Hari ini perasaan Alisha tak tenang. Besok sore papa dan mama Mas Tyo akan melamarnya pada bunda. Seharusnya Pak Yudha yang menerima lamarannya. Tapi Alisha masih merasa asing untuk mengakuinya. Siang nanti Mas Tyo akan mengajak Alisha ke luar. Alisha mencoba menyelesaikan pemeriksaan berkas-berkas yang ada di meja. Beberapa yang memerlukan tanda tangannya sudah lebih dahulu diselesaikan. Pak Hendra sudah datang untuk mengambil berkas yang sudah selesai. “Saya bawa berkas yang sudah selesai, Bu Alisha.” “Silakan Pak. Ada laporan lain yang harus saya cek?” “Bukan Bu, ini berkas pribadi Pak Angga. Minta diantarkan sekarang.” Alisha menanyakan apakah bisa dititipkan padanya saja. Nanti sepulang kantor baru disampaikan. Hendra menggelengkan kepalanya. Dia akan mengantarkan sendiri, karena minta secepatnya dibawakan. Alisha mengangguk. Pak Hendra tolong sampaikan pada Anita saya akan ke luar dengan Mas Tyo, jika ada yang ingin menemuinya minta ditunda besok. “Baik, Bu.” Beberapa pes
Pagi ini aku akan menghubungi Pak Yudha, menurut laporan Hendra sejak kemarin sudah di Jakarta. Kebetulan sekali, hingga aku tak perlu menyiapkan kedatangannya dari Singapura. Kucari nomor ponselnya dan melakukan panggilan. Tak lama suara di seberang terdengar mengucapkan salam. Aku membalas salamnya dan melanjutkan dengan menyampaikan permohonan bunda. “Pak Yudha sore ini apakah ada agenda penting? Bunda mengundang bapak ke rumah.” “Wah, kemarin saya baru membuat agenda untuk sore ini. Ada acara apa? Aku terdiam. Memang salahnya tidak memberitahukannya lebih dulu. Pak Yudha ke Jakarta pasti ada urusan bisnis yang mendesak. Bagaimana ini? Di seberang sana, Pak Yudha menahan senyumnya. Karena acara yang dimaksud Angga pastilah acara yang sama yang akan didatanginya. “Maaf pak, apakah bisa acara sore nanti dijadwalkan kembali dan bapak datang ke rumah?” “Saya tidak bisa mengingkari janji. Seandainya lebih dahulu menghubungi, mungkin saya masih bisa melakukan jadwal ulang.” Aku be
Waktu seakan cepat berlalu, tiga hari ini persiapan pernikahannya diurus. Mulai dari melakukan pertemuan dengan Event Organizer yang akan mewujudkan konsep pernikahan kami, sampai mengurus administrasi di Kantor Urusan Agama. Ayah menepati janjinya untuk membantu persiapan pernikahan. Bahkan urusan Persada mau tak mauTyo meminta bantuan ayah. Saat ini Shabra Desain juga sedang menangani kontrak dengan sebuah kantor baru. Waktunya sebagian besar tercurah untuk menyelesaikan kontrak tersebut dengan membuat sesuai permintaan. “Pak Bram, ada surat dari Pak Candra.” Sari menyerahkan surat yang ditujukan pada CEO Shabra Desain, kemudian kembali ke mejanya. Tyo membukanya dan membacanya. Pak Candra ingin mempercepat kerja sama ini. Waktu yang awalnya lima bulan, kini minta diselesaikan dalam waktu tiga bulan saja. Jika tidak menyanggupi maka mereka akan memutuskan kontrak dan akan membayar penalti pembatalan kontrak. Dia heran, mengapa pemberitahuannya terkesan mendadak. Sesuai kesepakata
Selepas salat subuh, Tyo memeriksa pesan pada ponselnya. Ayah memintanya menunggu kabar sebelum rapat nanti. Pagi ini rapat akan diadakan pukul sepuluh semoga ada kabar baik. -Ayah sudah bicara dengan Radinka, dia tidak mengenal Candra.- -Tapi ayah mendapat ide untuk proyek ini.- -Ayah akan ke kantormu nanti sebelum rapat.- Tyo tersenyum membaca pesan ayah. Puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tak salah jika dia harus belajar pada ayah. Dia akan berusaha maksimal dalam proyek ini. Tyo membalas pesan ayah jika dia akan menunggunya di kantor. Dipesannya sarapan melalui aplikasi di ponsel, sambil menunggu pesanan datang dipersiapkan semua keperluan rapat. *** “Bagaimana Tyo? Ayah rasa ini saling menguntungkan.” “Benar ayah, tapi sebelumnya aku harus tahu progres yang sudah kami lakukan. Aku tidak mau gegabah mengambil keputusan.” “Oke, ayah tunggu kabar ya. Oh ya siang ini jadi menemui EO? Ayah saja yang jemput Alisha dan bundanya,” ujar ayah meminta persetujuanku. Tyo menga
Aku mencoba menepis semua perasaanku padanya. Langkahku berhenti tepat di hadapannya. Alisha langsung menubrukku dan memeluk dengan erat. Kudengar isak tangis yang ditahannya. Kupererat pelukanku. Mungkin ini adalah pelukan pertama dan terakhir semenjak rasa itu membayangi. Kucoba mengatur deru napasku agar degupan dadaku berkurang. Beberapa saat berpelukan, Alisha mulai mengendurkan pelukannya. Aku pun melepaskan pelukanku. Mundur selangkah agar memberi jarak di antara kami. “Sha, lebih baik kamu lanjutkan tidur. Biar cukup istirahatnya. Tidak ada agenda keperluan kantor kan?” “Tidak mas, paling antar mas saja ke bandara.” Alisha mencoba tersenyum. Walau aku tahu senyum itu dipaksakan. Kini Alisha sudah tak secengeng dulu. Tyo berhasil membuatnya dewasa. “Alisha kembali ke kamar ya mas. Mas juga istirahat.” Aku mengangguk. Setelah punggung Alisha menghilang masuk dalam kamarnya, aku beranjak menuju kamar. Saat kakiku hampir sampai di lantai atas, sepasang mata menatapku dengan l
Saat ini aku hanya bisa berdiskusi dengan Hendra, Angga sudah menentukan jalannya. Laporan dari David harus ditindak lanjuti. Apakah Sari memang pelakunya? Pada rekaman CCTV tak terlihat jelas pelakunya. Sepertinya mereka mengetahui letak CCTV, sehingga tidak banyak membantu penyelidikan. Kukirim pesan pada Hendra terkait keberangkatan ke Bandung. -Hendra coba samakan jadwal Alisha dengan jadwal saya pada Pak Adit, saya ikut ke Bandung.- Pesan yang kuketik sudah centang biru dan Hendra masih online. Aku menunggu balasnya untuk memastikanya. -Baik, Pak. Saya sedang mengatur pengamanan di Bandung. Pak Angga menghubungi saya terkait laporan Pak David.- -Pak apakah saya harus menyelidiki Sari.- Ternyata Angga juga sudah mengetahuinya. Ayah pasti tak ingin putri kesayangannya menjadi sasaran balas dendam dari masa lalunya. Sari, kenapa harus dia. Apakah aku harus memecatnya setelah mengetahui ini? Semua kegiatanku diatur olehnya selama ini. Tindakannya juga tak ada yang mencurigakan.
Perjalanan ke Bandung kali ini sangat singkat, dua hari dengan agenda yang padat. Sesampainya di sana, aku langsung menyelesaikan kontrak dengan Persada untuk kerja sama dengan Pusat Perbelanjaan. Mas Tyo sebagai komisaris mengambil kesempatan untuk mengadakan rapat dengan Dewan Direksi. David sudah mengurusnya agar semua anggota dewan dapat hadir. Mereka membahas kemungkinan untuk memberikan jabatan padaku karena sesuai dokumen, kepemilikan Persada adalah atas namaku. Jika nantinya akan tetap ada Mas Tyo, maka akan dikukuhkan setelah pernikahan. Alisha sendiri belum memutuskan apa pun. Persiapan pernikahan cukup membuatnya tak memiliki kesempatan beristirahat. Jabatan CEO di Anugerah sudah membuat jadwalnya cukup padat. “Bagaimana Bu Alisha?” Alisha memandangi Mas Tyo meminta bantuan untuk menjawabnya. David yang memahami kesulitanku, akhirnya memberikan jawaban. “Saat ini Bu Alisha sedang mempersiapkan pernikahannya, sekarang bukan waktu yang tepat. Kita akan agendakan pembahas
Alisha sangat kesal. Mas Angga benar-benar sudah tak menyayanginya lagi. Saat dicoba memejamkan matanya untuk beristirahat, namun tak berhasil memejamkan matanya. Kenangan mengenai masa lalu melintas. Dahulu Mas Angga sangat perhatian pada Alisha. Tak boleh satu orang pun yang menyakitinya. Namun kini, Mas Angga seakan tak peduli apalagi besok dia akan menikah.. Suara dering telepon membuyarkan lamunannya. Mas Tyo, pasti Mas Angga sudah memberitahu jika dia marah dan mengancamnya. “Iya mas, ada apa?” “Kok galak begitu sih sama calon suami. Sha, temenin mas ambil jas ya. Sepuluh menit lagi mas sampai. Ini sudah di jalan.” “Loh, mas. Alisha belum siap-siap.” “Sudah cantik, pastinya. Habis zuhur langsung berangkat. Kita makan di luar saja ya.” Telepon dimatikan oleh Mas Tyo, diletakkan ponsel di nakas. Duduk sejenak di pinggir tempat tidur, kemudian beranjak ke kamar mandi untuk berwudu. Saat azan berkumandang, diambil mukena dan mulai bersiap salat. Mas Tyo sampai setelah m