Okta dan Melisa sudah berada di rumah mereka sendiri, lebih tepatnya di rumah kedua orang tua Okta. Sebelum menikah memang Okta mengatakan dia ingin keduanya tinggal di rumahnya karena tidak ada yang mengurus kedua orang tuanya.
Okta dua bersaudara. Satu Adik laki-lakinya masih menempuh pendidikan di luar Negri yang pastinya tidak berada di rumah. Kalau pulang pun hanya sesaat saja. Melisa menyanggupi karena di rumahnya sudah ada Rani yang akan mengurus kedua orang tua mereka. Namun, kejadian hari ini benar-benar membiat dirinya merasa syok. Keduanya tengah berbaring di atas ranjang, menatap ke atas dengan pikiran yang bercabang. "Kenapa kamu diam saja sejak tadi, Mas?" tanya Melisa pada suaminya. Dia tahu kalau Okta belum tidur sejak tadi. Terdengar helaan napas dalam dari Okta. Pria itu melipat tangan di atas perutnya. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Melisa. Ini ... Ini terlalu mengejutkan bagiku," ujarnya kemudian. Melisa malah merasa aneh dengan suaminya ini yang sejak tadi terus memberi jawaban itu. Dia pun mengubah posisinya menjadi menghadap ke arah Okta. "Sejak tadi kamu mengatakan itu, Mas." "Ya karena aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kamu tanya mendapat aku, dan aku memang tidak bisa berkomentar." Okta menekan kata-katanya. "Sekarang aku tanya sama kamu. Menurut kamu, apa yang dikatakan atau dilakukan Rani tadi benar?" tanyanya kemudian. Okta terdiam beberapa saat. "Kalau kamu tanya seperti itu, kita tahu kalau kita tidak bisa melihat sesuatunya hanya dari satu sisi, kan?" Bukannya memberi jawaban malah memberi pertanyaan kembali. "Aku tanya ke kamu dari sisi kamu yang seorang pria beristri, Mas. Jangan muter-muter dan jawab saja." Kali ini Melisa kembali bertanya dan menjurus pada satu hal. Okta tak langsung menjawab, dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Hingga beberapa saat kemudian dia pun menjawab, "Salah." Pertanyaannya kenapa harus memakai jeda untuk menjawab? "Semoga kamu berpegang teguh dengan jawaban itu." Setelah mengatakan itu, Melisa pun memejamkan mata dan mulai untuk tidur. Okta menatap istrinya yang sudah memejamkan mata. Dia seperti memikirkan sesuatu dan setelahnya membalikkan badan untuk memeblakangi Melisa. Tidak tahu saja setelah dia melakukan itu, Melisa kembali membuka mata menatap punggung suaminya. "Apakah ini ujian rumah tanggaku?" Tentu saja itu pertanyaan yang terucap di dalam hati Melisa. *** Pagi ini, Okta dan Melisa tengah menikmati sarapan mereka di ruang makan bersama kedua mertuanya ketika tiba-tiba ponsel milik Melisa berbunyi. Dia melihat nama sang mama yang memanggil. Segera menggeser tombol hijau, dia menempelkan ponsel di telinga. "Ya, Pa." "Melisa." Suara mamanya terdengar memburu. Kening Melisa pun mengerut. "Ada apa, Ma? Kok suara Mama seperti sedang panik begitu?" tanyanya kemudian. "Adik kamu, Mel. Adik kamu." Suara tabgis mulai terdengar. "Ada apa dengan Rani?" "Rani masuk rumah sakit," ujar seseorang di seberang sana. "Apa?" Malisa langsung bangkit dari tempat duduknya. *** Bersama Okta, Melisa langsung menyusul keluarganya ke rumah sakit. Mereka mencari keberadaan kedua orang tua Melisa. "Ma," panggil Melisa ketika melihat keberadaan mamanya. "Melisa." Keduanya berpelukan. "Apa yang terjadi, Ma? Kenapa tiba-tiba Rani bisa masuk rumah sakit?" tanya Melisa dengan khawatir. Riyanti menggeleng. "Mama tidak tahu. Tadi Mama ke kamar Riyanti karena sampai siang dia tidak bangun. Waktu mama ke kamarnya, mama melihat dia tidak sadarkan diri dengan lengannya yang penuh akan darah. Sepertinya ... sepertinya dia mencoba bunuh diri," ujar Riyanti dengan mengakhiri ceritanya dengan tangisan. Terlihat Bagus yang baru datang dari ngurus administrasi. Okta yang melihat pun langsung bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?" Bagus terlihat mengembuskan napas kasar. "Sepertinya Rani mencoba bunuh diri," ujarnya kemudian. Baik Okta dan Melisa terkejut dengan hal itu. Tak lama, seorang dokter keluar dari ruangan. Dia menemui keluarga pasien dengan membuka masker untuk memberitahukan kondisi. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Riyanti kemudian. Perempuan itu tidak sabar untuk mengetahui kabar baik anaknya. "Syukurlah kalian cepat membacanya kemari. Kalau terlambat sedikit saja. Mungkin kita akan kehilangan dia," ujar sang dokter yang semakin membuat mereka syok. "Lukanya terlalu dalam. Tapi kami sudah merawatnya. Pasien akan kami pindahkan ke ruang rawat," ujar sang dokter kembali. *** Semua sedih akan kondisi dari Rani. Perempuan itu terlihat tidak berdaya dan hanya terbaring di atas brankar dengan mata terpejam. Bibirnya terlihat pucat. "Kamu kenapa sampai melakukan ini, Nak. Ada apa sama kamu?" tanya Riyanti dengan sedih. Dia menangis di samping brankar putrinya. Meski dia tahu Rani tidak akan merespon apa yang dia katakan, tetap saja Riyanti terus mengajaknya bicara. "Sudah, Ma. Jangan menangis terus. Ingat kesehatan kamu. Toh Rani juga sudah tidak apa-apa, kan?" Bagus menasihati istrinya. "Gimana mama tidak menangis, Pa? Rani Belum bangun juga sejak tadi pagi." "Nanti dia juga pasti bangun." Bagus kembali berujar. Okta dan Melisa hanya menatap keduanya dengan menghela napas dalam. Belum juga berhenti perdebatan mereka, suara serangan membuat mereka menoleh ke arah Rani. Terlihat perempuan itu yang mulai sadar dan membuka mata. "Rani? Rani kamu tidak apa-apa?" Tanya Riyanti yang merasa tidak sabar dengan kondisi putrinya. "Ma---Mama," panggil Rani dengan suara berbisik. Riyanti pun mengangguk. "Iya, Nak. Iya. Ini Mama." "Sabar, Ma. Jangan diajak Bicara banyak dulu Raninya. Dia baru saja sadar," ujar Melisa pada mamanya. Sayangnya, Riyanti tidak menghiraukan itu. Dia tetap mengajak anaknya berbicara dengan alasan khawatir. "Kenapa kamu sampai melakukan ini? Kenapa kamu sampah menyayat pergelangan kamu itu? Kamu tahu, kan itu bahaya? Mama sampah takut tadi," ujar Riyanti dengan perasaan campur adik. Takut dan juga khawatir. "Ma---maaf, Ma." Riyanti berujar lirih "Maaf-maaf saja kamu ini. Kamu Tidak tahu berapa takutnya mama tadi." Riyanti memarahi putrinya. "Ma. Sudah. Kasihan Rani kalau Mama banyak bicara," ujar Bagus. "Biarin, Pa. Mama ini sedang marah sama Rani. Dia sudah melakukan hal bodoh yang membahagiakan nyawanya tadi." Di sela air mata yang terus berjatihan, dia melotot menatap tajam Rani. Rani tersenyum tipis. "Maaf, Ma. Maaf kalau Rani membuat Mama takut. Rani hanya merasa hidup Rani tidak ada artinya lagi," ujar Rani kemudian. "Kamu bicara apa? Jangan sembarangan kamu itu." Riyanti kembali menegur Rani. "Rani hanya merasa Rani sudah tidak memiliki semangat hidup lagi. Setelah apa yang Rani inginkan tidak tercaoai, rasanya Rani tidak bersemangat lagi." Rani berujar dengan bola mata berkaca. "Kamu bicara apa?" Riyanti kembali menangis. Rani menatap Melisa. "Maaf atas permintaan aku semalam, Kak. Maaf atas perasaan aku yang salah untuk Kak Okta. Untuk itu, biarkan aku mati saja karena aku tidak sanggup hidup kalau hanya mencintai Kak Okta tanpa bisa memilikinya," ujarnya yang sudah menjatuhkan air matanya. "Apa?" bisik Melisa. "Jadi, kamu berniat mengakhiri hidup kamu karena hal semalam?" tanya Okta pada Rani. Rani hanya mengangguk dalam tangis. Tiba-tiba--- "Baiklah. Kita akan menikah," ujar Okta kemudian yang mampu membuat semua orang melotot di ruangan itu.Melissa yang mendapat laporan dari Irit pun merasa bingung. Perempuan itu mengerutkan kening pertanda berpikir. "Seingat aku ini bukanlah hari di mana aku dan dia harus mengecek lokasi pekerjaan."Namun, Argo menepuk pundaknya dan membuat mereka saling tetap. Argo meggangguk. "Temuilah dulu. Toh pekerjaan kita selesai bukan? Aku akan pulang lebih dulu," ujar pria itu kemudian.Melissa mengangguk. "Baikkah."Dia menatap Irin. "Minta saja dia masuk," ujar Melisa kemudian."Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Argo. pria itu berpamitan lalu keluar dari ruangan Melisa.Di depan ruangan, dia berpapasan dengan Kafka. Keduanya hanya saling mengangguk tanpa berbicara lalu melanjutkan langkah.Kafka sendiri langsung memasuki ruang Melissa. "Selamat siang.""Siang. Duduklah," ujar Melisaa dengan menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya.Kafka pun mengangguk, pria itu duduk dan berhadapan dengan Melissa "Ada apa? Bukankah hari ini bukan jadwal kita untuk meninjau lokasi?" tanya Me
Suasana ruangan tempat Melissa dirawat tampak akwward. kedatangan Keluarga Kafka membuat Tuan Bagus tidak menyukai hal itu. Namun, adanya campur tangan Kafka dalam menyelamatkan Melissa membuat pria tua itu tidak bisa mengusir mereka yang datang.Windi mendekati Melissa. Perempuan itu tersenyum tipis dan berdiri di samping brankar mantan menantunya. Dia meraih tangan Melissa dan menggenggamnya."Kabar kamu bagaimana?" tanya Windy dengan suara pelan.Melissa pun tersenyum tipis. "Baik, Tante."Windi yang mendengar itu sedikit merasa tercubit hatinya, karena rasa sakit ini. Beberapa waktu lalu Melisa masih memanggilnya dengan sebutan Mama, tapi kini tak ada lagi panggilan itu.Melissa sudah memanggilnya dengan sebutan Tante. Windi menarik nafas dalam. "Syukurlah," ujarnya kemudian.Namun, ada ekspresi sedih yang dipasang perempuan itu. "Maafkan Okta, ya sudah merepotkan kamu. Maaf kalau Okta sudah membuat kamu seperti ini," ujar perempuan itu. Dia mengelus punggung tangan Melissa yang s
"Kami berhasil menyelamatkan Melissa dan saat ini Kak Okta sudah ditahan oleh polisi," ujar Kafka lebih jelas.Windi yang mendengar itu meremas tangannya. Ada rasa lega kalau Kafka mengatakan jika mereka berhasil menyelamatkan Melissa. Namun, ada rasa sedih juga ketika mendengar putra pertamanya kini sedang dalam penjara.Jujur saja dia merasa tidak tega terlepas bagaimana parahnya sikap anaknya itu selama ini."Mama sedih?" tanya Kafka yang melihat ekspresi mamanya.Windi langsung tersenyum sedikit samar. "Tidak," jawabnya kemudian. Meskipun perempuan itu mengatakan tidak, Kafka tahu benar bagaimana perasaan mamanya. Dia meraih tangan Windi dan menggenggamnya dengan erat."Kafka tahu Mama sayang sama Kak Okta. Sama seperti mama sayang pada Kafka. Kami tahu itu. Tapi, apa pun itu Kak Okta harus mendapatkan hukumannya. Dia harus menjalani itu semua. Itu adalah risiko dari apa yang sudah dia lakukan." Kafka mencoba menjelaskan."Iya Mama tahu," ujar Windi seperti seseorang yang frustas
Kejadian itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan semua orang. Kini, semua mata tertuju pada dua pria yang kali ini sedang beradu mekanik. Okta yang sempat mengambil pisau kecil dari saku celananya sempat melukai lengan pria yang tidak dikenal dan mencampuri urusannya itu."Lisa," panggil Argo lirih. Dia pun berlari cepat untuk mendekati Melissa."Melissa," panggil Argo sekali lagi ketika berada di samping perempuan itu."Argo," panggil Melissa dengan suara takut. Perempuan itu langsung memeluk Argo dengan erat."Aku takut," ujarnya kemudian.Argo membelai kepala Melissa dengan lembut. "Tenang. Kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang," ujarnya kemudian."Bawa dia menjauh," ujar Kafka menatap Argo.Argo pun mengangguk. "Ayo kita menjauh dari tempat ini," ujarnya pada Melissa.Melissa pun mengangguk lalu mengikuti langkah Argo untuk berada di tempat yang aman.Kafka yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Sedih pastinya, karena dia melihat kemesraan antara Argo dan juga Melissa. Namun, di
"Diam!" bentak Okta kemudian. Dia merasa kesal karena mobilnya tidak bisa dikendalikan.Dan kini Melissa yang sudah sadar. "Apa yang kamu lakukan, Okta? Apa yang terjadi?" tanya Melissa bertubi-tubi. Dia tidak peduli jika Okta marah dan memintanya untuk diam.Hingga sebuah sirine dia dengar. Melissa langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca mobil. Dia melihat beberapa mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari keberadaan mobilnya. "Polisi," ujarnya penuh dengan rasa senang.Dia merasa bahwa dirinya akan selamat dari tragedi ini. Melisa pun mencoba untuk membuka pintu mobil yang tertutup. Namun, tidak bisa. "Buka pintunya, Okta," ujar Melissa kemudian dengan mencoba, terus mencoba disertai tatapannya yang begitu tajam ke arah Okta."Tidak. Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu harus tetap sama aku," ujar Okta Yang sepertinya tidak tahu jika nasibnya sudah berakhir."Kamu sudah terkepung Okta. Kamu tidak bisa lari. Lebih baik menyerah saja. Kamu tidak melihat begitu banyak poli
Okta langsung membanting ponsel miliknya k atas ranjang. Dia pun bangkit dari duduknya sembari meraih tangan Melissa. "Ayo," ujarnya dengan ekspresi yang menunjukkan kepanikan.Melisaa yang tida tahu apa yang terjadi pun menatap Okta dengan bingung. "Ayo?" tanyanya kemudian."Iya ayo. Cepat kita pergi." Okta kembali berujar. Kali ini dengan sedikit menarik tangan Melissa.Melisaa yang masih belum paham pun tetap pada posisinya. "Pergi? Pergi ke mana? Makanannya kan belum habis," ujar Melissa dengan menunjuk ke arah mangkuk miliknya yang masih teleihat banyak.Okta menggeram kesal. "Hah! Itu kita bisa beli lagi nanti. Yang penting ayo kita pergi sekarang," ujar Okta yang semakin terlihat panik."Ngapain sih buru-buru banget?" Melissa menatap curiga Okta. Hingga sesuatu terlintas di kepalanya."Nanti lah." Dia menarik tangannya yang dipegang Okta. "Nikmatin dulu aja makanannya. Udah dari pagi belum makan, sekarang makan malah disuruh cepet-cepet. Mending kalau udah habis. Lah ini masih