Blood Rain berjalan mendekat, tangan kirinya memegang sebelah kaki Anya yang sedang ter-telungkup di lantai, semakin ditarik dengan kuat agar ia bisa menjangkau gadis itu. Anya sudah menjerit ditempat, wajahnya basah karena dipenuhi sisa air mata. Dia tidak tahan sebab benar-benar merasa sakit. Dalam sekali tarikan kuatnya, Blood Rain berhasil membuat Anya berdiri dari posisi sebelumnya. Pria itu menjadi semakin kuat. Sebelah tangannya yang memegang pisau dia arahkan tepat ke tengah leher pucat milik Anya yang hanya bisa menangis.
Pria mengerikan itu sontak tertawa jahat diselingi desiran remeh kepada Anya yang tidak bisa melakukan apa-apa. Rasanya dia tidak puas. Dijambaknya rambut panjang gadis itu agar mendongak, lantas memposisikan pisaunya dengan tepat; posisi yang akan membunuh Anya hanya dalam sekali sayat. Tubuh gadis malang itu kian gemetar. Dia ter
Anya menatap ke arah hutan rimbun di depan sana. Suasana sejuk udara pagi menyambutnya sejak beberapa menit yang lalu, saat ia terbangun begitu cepat dan berakhir duduk di teras luar berlantai kayu rumah ini. Kegiatan tersebut sudah berlangsung selama tiga hari terakhir sejak kejadian mengerikan itu terjadi. Kejadian yang nyaris saja membuatnya mati juga hampir hanya menyisakan nama. Bukan saja nyaris mati, kejadian aneh yang dia alami saat melukai Rain ketika peristiwa itu terjadi, juga menjadi hal besar yang menggangu pikirannya. Dia sudah berusaha mencari jawaban melalui sepenggal ingatan yang kadang terlintas. Tapi nihil. Anya masih tidak bisa mengingat dengan jelas. Anya jadi teringat, Rain adalah orang pertama yang dia lihat saat membuka mata dan Rain pula lah, yang hampir saja ia lempar menggunakan vas bunga di dala
Tidak ada yang pernah mengira dan menduga akan seperti apa masa depan di waktu mendatang. Hidup adalah misteri dengan segala kemistisannya. Tidak akan ada yang pernah tahu; entah hari ini, esok, atau bahkan lusa--seseorang,akankah masih hidup atau justru telah mati. Akan ada suatu masa, dimana suasana kelam yang nyata menyeruak datang menghampiri siapa saja. Kekelaman tanpa batas yang akan membawa rasa putus asa, tiada dua. Dan memaksa sebuah jiwa beraga memilih mengakhiri hidup. Tetapi, di saat-saat seperti itulah seseorang membutuhkan orang lain untuk membantunya; bangkit, berdiri, dan bertahan. Anya tidak terkecuali. Hidup menderita sejak kecil bukanlah hal mudah, orang tua yang egois memaksanya harus bertahan diantara keributan memuakkan orang dewasa. Hidup di panti, tidak lantas membuatnya membaik. Dia harus b
"Rain? Kamu dengar apa yang kukatakan?" Pria itu jelas mendengar, tetapi dia memilih bisu. Manik indahnya memejam dengan rapat pun bibirnya tertutup. Dia tidak peduli dengan apapun sekarang, termasuk meladeni sosok pria bertubuh tegap yang beberapa senti lebih pendek darinya--sedang berdiri di samping tempatnya duduk--di depan teras kolam ikan. Menghela nafas panjang yang terdengar sedikit kesal dan putus asa, pria berbaju formal tersebut lantas memegangi pundak Rain yang masih duduk mengabaikan keberadaannya di rumah hutan itu, selama beberapa hari belakangan setelah Anya pergi. Dia tentu tahu mengapa Rain marah kepadanya. Sebab dia lah yang meminta Rain meninggalkan tempat itu sebelum berhasil menangkap Anya dan kembali membawanya pulang. Si Pria berbaju formal jelas tidak akan menggangu kes
Beberapa jam sebelum Tuti tewas.... Atmosfir ruangan terasa berat. Aura-aura berganti dan saling membaur di dalamnya. Namun aura pekat milik Rayland Pram Adiptara jauh lebih mendominasi, mengenyahkan aura lain milik Ramlan, Ryan, juga Tania. Ini bukan kali pertama terjadi. Aura Rayland yang suram terkadang menginvasi aura lain hingga membuat pria itu tampak unggul--di mana pun dan kapan pun--saat dia menghendakinya. Tidak menutup kemungkinan, jika hal inilah yang membuat Rayland selalu tampak mengintimidasi, mengendalikan berbagai macam situasi, karena auranya. Tidak ada yang tahu, bahwa sejatinya sosok Rayland juga mampu melihat warna aura seseorang. Pria itu terlalu misterius, gerak-geriknya nampak pasif sehingga tidak ada yang tahu pasti apa yang tengah dipikir
Berbulan-bulan terlewati sejak peristiwa kematian Tuti yang misterius. Tentu saja hari-hari yang dilalui Anya begitu berat. Tuti adalah pelayan pribadinya selama ia tinggal di mansion Adiptara, jadi tidak menutup kemungkinan jika mereka sudah akrab, tidak hanya sebagai pelayan dan majikan melainkan juga sebagai teman. Anya bahkan telah menganggap Tuti selayaknya sosok ibu yang cerewet; sering menegurnya mengenai hal ini-itu dan terutama mengenai apa yang bersangkutan dengan Rayland, suaminya yang kaku. Tuti adalah pelayan yang baik dibalik kecerewetannya, mungkin karena pengalamannya sebagai seorang pelayan membuatnya tidak merasa canggung jika berhadapan dengan Anya yang pecicilan dan pembuat onar. Sebaliknya, ia justru bersikap apa adanya dan tidak harus memasang sikap palsu untuk mendapatkan perhatian, mengingat status Anya sebagai nyony
Kalau saja ia bisa pingsan saking kagetnya. Anya ingin melakukannya sekarang. Sayangnya, ia sama sekali tidak berharap menjadi tontonan orang-orang yang menatapnya aneh, juga berpikiran yang tidak-tidak mengenai dirinya. Bisa dipastikan, ia akan di cap sebagai gadis yang mengawali mata kuliah terakhirnya di awal semester dengan pingsan di kelas. Tidak, Anya tidak menginginkannya. Namun nyatanya, dia merasa ingin pingsan justru karena dosennya sendiri, yang tidak lain adalah Rain. Orang yang sudah menculik dan hampir saja membunuhnya dengan sadis. Sontak, Anya hanya bisa termangu, tidak memikirkan apapun selain bagaimana dia akan mati ditangan Rain.Atau cara seperti apa yang akan dilakukan lelaki itu untuk menghabisi nyawanya. Nyatanya, Anya sangat takut sekarang. Dia tidak bisa memikirkan apapun selain kata MATI. Keringat dingin telah menghampirinya saat
Kriuk!! Kriuk!! Kriuk!! "Bisakah kamu makan tanpa harus menimbulkan bunyi menjengkelkan seperti itu?" Lolita menoleh sembari menyengir. Keripik pisang ditangannya berhenti tepat di depan mulutnya. Remah-remahannya pun menempel bak lintah darat di sekitar bibirnya. Ryuu yang pengertian segera menghapusnya dengan tissue. "Empat belas kali," Anya mengernyit. "Hah?" Lolita menggeleng. Suara kriuk-kriuk renyah kembali terdengar saat keripik pisang lagi-lagi masuk ke dalam mulut kecilnya. Seperti biasa, Ryuu yang duduk di samping gadis itu kembali bertingkah layaknya pelayan anjing--melayani Lolita. Benar-benar pria bucin. Menyebalkan!! "Sudah empat belas kali kamu marah-marah karena hal sepele hari ini, Anya. Katakan! Kamu ada masalah? Ryuu akan menyelesai
Tepat pukul lima sore, Anya tiba di mansion dengan wajah tertekuk kesal. Tidak perlu ditanya mengapa, sebab sudah pasti pasangan anjing Lolita dan Ryuu adalah penyebabnya. Anya tidak akan menceritakan kelakuan apa saja yang mereka perbuat selama di kebun binatang. Tidak. Sebab dia tidak ingin mengingat apapun lagi mengenai kejadianmemalukan yang Lolita lakukan. Anya mungkin hanya akan sedikit marah jika mereka berdua tidak menyeretnya ikut ke dalam masalah. Tetapi tampaknya, Lolita tidak akan senang jika tidak menyeretnya juga. Benar-benar true friends. Tidak pernah melupakan Anya. Namun sekarang, yang lebih membuatnya cemas adalah mengenai kedua pesan yang dikirimkan Rain juga Rayland. Mungkin dia bisa tenang jika Rayland hanya ingin pulang ke mansion. Toh, memang sudah seharusnya seperti itu. Tetapi bagaima