Home / Romansa / Adinda / Andara Mahardika

Share

Andara Mahardika

Author: Adiarizki
last update Last Updated: 2021-04-23 22:11:25

Setelah cukup lama berbincang bersama Bapak Anjas. Akhirnya, Andara menyampaikan maksud kedatangannya yang sebenarnya ke sana. Sepertinya ia sengaja mengajak Pak Anjas membahas masalah pesta yang digelar muda-mudi pada penyambutan tahun baru. Agar ia dapat mengetahui apa pandangan. Dari seorang ayah yang anak gadisnya akan ia ajak mendatangi pesta tersebut. Andara memang cerdas dalam membaca situasi terlebih dahulu sebelum maju.

Karena dirasa Pak Anjas tak keberatan dengan adanya acara tersebut, barulah ia menyampaikan bahwa ia berkeinginan mengajak Adinda menghadiri acara itu bersama. Sebuah pesta sederhana ala pemuda desa. Dengan mengajak semua muda-mudi berkumpul di Balai Desa. Membuat api unggun, bernyanyi, membakar jagung, ayam, ikan, dan menikmati minuman soda dingin. Semuanya dilakukan atas dasar ingin menjalin kekompakan antar muda-mudi.

Dan itu memang dilakukan setiap tahunnya. Yang selalu dilaksanakan bertepatan dengan pergantian tahun. Desa ini sejak dahulu selalu damai. Masyarakat hidup dengan rukun dan saling membantu. Sebelum datangnya keluarga Bapak Karman dan keluarganya. Beliau adalah ayah dari Giyo Ramadhan. Pemuda yang mengikuti jejak sang ayah yaitu menjadi seorang preman.

Pemuda dengan wajah tampan, dan kulit berwarna putih bersih itu sebenarnya. Memiliki usia dua tahun lebih tua dari Adinda. Namun, karena ia tak pernah menyentuh pekerjaan tani layaknya sang ibu. Ia terlihat seperti sebaya dengan anak usia 20 tahunan. Ia juga tak pernah sekalipun ikut sang ibu mengelola kebun mereka.

Sedangkan sang ayah sudah lama pergi. Menghilang tanpa kabar, bagai ditelan bumi. Sebenarnya, Giyo memiliki saudara yang sudah menikah. Akan tetapi semuanya berada di tempat yang jauh dari mereka. Giyo memiliki bakat menjadi gangster yang langsung diturunkan sang ayah. Bahkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) ia sudah banyak membuat masalah.

“Maaf, Pak, Ndra. Sepertinya saya harus pamit terlebih dulu,” ujar Giyo menyela pembicaraan Pak Anjas dan juga Andara yang tampak semakin asyik.

“Loh, mau ke mana, Gi? Buru-buru sekali,” jawab Pak Anjas merespons ucapan Giyo.

“Anu, Pak, ternyata sudah ada teman yang menunggu di rumah.”

“Oh begitu, ya sudah kalau begitu. Nanti ke sini lagi, kita cerita tentang wilayah lagi.”

“Tentu saja, Pak. Mari, Pak, Ndra duluan, ya.”

Andara menganggukkan kepalanya. Ia bahkan memperhatikan, Giyo hingga pemuda itu menghilang di balik rumah warga. Dengan wajah tersenyum getir Pak Anjas tampak prihatin dengan Giyo. Andara menyadari hal tersebut, dan dia malah tampak kurang menyukainya. Tentu saja, Giyo adalah saingan terpendam untuknya.

Karena beberapa kali ia melihat secara langsung, keduanya pergi bersama. Dan itu hal yang jarang dilakukan oleh, Adinda terhadap pria lain. Kecuali dirinya, yang memang seakan sudah mengantongi surat izin dari orang tua gadis yang menjadi incaran banyak pemuda. Andara yang selama ini merasa aman. Kini mulai gelisah karena kedekatan wanitanya dengan Giyo.

“Giyo ini sebenarnya anak yang baik. Sayang dia sudah salah memilih pergaulan, dan juga ruang lingkup kehidupan,” ungkap Pak Anjas ketika Giyo sudah tidak tampak lagi.

 “Mungkin saat ini, dia tengah mencari jati diri, Pak.” Andara masih berusaha berkata bijak dan tidak ingin menilai, Giyo dengan bagian buruknya saja.

“Kalian tidak tahu saja, dia memiliki hati yang sangat lembut aslinya,” guman Adinda dari balik jendela kamarnya. Raut mukanya tampak sedih meratapi Kepergian, sang pria pujaan.

Ia seakan tidak terima. Ketika perkataan sang ayah yang seolah merendahkan Giyo. Adinda tidak sadar bahwa apa yang dikatakan ayahnya itu benar adanya. Tapi, tentu saja menurut gadis cantik itu tak akan mau menerima kenyataan yang menyudutkan lelakinya. Begitulah, bila virus cinta sudah menyerang.

“Pak, saya ingin mohon izin dulu. Soalnya masih ada beberapa bahan yang harus saya disiapkan sama teman-teman yang lain,” ujar Andara tampak sangat santai dan berwibawa.

“Baiklah, Nak Andara. Apa Dinda tidak perlu ikut sekarang?” tanya Pak Anjas terlihat sangat percaya pada pemuda ini.

“Dinda merupakan tamu spesial, Pak, jadi dia tidak boleh berkutat dengan segala yang masih belum jadi.”

“Hahaha, Bapak senang mendapatkan calon menantu seperti, Nak Andara.”

Seketika baik Andara, maupun Adinda yang menguping sama-sama terkejut mendengar ucapan Bapak Anjas. Dengan jelas dan santainya beliau mengatakan hal itu, di mana pastinya banyak pemuda yang ingin menggantikan posisi Andara. Dari balik dinding kamar, Adinda tiba-tiba terduduk lemas. Seakan ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Begitu pula dengan Andara. Pemuda itu tampak masih belum sepenuhnya yakin ada ucapan Pak Anjas. Pria paruh baya itu tampak paham dengan perasaan Andara. Beliau tersenyum lapang. Menepuk bahu kanan, Andara dengan hangat dan penuh kasih.

“Bapak serius dengan ucapan yang baru saja kamu dengar. Jujur saja, Bapak sangat berharap kamu akan menjadi pendamping Adinda, nantinya,” ungkap beliau terdengar tulus dan jujur.

“Tapi, apa yang membuat Bapak sangat yakin pada saya?” tanya Andara penasaran.

“Karena kamu akan mampu memutus tali rantai keburukan di keluarga kami,” ujar Pak Anjas dengan mantap.

Andara terdiam sejenak. Ia tampak meyakinkan hatinya untuk memastikan ini nyata. Bapak Anjas tersenyum penuh harapan. Sedangkan, Adinda dengan mata berkaca-kaca dilanda kebimbangan. Haruskah ia bahagia? Atau justru harus sedih. Karena jika Andara sudah resmi mendapatkan tempat di hati sang ayah. Maka sangat kecil kemungkinan Giyo akan mendapatkan bagian.

Sebenarnya, Gio memang kalah jauh jika harus bersaing dengan Andara. Andara Mahardika ia merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ia memiliki seorang adik perempuan. Kini Anda tengah sengaja mengambil libur selama satu tahun. Sebelum kelak ia akan melanjutkan pendidikannya. Andara, dikenal memiliki banyak prestasi yang membanggakan. Ia juga hidup dalam ruang lingkup keluarga yang baik dan terdidik ajaran agama yang kuat.

Andara Mahardika pernah ditunjuk sebagai perwakilan Provinsi Majib. Untuk mengikuti kontes bela diri tingkat nasional. Ia juga beberapa kali membawa nama sekolahnya menjadi pemenang dalam cabang olah raga, lari estafet, maraton, dan juga sudah pasti voli. Pribadinya memang dikenal santun dan juga sangat menghargai wanita.

“Kenapa harus dia? Kenapa aku harus menyukai pria yang sama sepertimu, Ayah,” gumam Adinda dengan air mata yang sudah mulai berlinang.

“Aku sendiri tak ingin hidup dengan orang yang salah seperti Bunda. Tapi, hatiku memaksa aku untuk memihak padanya,” ucapnya lirih, “bahkan, aku seakan tak sanggup bila harus jauh dari, Giyo Ramadhan.”

Air mata itu tanpa terasa terjatuh begitu saja, rasa yang sulit untuk dimengerti dan dipahami orang lain. Sebuah perasaan yang hanya sang empunya hatilah—mampu menjabarkannya dengan benar. Namun terkadang, sang pemilik rasa pun tak mampu menjabarkannya secara rinci. Bahkan tak jarang, ia sendiri pun bingung mengapa bisa demikian.

Adiarizki

Ketika di hadapan dengan dua raga yang memiliki perbedaan yang nyata, aku pun tak dapat memberikan alasan mengapa aku memilih salah satunya. _Adinda||Adinda_

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adinda   Jalan Lain

    Tok! Tok! “Siapa?” ujar Tiwi dari balik pintu rumah Adinda. “Wi, ini aku Zenix. Aku mau ngomong sama Kak Dinda,” sahut Zenix dari balik pintu. Tiwi menoleh ke arah Adinda dan juga Angel yang di mana ia seolah meminta persetujuan. Setelah kedua sahabatnya mengangguk. Barulah Tiwi berani membukakan pintu. Saat pintu terbuka Giyo berdiri di sana dengan Zenix berada di sebelahnya. Begitu pula dengan Andika. Giyo masuk dengan raut wajah datar. Tanpa basa-basi ia menghampiri Adinda dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. Adinda tampak gugup menghadapi Giyo yang jelas-jelas sudah ada di depannya. Zenix memberikan kode kepada Angel untuk menjauh. Gadis itu mengerti dan memilih untuk duduk bersama Tiwi di sofa ruang tamu. “Kapan aku mengiyakan kita putus? Kapan aku menyetujui omongan kamu? Kapan!” bentak Giyo dengan raut wajah memerah menahan gejolak amarah. “Tapi aku—” kalimat Adinda mendadak berhenti saat jari telunjuk Giyo menutupi bibir tipisnya. “Kamu masih pacar aku. Enggak ada pe

  • Adinda   Aku Sudah Rusak!

    Giyo sudah pulih dan kembali ke rumahnya. Di sana Adinda terus berusaha mencari kesempatan untuk menjenguk kekasihnya itu. Hari itu suasana kediaman Giyo memang sangat sepi. Sedangkan kedua orang tua Adinda menghadiri pesta pernikahan saudaranya yang mengharuskan keduanya menginap selama beberapa hari di sana. Hal itu dimanfaatkan Adinda untuk merawat Giyo. “Sayang, sini aku periksa dulu lukanya,” ujar Adinda yang baru saja masuk ke kamar Giyo dengan membawa nampan berisi, perban, obat merah, dan beberapa kain kasa. “Ternyata enak juga kalau ada istri yang merawat kayak begini,” balas Giyo yang membuat Adinda tersipu malu. Wajahnya bersemu merah jambu. “Permisi, ya Sayang. Maaf kalau sakit.” “Kalau cuman kayak begini enggak ngaruh sedikit pun. Kalau kamu yang ngurusin, digosok-gosok juga aku mau.” Adinda menekan luka Giyo yang membuat pria itu meringis. Adinda tertawa. Giyo membalik tubuhnya yang membuat Adinda terkejut dan spontan mengelak. Giyo mendesak hingga tubuh Adinda berad

  • Adinda   Pelan-pelan!

    “Bangsat lu! Hia!”Giyo menyerang Dragon. Perkelahian antar keduanya tidak terhindarkan. Giyo sudah nyaris hampir mengalahkan Dragon. Sesaat sebelum sebuah belati menancap dipunggung kirinya. Saat menoleh Giyo melihat sang ketua berada di sana. “Apa yang buat lu rela mati demi cewek itu Gi?” ujarnya dengan tatapan kosong.“Lu rela mau ngebunuh rekan lu sendiri hanya demi satu orang gadis yang belum tentu lu bisa dapatin.”“Kenapa lu jadi sebegok ini?”Giyo tidak peduli dengan ocehan sang ketua. Kini ia malah berusaha menyerang sang ketua. Namun ia kalah jumlah, Giyo terpojok. Tubuhnya mengalami banyak luka memar. Dari punggungnya pun masih mengalir geti segar.Perlahan Giyo tampak melemah. Dan akhirnya dia terjatuh. Sang ketua membawanya ke rumah sakit. Giyo dirawat di sana. Setelah ia siuman Giyo menyadari di sampingnya ada Adinda yang terlihat lelah dan sangat khawatir. Giyo membelai kepala Adinda dengan perlahan.“Sayang aku ada di mana?” ucap Giyo lirih dengan nada yang le

  • Adinda   Anak Gadis Kesayangan.

    Setelah perdebatan cukup panjang dengan berat hati Adinda mengizinkan Giyo pergi. Sebelum pria itu melangkah memasuki mobil berwarna hitam dengan kaca film berwarna hitam pula. Giyo memeluk erat dan memberikan ciuman kecil di kening Adinda. Air mata di sudut mata wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Setelah Giyo benar-benar menghilang dari pandangan, Adinda terduduk dengan lemah. “Aku cuman takut. Takutku adalah takut aku yang akan kehilangan dia,” ungkap Adinda lirih dalam pelukan Tiwi. “Kamu tenang aja Din. Kak Giyo enggak akan kenapa-kenapa,” ungkap Tiwi menenangkan sahabatnya. “Aku takut Wi.” “Kakak Ipar tenang aja. Bang Giyo itu jagoan. Mana mungkin dia kalah,” sambung Zenix terlihat simpati pada kekasih ketua kelompok mereka. “Zen, apa yang bisa aku lakukan supaya abangmu bisa keluar dari gang ini?” “Enggak ada Kak. Kalian menikah pun. Abang harus tetap berada di dalam sini. Apalagi Abang terlalu banyak memegang kunci kelompok.” “Ancamannya nyawa ‘kan Zen?” setelah menye

  • Adinda   Sekali Masuk, Tidak Bisa Keluar Lagi!

    “Din, entar siang kami main ke rumah kamu, ya,” ujar Tiwi saat bertemu di balai. “Maaf Wi. Nanti siang aku ada keperluan sama Kak Giyo,” sahut Adinda dengan santai seraya menaiki motornya. “Tapi, kita sudah lama enggak kumpul. Kamu sekarang suka menyendiri, kalau enggak pasti sama Kak Giyo.” “Iya namanya juga dia pacar aku. Udah, ya Wi aku duluan.” Semenjak kejadian hari itu, Adinda memang menutup diri. Dia menjauhi, Andara, dua sahabatnya, dan teman-temannya yang lain. Semenjak itu pula, ia terlihat sangat patuh kepada, Giyo. Sang ibu sempat merasa curiga dengan perubahan Adinda. Ibunya pernah mendesak agar, Adinda jujur mengatakan ada apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Adinda memilih tetap bungkam dan berusaha menutupi aibnya. Para tetangga pun mulai banyak membicarakan kedekatan Adinda dan Giyo yang dinilai terlalu fulgar. Banyak aduan yang diterima orang tua Adinda, akan kedekatan dirinya dan Giyo. Bahkan ada salah satu tetangga yang mengaku melihat Adinda dan Giyo berlaku ti

  • Adinda   Cairan Merah, di Seprei Putih.

    Setelah dua hari sehabis pertemuan keduanya di danau. Hari ini Giyo mengajak Adinda berkunjung ke rumah pamannya yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Adinda beralasan kepada kedua orang tuanya ingin membeli sesuatu di kota. Yang mana sang ayah awalnya meminta Adinda untuk pergi bersama Andara saja. Namun dengan manis, Adinda beralasan kalau Andara tidak bisa menemaninya. Akhirnya sang ayah pun mengizinkan Adinda untuk pergi bersama Giyo. Sebelum keduanya berangkat, berkali-kali sang ayah berpesan agar Giyo menjaga Adinda sebagai adik. Dan Giyo tentu saja menyanggupi permintaan Pak Anjas. Keduanya pergi dengan mengendarai motor gede milik Giyo. “Good luck, Bang!” kalimat yang dilontarkan Zenix tampaknya membuat Adinda seakan bertanya-tanya. Di perjalanan Giyo banyak bercerita akan perjalanan hidupnya. Kedua tangan Adinda yang melingkar di pinggang Giyo. Membuat keduanya tidak memiliki batas. Kepala Adinda yang tidak mengenakan helm pengaman pun bersandar pada p

  • Adinda   Dipaksa, tapi ....

    Semenjak kejadian itu Adinda mulai dijauhi oleh pemuda dan pemudi desa setempat. Mereka tidak menyangka Adinda yang selugu dan sebaik itu, akan berpacaran dengan pria bejat seperti Giyo. Beberapa pemuda malah berniat memisahkan mereka karena mereka tidak ingin Adinda menjadi rusak. Terlebih si Andara saingan utama Giyo. Brem! Brem! “Pulang juga lu akhirnya Bang,” ujar Zenix yang terlihat senang dengan kedatangan Giyo dengan motor gedenya. “HM.” Giyo hanya menjawab dengan nada datar. Giyo turun dari motornya, lalu melemparkan jaket kulit dengan warna cokelat gelap ke atas sofa. Lalu dengan wajah tampak letih Giyo membanting tubuhnya pada sofa yang sama. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil dan memeriksa telepon seluler miliknya. Lalu dengan kedua lengan yang bertopang pada paha. Giyo tampak mencoba menghubungi seseorang. “Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku sudah sampai di rumah ini, kamu bisa ke rumah atau nanti kita ketemu di tempat biasa?” wajahnya yang semula tampak leti

  • Adinda   Sayu dan Layu

    “Kak Giyo!” pekik Tiwi. “Aku harus bagaimana?” tanya Adinda cemas. “’Loh! Kenapa malah bagaimana, Din? Kamu angkat telepon itu, dan tanya sekarang dia ada di mana?” tuntun Angel yang memang selalu lebih tenang dibanding kedua sahabatnya. “Oke!” “Halo, iya, Kak?” ujar Adinda saat menerima panggilan tersebut. Tiwi memberikan kode agar Adinda mau memperdengarkan perbincangannya dengan Giyo. Dengan melakukan media sepiker yang ada di telepon seluler tersebut, Adinda mengikuti keinginan sahabatnya tersebut hingga keduanya terlihat senang. “Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Giyo dengan suara lembutnya. “Em! Di rumah ada apa, Kak?” sahut Adinda dengan wajah yang merona merah muda karena merasa malu. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Aku hanya khawatir sama kamu saja, aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu setelah apa yang kudengar.” “Sekarang, Kakak ada di mana? Sudah pulang dari sana?” “Masih di tempat yang aku bilang ingin datangi tadi, aku sekarang baru bisa lega dan tenang.” “Ap

  • Adinda   Lebih Baik Jauhan

    Sebagai orang yang berhasil merebut hati Adinda tentu saja Giyo sangat bangga. Dia bahkan terlihat sangat puas dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Selama ini dia suka mendapatkan ejekan dari beberapa orang temannya, bahwa Giyo ini tidak menyukai wanita. Dan kini dia bisa membuktikan bahwa dia normal. Adinda, Tiwi, dan Angel tertawa riang menertawakan cerita yang di suguhkan Tiwi. Gadis-gadis ini terlihat sangat dekat dan kompak. Meski Adinda masih baru di kampung mereka, akan tetapi dia sudah mampu bergaul dengan baik. Kepada semua pemuda dan mudi Kampung Tanjung Agung. “Eh, Din, kamu tahu enggak kalau, Manda itu pernah suka sama pacarmu,” bisik Angel. Dibenarkan oleh Tiwi yang menganggukkan kepala. “Ha? Masa sih begitu? Aku enggak yakin, dia mau sama Giyo,” sahut Adinda dengan mengerutkan dahinya. “Dulu, dia suka banget sore-sore masak, berbenah rumah, dan mencuci baju Giyo,” ujar Tiwi, “orang-orang sini pada memuji dia dan berusaha menyanjung dia. Kalau dia ada di depan mereka,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status