Alya Pramesti hanyalah seorang gadis desa berusia 19 tahun, yang datang ke kota dengan mimpi sederhana: melanjutkan kuliah, membanggakan ibunya, dan menulis puisi tentang kehidupan. Hidupnya di desa penuh kesucian—senja, doa, dan ladang padi yang menguning. Namun kota ternyata bukan panggung keindahan, melainkan labirin yang keras dan kejam. Biaya kuliah yang menunggak, kos yang hampir jatuh tempo, dan kabar bahwa ibunya jatuh sakit membuat Alya terdesak. Semua lamaran pekerjaan ditolak karena dianggap tak berpengalaman, hingga akhirnya ia berada di persimpangan jalan: menyerah pada mimpinya, atau mengorbankan sesuatu yang paling berharga—kesucian yang ia jaga sejak kecil. Dengan hati hancur, Alya memilih jalan yang tak pernah ia bayangkan: ia rela melepaskan keperawanannya demi bertahan hidup. Malam itu mengubah dirinya selamanya—antara rasa bersalah, kehilangan, dan kenyataan pahit bahwa kota bisa merenggut apa saja, bahkan yang paling suci. Di tengah luka itu, hadir Aditya Mahendra—seorang pria tampan dari kampus, dingin namun romantis, yang mampu membuat Alya kembali merasakan getar cinta. Namun cinta bukanlah pelarian, sebab rahasia kelam masa lalu Alya membayanginya setiap saat.
view moreLangit kota malam itu seperti menyimpan rahasia yang tak pernah ingin diungkapkan. Lampu-lampu jalan berpendar kuning pucat, membentuk bayangan panjang di trotoar yang basah oleh gerimis. Suara kendaraan terus menderu, seolah menjadi saksi bisu betapa kejamnya dunia bagi mereka yang datang hanya dengan mimpi dan doa.
Alya Pramesti duduk di tepi ranjang kos kecilnya. Matanya menatap kosong pada tembok lembab yang mulai mengelupas catnya. Surat tagihan kos tergeletak di meja: dua minggu lagi ia harus melunasi biaya, atau ia akan diusir. Ditambah kabar dari desa—ibunya jatuh sakit dan butuh biaya pengobatan segera.
Hatinya seperti diremas.
Selama beberapa bulan terakhir, ia sudah mencoba mencari pekerjaan: di kafe, di toko buku, bahkan menawarkan jasa mengetik. Semua berujung penolakan. “Maaf, kamu belum punya pengalaman.” “Kamu masih terlalu polos.” Kata-kata itu menghantuinya.
Siska, teman sekos yang hidupnya lebih bebas, sudah lama memberi saran:
“Alya, kota ini nggak akan menunggu sampai kita siap. Kalau kamu mau bertahan, kadang kamu harus mengorbankan sesuatu. Kesucianmu nggak akan bisa bayar kos, ngerti?”
Alya marah saat itu, merasa sahabatnya terlalu kejam. Tapi malam ini, kata-kata itu kembali terngiang, seperti racun yang meresap perlahan ke dalam darahnya.
Di luar kamar, suara hujan makin deras. Alya menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia ingin berteriak, tapi yang keluar hanya bisikan doa lirih.
“Ya Allah… aku harus bagaimana? Kenapa jalan-Mu terasa begitu gelap untukku?”
Air mata jatuh, membasahi pipinya. Ia memeluk buku catatan puisinya—satu-satunya harta yang ia bawa dari desa. Halaman terakhir sudah penuh dengan tulisan getir: tentang kota yang dingin, tentang rindu pada ibunya, tentang rasa takut kehilangan diri sendiri.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari seorang manajer kafe malam yang sempat ia temui tempo hari:
“Kalau kamu benar-benar butuh kerja, datanglah malam ini. Tapi kamu tahu syaratnya.”
Alya menutup mata rapat-rapat. Ia tahu betul apa maksud dari “syarat” itu. Jantungnya berdegup keras, tangannya gemetar. Dunia seakan mengepungnya, memberi dua pilihan: tenggelam dalam kemiskinan, atau menyerahkan sesuatu yang paling ia jaga sejak kecil.
Dan malam itu, dengan langkah tertatih, ia memilih yang terakhir.
Kafe malam itu penuh asap rokok dan dentuman musik rendah yang menghantam dada. Lampu-lampu remang membuat semuanya tampak seperti mimpi buruk. Alya melangkah pelan, tubuhnya kaku, tatapannya tertunduk.
Seorang pria paruh baya menyambutnya di meja sudut, dengan senyum yang membuat darahnya berdesir ketakutan. Di depannya tergeletak segelas minuman berwarna merah gelap.
“Kamu cantik, lebih cantik dari yang kubayangkan,” katanya dengan nada puas.
Alya menggigit bibir. Semua syaraf dalam tubuhnya menjerit untuk lari, tapi langkahnya seakan terkunci. Ia teringat wajah ibunya yang pucat di ranjang sakit. Ia teringat surat tagihan kos yang menunggu di meja. Ia teringat mimpinya yang bisa lenyap seketika bila ia menyerah sekarang.
Dan ia pun duduk.
Pria itu mengulurkan tangan, menyentuh jemarinya. Rasanya seperti bara yang membakar kulit. Jantungnya berdebar, kepalanya berputar.
“Aku bukan Alya lagi setelah malam ini…” bisiknya dalam hati.
Malam itu berjalan lambat, seperti pisau yang menyayat perlahan. Setiap menit terasa seperti hukuman. Alya ingin menutup mata, tapi setiap detik justru menggoreskan luka yang takkan pernah hilang.
Dan ketika semuanya berakhir, ia hanya bisa menatap langit-langit kamar hotel murah itu, tubuhnya kaku, hatinya hancur. Air mata tak lagi keluar—seolah sudah habis. Yang tersisa hanya kehampaan.
Ia bangkit perlahan, meraih bajunya yang tergeletak di kursi. Tangannya gemetar saat memakainya kembali. Lalu ia melihat amplop di meja, penuh dengan lembaran uang. Harganya terlalu mahal: bukan sekadar uang, melainkan kehormatannya sendiri.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil amplop itu.
“Ma… aku sudah lakukan ini untukmu. Untuk kita… tapi kenapa rasanya aku justru kehilangan segalanya?”
Suara hatinya tenggelam dalam keheningan.
Ketika Alya keluar dari hotel itu, hujan sudah reda. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu kota, seakan mengejek langkahnya yang goyah. Di setiap jejak kakinya, ada rasa malu, ada rasa hancur, ada rasa bersalah yang tak mungkin bisa dicuci oleh waktu.
Ia berjalan pulang ke kos, memeluk erat tas kecil berisi uang. Tapi dadanya sesak, seolah udara pun enggan bersahabat.
Sesampainya di kamar, ia menjatuhkan diri ke ranjang, memeluk bantal, dan menangis tanpa suara. Malam itu menjadi garis pemisah: antara Alya yang dulu, gadis desa polos penuh mimpi, dengan Alya yang baru—gadis kota yang telah kehilangan kesucian demi bertahan hidup.
Dan di dalam tangisnya, hanya satu kalimat yang berulang kali ia bisikkan:
“Aku sudah hancur… tapi aku harus tetap hidup.”
Di meja, amplop berisi uang itu masih tergeletak, menjadi saksi bisu keputusannya semalam. Alya menatapnya dengan pandangan kosong. Uang itu bisa membayar kos, bisa membantu biaya pengobatan ibunya. Namun, setiap lembar terasa seperti noda yang menempel pada jiwanya, noda yang tak akan pernah bisa dicuci.
“Apa aku masih bisa menatap wajah ibu dengan jujur?” pikirnya.
“Apa aku masih pantas menyebut diriku suci?”Dadanya sesak. Ia memeluk bantal erat-erat, berharap bisa menghapus rasa hancur itu, tapi justru semakin kuat ia memeluk, semakin dalam luka yang ia rasakan.
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Alya… kamu bangun?” suara Siska terdengar dari luar.
Dengan langkah lemas, Alya membuka pintu. Siska berdiri dengan wajah cerah, rambutnya diikat tinggi, aroma parfum menyengat. Matanya langsung jatuh pada amplop di meja.
Senyum tipis melintas di wajahnya.
“Akhirnya… kamu berani juga.”
Alya terdiam, hatinya seperti ditusuk. “Siska… jangan bilang begitu. Aku merasa kotor.”
Siska masuk, duduk di ranjang, dan menepuk bahunya. “Dengar, Ly. Kota ini nggak peduli sama kesucian. Kalau kamu mau bertahan, kamu harus rela. Aku tahu rasanya nggak enak, tapi nanti kamu akan terbiasa. Yang penting kamu bisa hidup.”
Air mata Alya jatuh lagi. “Tapi aku… aku nggak bisa melupakan apa yang terjadi. Aku merasa seperti mati di dalam.”
Siska menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan mata yang entah dingin atau realistis. “Kalau kamu terus larut, kota ini akan melumatmu habis. Ingat tujuanmu ke sini. Ingat ibumu. Uang itu bisa menyelamatkan dia.”
Alya terdiam. Kata-kata Siska benar, tapi hatinya menolak. Ia ingin berteriak, ingin kembali ke desa, ingin memutar waktu. Tapi semuanya sudah terlambat.
Hari itu, Alya tetap memaksakan diri pergi ke kampus. Tubuhnya berjalan, tapi jiwanya tertinggal di malam sebelumnya.
Lorong kampus dipenuhi suara tawa mahasiswa, riuh pembicaraan, dan denting sepatu. Namun bagi Alya, semua terdengar jauh, seperti gema dalam gua kosong. Ia menunduk, menghindari tatapan orang-orang, takut ada yang bisa membaca rahasia kelam di matanya.
Di perpustakaan, ia duduk sendiri di sudut. Buku terbuka di hadapannya, tapi pikirannya melayang. Kata-kata di halaman hanya menjadi goresan hitam yang tak berarti.
“Aku harus kuat. Aku tidak boleh hancur. Semua ini demi ibu.”
Namun air mata tetap jatuh, membasahi halaman buku. Ia buru-buru menghapusnya, tapi tak sempat saat seseorang datang menghampiri.
“Maaf, kursi ini kosong?” suara berat namun lembut terdengar.
Alya mendongak. Seorang pria berdiri di hadapannya, tinggi, berwajah tegas dengan mata tajam namun penuh kehangatan. Kemeja putihnya rapi, senyum tipisnya terukir natural. Ia adalah Aditya Mahendra—mahasiswa hukum yang sering disebut-sebut karena kepintaran dan ketampanannya.
Alya tergagap. “E-e… iya, silakan.”
Aditya duduk, meletakkan buku tebal di meja. Pandangannya sempat jatuh pada wajah Alya yang sembab. “Kamu… nggak apa-apa? Kayak habis nangis.”
Alya buru-buru menunduk. “Nggak, cuma… kurang tidur.”
Aditya tidak banyak bertanya lagi, hanya tersenyum tipis dan membuka bukunya. Tapi entah kenapa, Alya merasakan sesuatu di dadanya. Ada kehangatan kecil, meski samar. Seperti cahaya redup di tengah gelap.
Namun kebahagiaan kecil itu hanya sekejap. Saat pulang ke kos, amplop itu kembali menyambutnya.
Ia menatapnya lama, lalu mengambil buku catatan puisinya. Tangannya menulis dengan gemetar:
“Malam merenggut yang suci,
meninggalkan luka di balik kulit.
Aku berjalan di kota yang asing,
membawa tubuh yang utuh,
namun jiwa yang telah retak.”Air mata menodai kertas. Alya menutup bukunya, menggenggam erat di dada.
Hari itu, ia sadar: ia tidak lagi gadis yang sama. Kota telah mengambil sesuatu darinya, dan tak akan pernah mengembalikannya.
Malam menjelang lagi. Alya berbaring sambil menatap langit-langit, berusaha memejamkan mata. Tapi setiap kali ia terlelap, bayangan malam itu kembali—tatapan dingin, sentuhan yang tak diinginkan, suara yang membuat darahnya membeku.
Ia terbangun dengan keringat dingin. Dadanya berdegup cepat. Ia menutup wajah dengan kedua tangan dan berbisik lirih:
“Tuhan… bagaimana aku harus hidup dengan semua ini?”
Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar.
Dan di dalam hening itu, Alya tahu: perjalanan panjangnya baru saja dimulai.
Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?Sepu
Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu t
Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”Mereka berdua me
Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Adit
Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya h
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments