Share

Bab 0.6

Penulis: Winda
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-21 18:23:59

Lantunan adzan subuh berkumandang di Masjid yang letaknya tak jauh dari kediaman kami, jaraknya sekitar tiga puluh meter dari rumah ini.

 Aku mengerjap seraya mengucek mata, ku lirik jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah lims pagi, ku bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh muka lalu mengambil wudhu.

Setelah bersuci, ku buka lemari pakaian dan mengambil mukena yang berada di hanger, ku kenakan untuk menutupi seluruh aurat ku.

 Mukena sutra berwarna putih dengan bordir warna emas di setiap ujungnya, mukena ini peninggalan almarhumah ibu, aku selalu mengenakannya setiap aku menjalankan kewajiban yang lima waktu.

Aku menuju kamar Bimo, kamar kami berada di lantai dua letaknya berdampingan, ku buka kamar Adikku yang tak pernah di kunci sehingga aku mudah jika aku masuk ke kamarnya untuk membangunkan dia.

"Dek," ucapku sambil menekan saklar lampu, seketika ruangan itu menjadi terang.

 Matanya mengerjap karena silau dari cahaya lampu, Di tariknya selimut dan menutupi wajahnya, ku membungkuk, dan memegang pangkal dengkul Bimo seraya menggoyangkannya pelan, dengan tangan di lapisi kain putih yang membalut seluruh tubuhku.

"Dek, ayo bangun! kita solat subuh berjama'ah," seruku sambil menarik selimut yang menutupi tubuhnya.

"Emm," sahutnya bergumam.

"Bangun, kita solat subuh dulu! Nanti Mbak buatkan sarapan yang enak,"

"Bentar lagi Mbak, ini masih terlalu pagi, masih gelap,"

"Yang namanya solat subuh, ya pagi begini harus masih gelap, kalau siang namanya solat Dhuha,"

"Tapi aku masih ngantuk Mbak, duluan aja sana! Nanti aku nyusul,"

"Lah kamu, selalu itu alasannya, yang ada kamu lewatin sholatnya."

Tok, tok, tok, pintu di ketuk. Ku menoleh ke arah suara itu, ternyata Om Doni sedang berdiri di ambang pintu, dia sudah rapi dengan baju Koko putih dan sarung maroon motif batik, juga peci hitam pelengkap ibadah di kepalanya.

"Om, sini!" ucapku, melambai kecil. Om Doni menghampiri ku dengan langkah cepat.

"Iya ada apa?" sahutnya.

"Om, ini Bimo gak mau di ajak solat, dia gak bangun, katanya masih ngantuk, tolong ya Om bangunin dia!" rengek ku.

 Aku gak mau Bimo meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim, meski dia belum wajib menunaikannya karena dia belum baligh, namun ini harus di biasakan agar dia kedepannya menjadi anak yang baik dan rajin beribadah.

Aku sudah berjanji di hati ini, akan selalu membimbingnya di jalan yang benar, aku tidak mau jika dia sudah besar nanti banyak berbuat dosa dan meninggalkan kewajiban.

 Karena aku tidak mau menambah siksa'an orang tua Bimo di alam kubur, dengan menanggung dosa anaknya.

"Bimo, bangun! Kalau gak mau bangun, Om gak kasih uang jajan seminggu," tekan Om Doni dengan suara tinggi.

"Iya Om, aku bangun, bisanya ngancam mulu! sama kaya Mbak, kalian jahat sama aku!" umpatnya Bimo melepaskan selimutnya dengan kasar, dia beringsut menuju kamar mandi dengan mata memincing.

"Tia, Om tunggu di mushola ya! Kita solat berjama'ah, jangan lama-lama! Nanti keburu siang, waktunya gak banyak," ujar Om Doni, dia berlalu menuju mushola rumah kami.

"Iya Om," jawabku singkat. 

Tak lama Bimo keluar dari kamar mandi, dengan mata masih terkantuk-kantuk, meskipun wajahnya sudah basah dengan air wudhu.

"Dek, ayo kita susul Om Doni! Cepat pakai baju Kokonya, dan sarung, terus pecinya juga jangan lupa!" titah ku sambil menyodorkan benda yang di butuhkan anak polos ini.

Bimo meraih dan memakainya dengan gerak slow motion, bikin aku gemes pengen tak cubit dadanya yang menyembul akibat terlalu banyak ngemil.

"Yuk Mbak," ajaknya malas, lah dia emang malas.

Bimo berjalan di depanku dengan langkah gontai, jika di bandingkan dengan jalan kura-kura yang lambat, mungkin Bimo kalah cepat, dari hewan merayap itu.

 Dari pada kelamaan di jalan, karena terhalang langkah Bimo, bisa-bisa nanti kami kena ceramah Om Doni, lebih baik aku seret lengan bocah ini menuju ruang ibadah.

"Ayo cepetan! Jalan kok kaya putri keraton! ucapku sembari menggandeng lengan Bimo.

Kami sudah sampai di tempat yang di tuju, mushola kecil tempat ku dulu melaksanakan shalat berjama'ah dengan almarhumah ibu, pintu mushola ini berhadapan dengan kamarku.

Om Doni sudah menunggu kedatangan kami, dia duduk bersila di atas sajadah, nampaknya dia habis melaksanakan shalat sunah, ke-dua tangannya menengadah pertanda sedang berdo'a.

"Assalamualaikum?" ucapku duduk di belakangnya, berdampingan dengan Bimo.

Om Doni mengusap wajahnya, "Waalaikumsalam," sahut Om Doni, dia memutar tubuh mengadap kami. "Ayo kita mulai!" lanjutnya.

Dia melangkah ke arah kami menatap wajahku juga Bimo. "Hm." Om Doni mendehem. "Tia, itu benerin dulu mukenanya! ada anak rambut keluar di dahi kamu," ucapnya tanpa menunjuk.

"Bimo, benerin letak pecinya! agak naik ke atas, jangan sampai ada rambut, yang menutupi dahi kamu, kalau ada benda yang menutupi anggota sujud, nanti sholat kamu gak sah!"

Om Doni emang dia tau banyak hal, kadang aku kagum pada dia, eh tapi sekedar kagum ya, bukannya aku naksir, jangan salah sangka dulu. Dia beralih pandangannya ke wajahku.

"Nah, gitu Tia, cara yang benar mengenakan mukena, dahinya harus di buka lebar, tapi jangan sampai ada rambut yang keluar, aurat perempuan terbuka sedikitpun, sholatnya gak sah, berdirinya yang bener rapatkan kedua kakimu, dan jangan sampai telapak kaki terlihat sewaktu bersujud!" terangnya panjang lebar, aku makin kagum ilmu agama Om Doni tak di ragukan lagi, dia pantas jadi imam ku.

Ups, otak ku berselancar kemana-mana, itu calon laki orang Tia... Eling wey eling! Aku mengusap wajah menepis pikiran yang kurang asem.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Adik Angkat   29

    Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb

  • Adik Angkat   Bab 28.

    Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m

  • Adik Angkat   Bab 27.

    POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba

  • Adik Angkat   Bab 26.

    "Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny

  • Adik Angkat   Bab 25.

    "Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,

  • Adik Angkat   Bab 25.

    "Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status