ia tahu benar itu adalah jalan 'Ujung Mati'.
Udara malam terasa sangat dingin dan menusuk, namun Jaka merasa aneh pada tubuhnya. Terasa ringan. Ringan seperti baru menyelesaikan puasa seminggu tanpa sahur.
Ia mencoba bangkit perlahan.
“Aku… jatuh ya?” gumamnya.
Ia menatap sekelilingnya.
Tak ada motor.
Tak ada jejak rem.
Tak ada warga yang mengerumuni.
Hanya dirinya sendiri yang berdiri di tengah jalan yang sunyi dan gelap itu. Tampak bayangan pohon menari di tiup angin dan rumah kosong itu berdiri mematung dengan pintu yang sedikit terbuka seperti mengintip dari celah dunia lain.
"Mana motorku…? Kok sepi amat... Bukannya tadi aku jatuh ya?" gumamnya.
Ia memukul-nepuk dirinya sendiri, mencoba untuk memastikan apakah ia masih hidup. Rasanya seperti masih hidup, meski agak terasa ringan.
Lalu, Jaka mendengar suara motor dari jarak jauh yang mulai mendekat. Cahaya motor muncul di ujung tikungan, lampu motor itu menyinari kabut tipis yang mulai turun. Jaka langsung sumringah.
"Wah! Ada orang! Ya, aku bisa minta tolong!"
Ia berdiri dan menggerakkan tangannya dengan semangat.
"Mas! Mas! Tolong! Saya…."
Bukannya berhenti, namun pengendara motor itu malah tancap gas lebih kencang seolah baru melihat penampakan. Padahal hanya ada Jaka disana. Apalagi helmnya hampir saja lepas karena ngebut mendadak.
Motor itu melintas begitu cepat di samping Jaka, hingga nyaris menyenggolnya.
"Lah! Lah! Lah! Kok kabur sih?!" Jaka kesal. Ia mengangkat tangan ke langit seperti protes ke sutradara semesta. "Mas! Aku bukan jambret, sumpah!"
Dia dibuat. Lalu menatap jalan lagi.
“Oke. Kali ini aku harus lebih tegas.”
Jaka berjalan ke tengah jalan. Ia berdiri tepat di tempat yang kira-kira membuat pengendara tak punya pilihan selain berhenti. Ia bersiap – siap seolah hendak perang maju. Suara motor lain mulai terdengar lagi. Suara knalpot dengan nada pelan, seolah pengendara itu sedang waspada.
Lampu motor perlahan mendekat dan mulai tampak seorang pria muda dengan menggunakan jaket ojek online. Laju motornya mulai melambat lalu berhenti tepat di depan Jaka.
“Akhirnya…!” gumam Jaka dengan lega.
Tapi sebelum Jaka sempat bicara, mata si pengendara motor membesar seolah ingin lepas dari kelopaknya.
"AAAKKKKKKKKKHHH!! SETAAAAAAAANNN!!"
Tanpa pikir panjang, laki-laki itu turun dari motor dan kabur ke semak-semak sambil menjerit seperti penonton sinetron kesurupan.
"Tolong! Ada hantu berdiri di jalan! Bismillah! BISMILLAAAH!!"
Tubuh pengendara itu dalam hitungan detik menghilang dan motornya ditinggalkan begitu saja dengan mesin yang masih menyala.
Jaka melongo.
"Hantu? Mana? Mana hantu?! Aku juga takut, mas!"
Ia melirik ke kanan lalu ke kiri. Tapi tak ada siapa-siapa disana kecuali dia seorang, ditemani angin dan suara – suara jangkrik. Tenang, merambat ke dalam diri Jaka.
Ia menoleh ke arah motor yang ditinggalkan laki-laki itu. Dengan ragu, ia mulai mendekat dan mengintip ke kaca spion di sisi kanan.
Tidak ada pantulan.
Ia memicingkan mata lalu pindah ke kaca spion yang kiri.
Masih nihil.
“Waduh…”
Ia menyentuh wajahnya lalu melambai ke kaca spion. Tapi tetap saja, kaca itu hanya memantulkan kabut dan pohon-pohon yang ada di belakangnya.
Wajah Jaka tidak muncul di pantulan kaca spion itu. Ia bahkan tidak bisa melihat tangannya sendiri.
"JANGAN-JANGAN..."
“...AKU...HANTUNYA DIRIKU SENDIRI?!” ucap dengan wajah bingung dan tidak percaya.
Dan dalam detik - detik berikutnya, dunia Jaka seakan berputar. Mulutnya menganga dan tangan terbuka seperti orang yang melihat nilai ujian 0 padahal yakin benar.
Lalu...
BLEG!
Jaka pingsan ditempat. Tergeletak di jalan dengan posisi aneh yaitu posisi tangan satu terbuka ke atas dan satu lagi menutupi wajah. Seperti sedang mencoba menyangkal kenyataan bahwa…
Ya….
Dia sekarang adalahmakhluk halus. Halus tapi tetap bisa emosi.
Seekor kucing pembohong yang lewat, berhenti sejenak di samping tubuh Jaka. Memandangnya dengan mengompreskan malas-malasan khas kucing jalanan lalu mengeong sekali dan pelan, seperti berkata,
"Hantu newbie ya? Biasa, banyak yang gitu awalnya."
***
Rumah Azrael tidak berubah, masih tampak tenang, kokoh dan memancarkan aura yang sulit dijelaskan.Azrael menunggu di depan meja kerjanya dengan mengenakan jubah putih yang kali ini tampak lebih bersinar. Di tangannya, buku besar dari catatan kehidupan Jaka terbuka di halaman terakhir.“Kamu menepati janji, Jaka,” ucap Azrael. “Selamat datang... waktumu telah tiba.”Jaka menatap pintu besar yang bercahaya itu. Kali ini tidak ada keraguan lagi. Begitu melangkankan kaki ke ambang pintu, cahaya putih yang menyilaukan menyambutnya. Ia melangkah masuk perlahan, kenangan – kenangan masalalunya mulai bermunculan di pikirannya. Perjalanan yang cukup panjang, telah ia lewati dengan baik, hingga akhirnya, ia dapat memasuki dunia abadi.Cahaya itu bukan cahaya yang membuatnya terpaku, melainkan dunia yang terbentang luas di hadapannya. Terlihat hamparan pa
Malam itu, setelah melewati pertarungan yang besar dan penyelamatan Dimas yang melelahkan, Jaka dan Dimas duduk berdua di beranda rumah Dimas. Udara dingin membawa aroma tanah basah, dan tampak lampu jalan berkedip lembut seperti ikut menikmati suasana damai. Keheningan terasa menggantung disana, sampai akhirnya, Dimas menatap Jaka dengan serius.“Jak, aku mau tanya sesuatu…”“Apaan?”“Kenapa kamu enggak masuk ke pintu akhirat aja? Kenapa harus balik buat nolongin aku? dan pasti ada harga yang harus kamu terima, kan? Apa itu?”Jaka terdiam. Tangannya memainkan sudut kain sarung yang entah dari mana ia gunakan. Lalu, ia hanya menjawab sambil nyengir.“Enggak kok, karna emang belum siap aja… Masih pengen nongkrong sama kamu, tau.”
📍 Di Rumah DimasLangit malam tampak seperti biasanya, tidak ada signyal – signyal bahaya yang terpancar.Dimas membuka pintu rumahnya dengan santai, mengira segalanya telah kembali normal. Tanpa sesosok Jaka ataupun yang lainnya. Ia melepas jaket, menggantungnya di balik pintu yang tampak pakunya sudah copot sebelah. Langkah berpindah menuju dapur untuk mengambil air minum…Dan tiba – tiba….KRAAAKK!!Suara lantai kayu mencicit tajam, Dimas segera membalikkan badannya. Sepuluh pasang mata merah menatapnya dari ruang tengah. Bayangan-bayangan hitam, tubuh-tubuh berjas compang-camping, rambut panjang lepek, dan mulut menganga seperti mesin ketik rusak.“Selamat datang kembali... Dimas.”“Kami sudah menunggumu.”Hantu Makela
Malam itu di rumah Dimas suasana terasa sangat tenang. Udara dingin perlahan masuk melalui jendela yang setengah terbuka. Dimas duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap langit malam, sementara Jaka bersandar di dinding sambil menatap kosong ke arah langit-langit.“Akhirnya…” ucap Jaka pelan.“Kita berhasil,” sahut Dimas.Lalu mereka diam beberapa saat. Di wajah Jaka tergambar sebuah kebahagiaan, tapi juga ada awan tipis yang menyelimuti matanya.“Aku seneng… banget…. tapi juga agak sedih, Dim.”“Sedih kenapa?”“Karena aku bakal ninggalin kamu sendirian di sini…”Dimas menatap Jaka.“Kamu enggak ninggalin aku, kok Jak. Kamu cuma pulang, ditem
Sinar matahari yang hangat menyelinap masuk melalui tirai jendela rumah berdiri di pinggir kota. Dokter Hadi yang terkena kilauan cahaya itu, perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat seperti baru bangun dari tidur puluhan tahun. Ia lalu duduk di sofa sambil memijit pelipisnya.Suasana seperti biasanya, hening.Tanpa ia sadari, terdapat hal yang terasa aneh di sekelilingnya. Rumah yang biasanya berantakan dan dipenuhi tumpukan sampah dan debu, kini tampak sangat bersih. Lantai yang tampak mengilap, foto-foto di rak yang kembali berdiri tersusun rapi dan tirai jendela yang terbuka seolah membiarkan cahaya pagi menyapa dengan lembut.Dokter Hadi berdiri perlahan melihat sekelilingnya. Kakinya melangkah pelan ke area ruang tengah dan pandangannya tertuju pada sebuah meja kecil di dekat rak sepatu.Sebuah catatan kecil yang ditempel di situ.Jangan lupa semir sepatu bila in
Setelah melihat isi dari buku tabungan dan sedikit menjamah serpihan masa lalu dokter Hadi, Jaka mendadak menoleh ke arah Dimas dengan ekspresi yang serius, tampak seperti seorang yang mau mengajak bisnis MLM.“Dim, ini penting banget.”“Apa?”“Kita butuh... duitnya.”Dimas memelototkan mata, “Hah?!”“Buat beli bahan sushi!” seru Jaka cepat, “Ini bukan untuk hura – hura kok, tapi buat kepentingan yang sangat mulia!”Dimas menatap dompet si dokter yang sudah tergeletak di meja.“Kalo yang ini... aku rasa, ga masalah, dia juga tidak akan keberatan.”Jaka segera meminta Dimas menuliskan daftar panjang seperti chef profesional yang sedang mempersiapkan







