Share

Bab 0.5

Penulis: Winda
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-21 18:19:42

"Tenang, ada Mbak, tapi kalau kita bicara sama calon istri Om Doni, siapa tau istrinya mau tinggal di sini, tar Mbak yang ngomong dan bujuk dia," ujar ku.

Ku melepas pelukan, kedua tangan membingkai wajahnya, ku usap lembut air mata yang membekas di pipi chubby nya dengan ibu jari.

"Mbak Tia, sayang gak sama aku? Apa Mbak nanti kalau sudah dewasa, terus menikah, Mbak juga mau tinggalin aku,"

"Gak, Bimo, Mbak gak akan tinggalin kamu sampai kamu dewasa nanti, dan kamu memiliki keluarga sendiri, jikalau suatu saat nanti kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mbak baru bisa tenang ninggalin kamu dengan keluarga baru kamu," terang ku panjang lebar.

"Gak Mbak, aku gak mau punya pendamping hidup,"

"Loh kok," aku menautkan alis keheranan.

"Aku mau, Mbak Tia yang menjadi pendamping hidup aku nanti!" ucapan Bimo membuat aku tercengang.

Ku menanggapinya dengan senyuman, mungkin dia hanya bergurau, dasar anak kecil, apa yang ada dalam fikirannya, aku ini kakaknya kenapa dia bicara seperti itu.

"Bimo, kamu ngomong apa sih Dek?"

"Aku mau, Mbak jadi pendamping hidup aku! jikalau aku sudah dewasa nanti." Dia mengulangi ucapannya lagi, hadeeh... aku mendadak atsma mendengarnya.

"Kan Mbak ini kakak mu, mana boleh kakak beradik menjadi pasangan hidup!"

"Aku tau, Mbak itu bukan kakak kandungku, jadi kita gak di haramkan untuk menikah, di masa depan nanti,"

What? Aku tepok jidat mendengar kata yang keluar dari bibir mungilnya. Dari mana dia tau aku ini bukan kakak kandungnya, ucapnya membuat aku bergeming sesaat.

Anak ini benar-benar polos, siapa sih, orang yang telah memberi tau dia tentang status aku di dalam keluarganya, kalau aku tau, akan ku damprat dia habis-habisan.

"Kamu jangan ngarang Bimo! Mbak ini kakak kamu, Awas ya akan ku cabik-cabik orang itu, sudah membocorkan rahasia keluarga!" umpat ku, sambil meremat kertas yang aku ambil dari meja belajar Bimo.

"Bimo, emang siapa yang mengatakan, bahwa Mbak ini bukan kakak kandung mu?" desak ku, dengan tangan mengepal.

"Pak ustadz," ucap Bimo sambil mendongak, "Emang Mbak berani,cabik-cabik Pak ustadz?" tanyanya polos.

"Hak." Aku termangu kenapa pak ustadz mengatakan itu, mana berani aku mendamprat guru ngaji ku, bisa-bisa aku di kutuk karena menjadi murid durhaka, aku menggeleng pelan sambil tersenyum kaku.

 "Bimo, apa yang sudah pak ustadz katakan sama kamu?" Aku mengguncang pundaknya.

"Kata pak ustadz, kalau kita berangkat ngaji, kan kita selalu berpegangan tangan, sambil memeluk Al-Qur'an, Mbak kan sudah baligh, nah kalau nanti, jika aku sudah akhil baligh, kita kalau bersentuhan batal wudhu nya, karena bukan sodara kandung, jadi kalau kita batal wudhu nya haram memegang Al-Qur'an!" terangnya begitu enteng.

"Oh, gitu ya, kapan pak ustadz ngomong seperti itu?" Aku manggut-manggut.

"Kemaren malam, pas Mbak di luar majelis, lagi nungguin aku baca hafalan, Pak ustadz bilang sama aku, kalau kita ini saudara angkat," terang Bimo.

"Bimo, tapi Mbak gak menganggap kamu seperti Adik angkat, Mbak menganggap kamu, sebagai Adik kandung Mbak sendiri,"

"Tapi, aku cinta sama Mbak."

Hidih... Ya Tuhan bocah ini, apa yang ada di dalam isi kepalanya, kenapa dia mengatakan cinta, dari mana anak kecil seperti dia tau soal begitu?

Apa mungkin pengaruh dari teman-teman sepermainannya. Atau karena dia kebanyakan nonton FTV di saluran satu untuk semua.

"Ah Bimo, jangan ngawur kamu!" sergahku. "Kamu ini baru kelas empat SD, tau dari mana kamu tentang cinta?" lanjut ku, seraya mengacak rambutnya yang agak gondrong.

 Anak ini memang susah sekali jika aku menyuruhnya memangkas rambut, harus di bujuk dulu kadang dari pagi sampai sore.

Itu juga kalau berhasil, kalau tidak ya sudah, nunggu ketua kelasnya yang memotong rambut Bimo.

"Ya aku tau lah Mbak, arti cinta itu apa, tayangan di TV juga banyak, bahkan anak-anak sekolah banyak yang pacaran."

Wardaw ampun deh ah... Rasanya aku pengen ngunyah sirih terus ku semburkan sama Bimo biar dia sadar dari gurauannya.

"Astaghfirullaah, Bimo." Aku mengelus dada. "Ini udah malam, tidur sana! Besok bangun pagi, jangan lupa solat subuh, kamu udah gede, sudah wajib belajar solat!" sanggah ku, di tutup dengan cubitan di pipinya.

"Sakit!" Bimo mengelus bekas cubitan ku.

"Lagian," pungkas ku. 

Lebih baik aku segera pergi, menghindari perkataan dia yang belum pantas ia ucapkan.

Cinta dia bilang, aku aja belum tau itu cinta seperti apa, manis atau pahit, ataukah rasanya nano-nano, aku tak tau, karena aku masih jomblo, Bimo yang selalu melarang aku punya pacar.

"Mbak gak konsisten, tadi bilangnya aku masih kecil pas ngomong cinta, kenapa sekarang bilangnya aku udah gede ketika nyuruh aku sholat?"

"Kalau untuk cinta-cintaan, kamu memang masih kecil, belum umur, tapi kalau untuk belajar melaksanakan kewajiban, kamu sudah harus karena sudah mulai gede, belajar itu harus sedini mungkin, biar nanti ketika sudah dewasa jadi terbiasa, gak usah di suruh-suruh lagi untuk beribadah," ujar ku panjang kali lebar kaya danau Toba.

"Oh, kan aku juga rajin, ibadahnya Mbak,"

"Solat subuh, kamu jarang, apalagi hari Minggu, bablas tidur sampe jam sepuluh, udah tidur sana! Takut kesiangan!"

 Aku mengangkat kedua bahunya ke atas dan menggandengnya ke tempat tidur. Lalu aku menekan pundak Bimo agar dia merebah. 

"Mbak, aku belum ngantuk!" sergahnya.

"Jangan banyak protes! Tuh liat jam berapa?" ucapku mendongak seraya menunjuk ke arah jam dinding.

"Jam, setengah sepuluh Mbak,"

"Udah gak usah bantah!" Aku menyelimuti tubuhnya, lalu mencium keningnya sebagai rasa sayang kakak kepada adiknya.

"Ih, Mbak, galak!" protes Bimo, sembari mengerucutkan bibirnya.

"Tidur ya Dek, besok pukul setengah lima pagi, Mbak bangunin untuk solat bareng, sekarang Mbak juga mau tidur, udah ngantuk."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Adik Angkat   29

    Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb

  • Adik Angkat   Bab 28.

    Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m

  • Adik Angkat   Bab 27.

    POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba

  • Adik Angkat   Bab 26.

    "Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny

  • Adik Angkat   Bab 25.

    "Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,

  • Adik Angkat   Bab 25.

    "Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status