Jaka duduk bersila di pinggir jalan, tepat di bawah tiang listrik yang lampunya berkedip-kedip seperti lampu diskotik. Angin malam itu sangat menusuk, tapi Jaka tidak merasa dingin itu.
Ya iyalah, diakan sudah jadi hantu.
"Terus aku sekarang ngapain dong? Ga ada petunjuk sama sekali ya buat para newbie?" gumamnya sambil mencoret-coret aspal menggunakan ujung jarinya sendiri. Lanjutnya, "Ini seharusnya ada buku panduan atau semacamnya, kan? Minimal brosur lah..."
Ia melirik ke kanan dan ke kiri, namun masih sama, tampak sepi. Hanya suara celotehan jangkrik dan satu dua mobil yang lewat tanpa sadar bila mereka nyaris menabrak hantu galau yang duduk santai di pinggir jalan.
Tiba-tiba terdengar suara yang asing di telinga.
Ngik….
Ngik….
Ngik...
Suara itu seperti roda kecil yang digeret. Jaka menoleh kearah suara itu dan ia nyaris saja keseleo lidahnya karena menahan tawa.
Seorang hantu yang tampak kurus tinggi, dengan kepala yang plontos, mengenakan hoodie yang kebesaran dan celana pendek bercorak polkadot, sedang melaju pelan menaiki skuter anak-anak berwarna warna pink, lengkap dengan lonceng dan stiker sailormoon imut.
Hantu itu bahkan sempat berdiri satu kaki seperti gaya-gaya TikTok kekinian sebelum matanya bertemu dengan mata Jaka.
"Woi! Bro! Stop bentar!" teriak Jaka.
Hantu itu berhenti mendadak dan skuternya berdecit kencang seperti mainan yang rusak.
"Ada apa? Lagi tour keliling lorong waktu juga, malah digangguin."
"Kamu hantu, kan?"
"Yaahh. Masa aku kurir J&T?" jawabnya nyolot. "Lihat tampangmu, pasti newbie."
"Banget," keluh Jaka, lanjutnya, "Aku baru aja... ya, you know lah. Terus sekarang bingung harus ngapain. Ada tutorial nggak sih?"
Hantu itu memiringkan kepala hingga 360 derajat.
"Tutorial? Gak ada, bro. Tapi kamu harus ke rumahnya Azrael dulu. Dia tuh yang ngatur jalur jiwa. Kalo enggak, kamu bisa nyasar jadi penunggu WC sekolah."
"Serius? Trus Azrael itu statusnya apaan?"
"Banget. Dunia hantu itu birokratis banget. Kalo gak ke Azrael, kamu statusnya ilegal. Bisa ditangkap malaikat ronda. Azrael tuh malaikat yang ngatuh jalurnya jiwa – jiwa kayak kamu itu."
"Terus rumahnya Azrael di mana?" dengan wajah panik.
Hantu itu senyum sok-sok misterius.
"Naik, aku anter. Skuter ini bisa terbang dikit-dikit, asal jangan ngebut pas tanjakan."
"...Kamu yakin?"
"Bismillah aja."
Dan dengan agak kaku, Jaka pun naik ke skuter pink itu. Mereka mulai meluncur pelan dengan rodanya yang berbunyi cempreng setiap melewati batu.
Beberapa warga menjerit saat melihat dua makhluk menyeramkan itu melaju dengan naik skuter berwarna pink glowing. Ada warga yang jatuh dari sepeda ontelnya. Ada yang lari sambil nangis – nangis seperti anak kecil yang di nakalin temennya. Satu bapak-bapak bahkan sempat live TikTok sambil berkata,
‘Netizen! Tuh kan! Penampakan sekarang semakin bervariasikan!’
Tapi Jaka dan hantu skuter hanya cuek dan tetap melaju santuy seperti habis beli cilok.
"Perjalanan ke rumah Azrael butuh waktu," kata si hantu skuter sambil menghidupkan lagu di HP rusaknya. "Tapi kita bisa lewat jalur cepat, asalkan kuat mental."
"Kenapa emang?"
"Karena kita bakal ngelewatin... Jembatan Curug Cemen, daerah itu daerah rawan prank pocong."
Jaka langsung merinding.
"Wah gila, aku baru aja meninggal. Jangan dibikin trauma kedua kalinya dong."
Jaka menunjukkan raut muka yang mulai menyesal.
Bukan karena menaiki skuter pink bersama hantu aneh. Tapi karena skuternya mulai melayang lalu meliuk-liuk seperti mabuk jamu Nyonya Meneer. Mereka melewati gang kecil yang tiba-tiba berubah menjadi lorong yang gelap, penuh kabut dan suara ketawa cekikikan.
"Bro... ini beneran aman kan?" tanya Jaka sambil pegangan erat ke bahu hantu skuter.
"Aman, aman. Ini shortcut. Kita masuk lewat jalur Curug Cemen. Hitung – hitung bisa potong waktu 7 tahun," jawab hantu skuter santai, sambil mengecek kaca spion bentuk love.
"LOH?"
Sebelum Jaka bisa protes lagi, mereka melewati jembatan tua yang rusak parah dan berlobang di sana-sini. Di kiri-kanan hanya terlihat hutan gelap dengan jurang yang tanpa ujung dan suara-suara aneh mulai terdengar...
"HUAAA!!! HUSSSS!!! HUAAAA!!! HUSSSS!!!"
Sebuah pocong melompat ke tengah jembatan sambil mengacung-ngacungkan tangan yang terikat.
"Astagaaaa!" Jaka hampir jatuh dari skuter.
Hantu skuter hanya melirik.
"Ih, kampungan."
Dari balik semak-semak muncul lagi satu pocong, kali ini pocong itu membawa kardus bertuliskan
PRANK!!! JANGAN MARAH YA :)
Lengkap dengan kamera perekam yang menempel di keningnya.
"SERIOUSLY?" teriak Jaka.
Pocong itu tertawa ngakak lalu tersandung akar pohon dan jatuh terjun ke jurang.
"Kontennya gagal lagiiii..." suaranya mengecil lalu menghilang.
Jaka menatap hantu skuter dengan pandangan kosong.
"Itu tadi... pocong prankster?"
"Yap. Influencer dari dunia lain. Lagi booming sekarang. Kalo kamu punya SIM uji influencer hantu, kamu bisa jadi content creator juga."
Mereka melanjutkan laju skuternya lagi. Jalan mulai menyempit dan penuh papan aneh bertuliskan, ‘HATI-HATI KEPALA LEPAS’ dan ‘DILARANG KETAWA, NANTI KETEMU K****U GENDERUWO’.
Jaka mulai berkeringat dingin.
"Ini shortcut atau rumah hantu?"
"Yang penting cepat sampai. Kalau kelamaan nanti kamu bisa di cancel proses loh dan kalo itu sampai kejadian... ya kamu bakal jadi hantu gentayangan. Bebas sih, tapi gak bisa move on selamanya."
Jaka langsung berdiri lebih tegak.
Beberapa menit kemudian, mereka keluar dari lorong gelap itu dan sampai lah di sebuah bukit yang dipenuhi kabut keperakan. Di tengah bukit itu berdiri sebuah rumah besar nan megah, bergaya minimalis tapi mengambang setengah di udara. Ada lonceng emas di atas pintunya dengan ukiran tulisan latin yang bercahaya samar.
"Ini rumah Azrael," kata hantu skuter sambil menekan brake pedalnya. "Aku cuman bisa mengantar sampe sini. Kamu masuk sendiri, ya. Aku dilarang parkir di depan pintu."
"Bro... makasih. Ngomong – ngomong nama kamu siapa sih sebenernya?"
Hantu itu senyum.
"Nama aku Sobri. Aku dulu magang di kantor pengangkatan jiwa, sekarang jadi freelance."
Jaka turun dari skuter dan menatap pintu rumah Azrael.
Jaka berdiri di depan pintu rumah mengambang yang bergaya minimalis itu. Kabut tipis menyelimuti sekelilingnya dan suara lonceng kecil terdengar seperti bisikan dari alam mimpi.
Dengan ragu, Jaka mengetuk pintu yang terbuat dari kayu hitam mengkilap itu.
TOK… TOK…
Tiba-tiba, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Angin dingin menerpa wajah Jaka dan suasana berubah secara drastic. Cahaya rumah itu tampak redup, dengan aroma dupa yang menyengat, dan suara bisikan aneh mulai terdengar entah dari arah mana.
"Eh... boleh masuk gak, sih?" tanya Jaka lirih.
Tidak ada jawaban pasti. Tapi di dalam sana, samar-samar ia melihat siluet seseorang. Dengan langkah pelan dan gemetar, Jaka masuk ke dalam rumah itu.
“WOY!”
Tiba-tiba sebuah cahaya senter menyala terang ke mukanya.
“HAH!” Jaka kaget setengah mati, “Hantu!!!!!” jeritnya spontan.
Cahaya itu lalu menurun dan muncullah sosok tinggi besar yang bersayap, dengan berjubah hitam pekat dengan mata tajam menyala biru. Malaikat Azrael.
“Bukan hantu. Aku Azrael. Kamu Jaka, ya?” katanya datar tapi menggetarkan jantung.
“Y-ya… saya…” Jaka meneguk ludah yang tak pernah ada.
Azrael mengangkat tangannya. Lalu mendadak muncul sebuah buku. Buku itu setebal lemari dua pintu. Jaka melongo melihat itu.
“Ini buku riwayat kehidupan kamu. Lengkap, dari belum lahir sampai... yah, kecelakaan itu,” kata Azrael sambil mulai membolak-balik halaman.
“Wah gila, setebal itu? Aku pikir hidup aku cuman receh!” komentar Jaka.
Azrael membaca serius selama beberapa detik, lalu mendongak.
“Kesimpulan: kamu tidak layak masuk ke pintu gerbang akhirat.”
“APA?!” Jaka spontan loncat. “Eh, jangan main asal vonis gitu dong! Apa alasannya?!”
Azrael menutup buku yang tebal itu.
“Kamu masih mempunyai sebuah keinginan dunia yang belum terpenuhi. Selama keinginan itu belum kamu bereskan, kamu gak bisa masuk. Sistemnya sudah seperti itu... backlog kehidupan.”
Jaka maju dengan cepat, mencoba nyambar buku kehidupannya. Tapi ternyata tangannya menembus buku itu.
“Wah gila, ini ebook tapi hardcover!”
“Gak akan bisa kamu ambil. Ini hak milik Departemen Jiwa dan Kehidupan. Jangan nekat.”
Tapi Jaka keras kepala.
“Aku mau banding! Aku manusia baik-baik! Aku... ya, walau suka ngomel, sedikit-dikit mengeluh, kadang bohong sama orang lain… tapi kan, aku tidak pernah berbuat kejahatan!”
Azrael menghela napas.
“Silakan protes… tapi…”
ZWOOSH!
Mendadak rumah itu berubah menjadi arena kejar-kejaran. Azrael melayang santai, sementara Jaka lari terbirit-birit sambil teriak,
“AKU MAU MASUK AKHIRAT! AKU GAK MAU JADI HANTU ILLEGAL!”
“STOP. Resign. Serahkan Nyawa Cadanganmu.”
“Apa itu nyawa cadangan?!”
“Ga ada. Aku cuman mengarang biar kamu berhenti!”
Mereka berlarian lagi sampai Jaka tersandung meja gaib, hingga terpental ke dinding, lalu...
DOR!!!
Azrael mengangkat kaki dan menendang Jaka keluar rumah. Jaka terpental seperti bola bekel tercebur ke semesta.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAA—”
Brak!
Jaka terbangun dan dia tersadar bahwa dia kembali ke pinggir jalan tempat dia meninggal.
Lagi.
Ia terduduk dengan rambut berantakan dan nyengir miris.
“Jadi gitu… aku sekarang jadi hantu jalanan. Hantu pinggir aspal... Gentayangan... karena ada satu keinginanku yang belum kesampean…”
Ia menatap langit malam yang mendung.
“Apa sih keinginan itu…? Yang terbawa sampe mati...?”
Angin malam bertiup pelan dan daun-daun kering beterbangan. Di tengah keheningan itu, samar – samar terdengar suara yang sangat pelan. Nyaris seperti bisikan dari balik semesta:
“Carilah... dalam hatimu…”
Jaka menoleh cepat.
“Hah? Siapa barusan?”
Tak ada siapa-siapa disana. Hanya jalan yang kosong dengan lampu jalan yang berkedip dan bayangan samar pohon di aspal.
***
Sore itu, cahaya jingga menembus kaca buram di rumah tua peninggalan orang tua Dimas. Jaka duduk di atas sofa butut warisan zaman kolonial yang entah kenapa masih ada di ruang tamu rumah Dimas. Kakinya disilangkan, tangan bersedekap di dada, gayanya benar-benar seperti juragan kontrakan.“Mas, rumah sebesar ini isinya cuma kita aja. Enak juga ya hidup jadi hantu elite,” kata Jaka sambil menggeliat malas.Dimas berdiri di depan jendela, hanya diam. Tubuh jangkungnya membentuk siluet unik di balik kain penutup jendela yang goyang perlahan.“Eh, kamu kenapa? Dari tadi ngetem di jendela mulu. Nungguin gojek?” tanya Jaka sambil melirik.Dimas tidak langsung jawab. Tangannya berada didalam saku dan matanya yang kosong menatap halaman depan yang tampak sepi.“Aku kepikiran sesuatu,” katanya akhirnya. “Soal kamu.”
Langkah Jaka dan Dimas menyusuri lorong pasar kali ini terasa berat. Tidak ada lagi semangat dan tidak ada lagi harapan. Sorotan kerlap kerlip lampu yang memanjang di market hantu, tidak lagi terasa hangat dan menyemangatkan. Yang tersisa hanya perasaan hampa di dada Jaka.“Sepatu terakhir, katanya…” gumam Jaka sambil menunduk. “Terakhir buat dia. Bukan buat aku...”Dimas mengangguk pelan sambil ikut termenung.“Tapi kamu sudah membuat arwahnya tenang dengan masuk akhirat, Jak. Itu sebuah prestasi yang luar biasa.”Jaka hanya mengangkat bahu.“Ya, tapi aku? Masih di sini. Masih... bergentayangan.”Mereka terus berjalan putusasa, melewati toko-toko aneh yang menjual barang-barang absurd seperti sisir rambut dari bayi tuyul, termos yang bisa membeli mimpi, sampai kacamata untuk
Di tengah hiruk pikuk pasar hantu, Jaka terduduk lesu di depan toko. Tatapannya masih tertuju pada sepatu merah bata dengan garis hitam itu yang barusan telah terjual oleh hantu pemain futsal.Dimas berdiri di samping Jaka sambil menghela napas karena menyaksikan sesosok hantu yang putusasa oleh keadaan“Ya udah, Jak. Memang bukan rejeki kamu…”Lalu langkah ringan terdengar mendekati Jaka. Jaka mendongak ke arah suara itu. Hantu pemain futsal, kini berdiri tak jauh dari Jaka sambil memeluk kotak sepatu di dadanya. Wajahnya bingung dan sedikit bimbang, lalu mengusap ujung kotak itu pelan.“Kamu ingin sepatu ini?” tanya hantu pemain futsal itu.Jaka hanya menganggukkan kepalanya, memberitanda bahwa ia menginginkan itu.“Waktu dengar kamu merengek... aku te
Atas petunjuk dari mamak Gombel, Dimas, Jaka dan mbak Kunti melanjutkan perjalannya menuju toko sepatu itu. Sepanjang lorong-lorong pasar yang aneh itu, mereka melewati banyak hal yang absurd, seperti ada lapak yang menjual topi dari rambut stress yang diambil langsung dari rambut para orang gila di rumah sakit jiwa, kios parfum dengan nama ‘Aroma Mantan’ dan pedagang kaki lima yang berjualan sandal jepit bekas tabrakan.Setelah melewati gang berkelok - kelok yang makin malam makin gelap, akhirnya mereka sampai di sebuah bangunan besar berbentuk sepatu raksasa. Di atas pintunya terdapat plang dengan neon berkedip-kedip bertuliskan:TOKO TAPAK AKHIR – Semua Sepatu Untuk Langkah TerakhirmuBegitu masuk, mereka semua melongo melihat bagian dalam toko itu. Toko itu ternyata sangat luas, disana berisi rak-rak sepatu yang membentang panjang sampai langit ke-tujuh. Ada sepatu dari berbagai jenis dan berbagai b
Begitu kata ‘sepatu’ keluar dari mulut Mbak Kunti, Dimas langsung membelalak lalu menjentikkan jari seperti baru bertemu pencerahan hidup.“Berarti misi kita jelas. Cari sepatu...”“Tapi harus cari dimana? Sepatu itukan udah rusak?” tanya Jaka sedikit sedih."Market Hantu!" seru Dimas dramatis dengan tangan yang menunjuk ke langit malam yang mendadak ada efek petir, padahal nggak ada awan.Jaka mengerutkan dahi. "Market apaan?""Market Hantu, bro. Surga belanjanya makhluk astral. Di sana semua ada, mulai dari barang, kenangan, sampai keinginan yang belum kesampaian."Belum sempat Jaka bertanya, terdengar suara klakson aneh dari kejauhan. Bunyinya seperti perpaduan suara kucing kawin, kentongan ronda dan sirene ambulans. Dari balik kabut, mun
Malam turun seperti tirai tebal yang menutupi cahaya sang mentari. Pohon-pohon di pinggir aspal tampak berdiri kaku, seperti saksi bisu yang tidak mau ikut campur. Lampu jalan berkelip pelan lalu padam satu- persatu, seakan malu menatap dunia arwah yang mulai beraktivitas.Di antara gelap dan dingin, dua sosok duduk di atas genting, yang entah kenapa masih utuh meskipun sudah berusia puluhan tahun.“Aku berpikir,” kata Dimas pelan.Suaranya terdengar berat tapi santai, seperti guru olahraga yang santuy setelah ngopi.“Kalau kamu masih tersangkut di sini, berarti ada sesuatu yang belum selesai saat kamu di dunia. Biasanya itu adalah sebuah keinginan.”Jaka menyandarkan diri ke dinding depan lantai dua, sambil menatap jalan tempat tubuhnya dulu terguling.“Keingi