Adinda masih betah berdiri memperhatikan pria yang tengah asyik bercerita bersama sang ayah. Kedua orang itu tampak cocok dalam beberapa hal. Entah bagaimana, keduanya tampak memiliki karakteristik yang sama. Serta keduanya tampak sama-sama memiliki pendirian yang teguh. Tak dapat digoyahkan dengan mudah.
Yang sang ayah tidak duga adalah, pemuda yang sedang menjadi lawan bicaranya ini sebenarnya tengah mengincar anak semata wayangnya. Beliau hanya tahu, bahwa pemuda itu memang anak dari teman dekat istrinya. Dan pemuda ini memiliki latar belakang yang kurang lebih sama dengan dirinya. Karena sejatinya Bapak Anjas Bradi ini, adalah mantan mafia besar di Provinsi Beluk. Tanah kelahiran Beliau dan anak istrinya.
“Kakak, ngapain, sih pakai ke sini segala? ‘Kan aku jadi deg-degan,” gumam Adinda seraya memeluk bagian tembok putih kamarnya.
Gadis kota yang selama ini dikenal lugu. Kini sudah memasuki fase dewasa. Dan mulai merasakan yang namanya jatuh cinta. Ia juga mulai tahu, bagaimana seorang wanita akan salah tingkah. Bila sedang bersama dengan pria yang disukainya. Terlebih bila rasa cinta itu bagai bersambut.
Tidak lama setelah itu, Andara datang bersama motor gedenya. Dengan gagah ia turun dengan sebuah kantong plastik di tangannya. Setiap ia bertandang ke kediaman gadis cantik ini. Ia tak pernah datang dengan tangan kosong. Dan yang lebih membuat ia seakan lebih dekat dengan keluarga Adinda. Sang adik gadisnya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) berteman dekat dengan Adinda.
“Assalamualaikum,” tutur pemuda dengan wajah yang tak kalah tampan, dibandingkan dengan Giyo yang telah lebih dulu berada di sana. Nada yang ia gunakan terdengar sopan dan lembut.
“Waalaikumsallam. Eh, Nak Andara. Ayo, sini duduk,” ujar Pak Anjas menyambut pemuda tampan itu.
“Terima kasih, Pak,” sahut Andara setelah mencium tangan Pak Anjas.
Pria paruh baya itu tampak sangat menyukai Andara. Selama ini memang Beliau selalu mengeluh-eluhkan sosok pemuda baik ini. Bahkan Beliau sangat mendukung kedekatan anak gadisnya dengan pemuda ini. Beliau juga selalu mengatakan bahwa pria seperti, Andaralah yang cocok mendampingi putrinya yang berharga. Dan hal itu tentu membuat sang putri bimbang.
Dulu ia memang sangat menyukai Andara. Bahkan kedua sudah sempat saling ingin berkomitmen. Namun, semenjak kedekatannya dengan Giyo perlahan ia mulai menunjukkan sikap menjauh dari Andara. Padahal yang harusnya ia sadari. Dari sekian banyak pemuda yang bertandang ke rumah mereka. Hanya Andara seorang yang bisa menarik hati sang ayah.
Sebenarnya sejak dulu banyak yang ingin mendekati Adinda. Namun, dikarenakan sifat keras kepala dan keteguhan pendirian sang ayah. Yang memiliki cita-cita mendapatkan menantu yang baik dan memiliki masa depan cerah. Tentu bukan perkara uang saja, akan tetapi lebih—memiliki rasa tanggung jawab yang kuat. Dan memiliki keteguhan iman untuk tetap memimpin anaknya tetap berada dalam jalan yang lurus.
“Din, Dinda. Ke sini sebentar, Nak,” panggil Pak Anjas pada anak gadisnya, “ini ada, Nak Andara datang mau bertemu kamu.”
“Iya Ayah,” jawab Adinda dari dalam kamar.
Adinda yang sejak tadi sudah memperhatikan kondisi di luar. Terlihat beberapa kali membuang nafas panjang sebelum keluar dari kamarnya. Dia menemui, Andara dan juga Giyo yang duduk bersebelahan. Dua pasang mata pemuda yang tadinya terlihat kaku. Kini memiliki objek pandang yang sama. Ketika Adinda duduk di samping sang ayah. Tentu saja mereka sangat mengagumi sosok gadis cantik itu.
Sedangkan Adinda tampak menundukkan pandangannya. Namun, sesekali ia mencuri pandang dengan melirik pria pujaan yang diam-diam dikaguminya. Andara menyerahkan bingkisan yang tadi dibawanya. Adinda mengambil dan membawanya masuk. Kemudian ia menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk tamunya.
Ketika ia mengantarkan minuman kepada, Andara, Giyo, serta sang ayah. Bola matanya malah memperhatikan Giyo yang juga meliriknya. Setelah semuanya selesai ia kembali masuk ke kamar. Ia kembali memperhatikan kedua pemuda tersebut dari jendela kamar. Di sana Adinda tersenyum malu-malu memperhatikan wajah pria mengenakan kaos berwara hitam dengan celana jeans yang terdapat robekan pada bagian lututnya.
Bapak Anjas tampak sangat antusias dengan pembicaraannya bersama pemuda idaman. Di saat keduanya asyik membicarakan pesta yang akan diadakan nanti malam. Adinda yang masih berada di sisi jendela. Tersadar ketika mendengar nada pesan singkat dari telepon selulernya. Ia bergegas untuk melihat siapa pengirimnya. Dan ternyata, pengirimnya adalah Giyo. Pria yang sejak tadi diperhatikan olehnya dari balik gorden jendela yang tertutup.
“Dek.” Isi pesan singkat yang dikirimkan, Giyo padanya.
“Iya, Kakak. Ada apa?” Adinda dengan wajah yang berseri-seri membalas pesan itu.
“Nanti malam kamu akan pergi sama anak ini?”
“Iya, soalnya mereka sudah rencanakan semuanya dari jauh hari. Jadi, Adinda enggak enak kalau harus menolak.”
“Oke! Nanti malam aku juga ada acara di rumahku. Tapi, kalau sempat aku akan mampir ke acara kalian. Untuk memastikan kamu baik-baik saja di sana.”
Membaca balasan yang diberikan oleh, Giyo. Seketika Adinda terlihat sangat senang. Bahkan, ia hampir saja berteriak. Dengan riang gadis itu meloncat bagaikan, seorang bocah yang mendapatkan mainan baru. Diiringi dengan senyuman pertanda ia sangat bahagia mendapatkan segalanya.
Adinda bahkan, terlihat enggan mengakhiri obrolan melalui pesan singkat itu. Adinda benar-benar tengah merasakan dahsyatnya jatuh cinta. Entahlah, apa karena ini kali pertama baginya. Jatuh hati pada pemuda yang memiliki latar belakang yang sama dengan sang ayah. Atau bisa jadi karena ia merasa memiliki tantangan tersendiri. Ketika ia harus menjalani kedekatan secara sembunyi-sembunyi. Entahlah hanya ia dan Tuhan yang paham isi hatinya.
“Oke. Tapi janji, ya, kalau Kakak datang ke sana. Jangan buat onar. Aku enggak mau liat, Kakak mabuk juga,” pinta Adinda dalam pesan yang dikirimkannya kali ini.
Kemudian ia kembali mengintip reaksi, Giyo dari balik gorden kamarnya. Dan ternyata pria itu tersenyum melihat balasan darinya. Hal itu tentu membuatnya ikut tertawa tanpa suara. Adinda ia gadis polos yang tengah berusaha mengikuti kata hatinya. Giyo sebenarnya bukanlah pemuda buruk yang patut ditakuti. Hanya saja, pemuda ini sudah terlanjur terjerumus ke dalam jalan yang salah. Dan itulah yang membuatnya akan kesulitan untuk kembali pada jalur yang benar.
Tentu tak ada yang bisa disalahkan. Jika sudah berkata tentang kata hati dan cinta. Namun terkadang, cinta itu dapat mengganggu fungsi sebenarnya dari anggota tubuh manusia. Itulah kenapa banyak orang yang melakukan hal nekat hanya karena alasan cinta. Terkadang cinta dijadikan alasan untuk memaksakan kesalahan, untuk menjadi benar. Dan itulah mengapa setiap orang tua menginginkan pasangan terbaik bagi anak-anak mereka di masa depannya kelak.
Cemburu dalam diam itu menyiksa kawan. _Giyo||Adinda_
Tok! Tok! “Siapa?” ujar Tiwi dari balik pintu rumah Adinda. “Wi, ini aku Zenix. Aku mau ngomong sama Kak Dinda,” sahut Zenix dari balik pintu. Tiwi menoleh ke arah Adinda dan juga Angel yang di mana ia seolah meminta persetujuan. Setelah kedua sahabatnya mengangguk. Barulah Tiwi berani membukakan pintu. Saat pintu terbuka Giyo berdiri di sana dengan Zenix berada di sebelahnya. Begitu pula dengan Andika. Giyo masuk dengan raut wajah datar. Tanpa basa-basi ia menghampiri Adinda dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. Adinda tampak gugup menghadapi Giyo yang jelas-jelas sudah ada di depannya. Zenix memberikan kode kepada Angel untuk menjauh. Gadis itu mengerti dan memilih untuk duduk bersama Tiwi di sofa ruang tamu. “Kapan aku mengiyakan kita putus? Kapan aku menyetujui omongan kamu? Kapan!” bentak Giyo dengan raut wajah memerah menahan gejolak amarah. “Tapi aku—” kalimat Adinda mendadak berhenti saat jari telunjuk Giyo menutupi bibir tipisnya. “Kamu masih pacar aku. Enggak ada pe
Giyo sudah pulih dan kembali ke rumahnya. Di sana Adinda terus berusaha mencari kesempatan untuk menjenguk kekasihnya itu. Hari itu suasana kediaman Giyo memang sangat sepi. Sedangkan kedua orang tua Adinda menghadiri pesta pernikahan saudaranya yang mengharuskan keduanya menginap selama beberapa hari di sana. Hal itu dimanfaatkan Adinda untuk merawat Giyo. “Sayang, sini aku periksa dulu lukanya,” ujar Adinda yang baru saja masuk ke kamar Giyo dengan membawa nampan berisi, perban, obat merah, dan beberapa kain kasa. “Ternyata enak juga kalau ada istri yang merawat kayak begini,” balas Giyo yang membuat Adinda tersipu malu. Wajahnya bersemu merah jambu. “Permisi, ya Sayang. Maaf kalau sakit.” “Kalau cuman kayak begini enggak ngaruh sedikit pun. Kalau kamu yang ngurusin, digosok-gosok juga aku mau.” Adinda menekan luka Giyo yang membuat pria itu meringis. Adinda tertawa. Giyo membalik tubuhnya yang membuat Adinda terkejut dan spontan mengelak. Giyo mendesak hingga tubuh Adinda berad
“Bangsat lu! Hia!”Giyo menyerang Dragon. Perkelahian antar keduanya tidak terhindarkan. Giyo sudah nyaris hampir mengalahkan Dragon. Sesaat sebelum sebuah belati menancap dipunggung kirinya. Saat menoleh Giyo melihat sang ketua berada di sana. “Apa yang buat lu rela mati demi cewek itu Gi?” ujarnya dengan tatapan kosong.“Lu rela mau ngebunuh rekan lu sendiri hanya demi satu orang gadis yang belum tentu lu bisa dapatin.”“Kenapa lu jadi sebegok ini?”Giyo tidak peduli dengan ocehan sang ketua. Kini ia malah berusaha menyerang sang ketua. Namun ia kalah jumlah, Giyo terpojok. Tubuhnya mengalami banyak luka memar. Dari punggungnya pun masih mengalir geti segar.Perlahan Giyo tampak melemah. Dan akhirnya dia terjatuh. Sang ketua membawanya ke rumah sakit. Giyo dirawat di sana. Setelah ia siuman Giyo menyadari di sampingnya ada Adinda yang terlihat lelah dan sangat khawatir. Giyo membelai kepala Adinda dengan perlahan.“Sayang aku ada di mana?” ucap Giyo lirih dengan nada yang le
Setelah perdebatan cukup panjang dengan berat hati Adinda mengizinkan Giyo pergi. Sebelum pria itu melangkah memasuki mobil berwarna hitam dengan kaca film berwarna hitam pula. Giyo memeluk erat dan memberikan ciuman kecil di kening Adinda. Air mata di sudut mata wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Setelah Giyo benar-benar menghilang dari pandangan, Adinda terduduk dengan lemah. “Aku cuman takut. Takutku adalah takut aku yang akan kehilangan dia,” ungkap Adinda lirih dalam pelukan Tiwi. “Kamu tenang aja Din. Kak Giyo enggak akan kenapa-kenapa,” ungkap Tiwi menenangkan sahabatnya. “Aku takut Wi.” “Kakak Ipar tenang aja. Bang Giyo itu jagoan. Mana mungkin dia kalah,” sambung Zenix terlihat simpati pada kekasih ketua kelompok mereka. “Zen, apa yang bisa aku lakukan supaya abangmu bisa keluar dari gang ini?” “Enggak ada Kak. Kalian menikah pun. Abang harus tetap berada di dalam sini. Apalagi Abang terlalu banyak memegang kunci kelompok.” “Ancamannya nyawa ‘kan Zen?” setelah menye
“Din, entar siang kami main ke rumah kamu, ya,” ujar Tiwi saat bertemu di balai. “Maaf Wi. Nanti siang aku ada keperluan sama Kak Giyo,” sahut Adinda dengan santai seraya menaiki motornya. “Tapi, kita sudah lama enggak kumpul. Kamu sekarang suka menyendiri, kalau enggak pasti sama Kak Giyo.” “Iya namanya juga dia pacar aku. Udah, ya Wi aku duluan.” Semenjak kejadian hari itu, Adinda memang menutup diri. Dia menjauhi, Andara, dua sahabatnya, dan teman-temannya yang lain. Semenjak itu pula, ia terlihat sangat patuh kepada, Giyo. Sang ibu sempat merasa curiga dengan perubahan Adinda. Ibunya pernah mendesak agar, Adinda jujur mengatakan ada apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Adinda memilih tetap bungkam dan berusaha menutupi aibnya. Para tetangga pun mulai banyak membicarakan kedekatan Adinda dan Giyo yang dinilai terlalu fulgar. Banyak aduan yang diterima orang tua Adinda, akan kedekatan dirinya dan Giyo. Bahkan ada salah satu tetangga yang mengaku melihat Adinda dan Giyo berlaku ti
Setelah dua hari sehabis pertemuan keduanya di danau. Hari ini Giyo mengajak Adinda berkunjung ke rumah pamannya yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Adinda beralasan kepada kedua orang tuanya ingin membeli sesuatu di kota. Yang mana sang ayah awalnya meminta Adinda untuk pergi bersama Andara saja. Namun dengan manis, Adinda beralasan kalau Andara tidak bisa menemaninya. Akhirnya sang ayah pun mengizinkan Adinda untuk pergi bersama Giyo. Sebelum keduanya berangkat, berkali-kali sang ayah berpesan agar Giyo menjaga Adinda sebagai adik. Dan Giyo tentu saja menyanggupi permintaan Pak Anjas. Keduanya pergi dengan mengendarai motor gede milik Giyo. “Good luck, Bang!” kalimat yang dilontarkan Zenix tampaknya membuat Adinda seakan bertanya-tanya. Di perjalanan Giyo banyak bercerita akan perjalanan hidupnya. Kedua tangan Adinda yang melingkar di pinggang Giyo. Membuat keduanya tidak memiliki batas. Kepala Adinda yang tidak mengenakan helm pengaman pun bersandar pada p