Share

PERSIAPAN

"Kita mampir dulu, ya? Lapar," rengek Kak Rai sambil mengelus perut six pack-nya dengan satu tangan, sedang yang lain memegang kemudi.

"Kan tadi sebelum pergi kita makan dulu. Masa makan lagi?" Aku menatapnya bingung. Tapi, dia malah terkekeh geli.

"Kalau orang nervous pasti bawaannya lapar mulu." Dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

"Nervous kenapa?"

"Lah, dia pake nanya segala! Kok, kesannya cuma aku yang antusias sama pernikahan ini? Kamu nggak suka, ya?"

"Kalau gitu kita makan di situ saja," kataku seraya menunjuk sebuah mall yang tak jauh dari posisi kami. Aku sengaja tak menjawab pertanyaannya.

"Hmm ... ok!"

Kak Rai berbelok masuk ke arah gedung bertingkat itu. Ada gurat kekecewaan di wajahnya yang aku tak tahu karena apa.

Kami memilih cafe bernuansa Sunda, karena memang Kak Rai suka dengan makanan khas Si Kabayan itu. Baru saja memasuki cafe, tiba-tiba sebuah suara memanggil nama Kak Rai dari meja yang terletak di sudut ruangan.

"Rai ... sini!" Pria berwajah oriental terlihat melambaikan tangannya ke arah kami. Kak Rai tersenyum menghampiri mereka, sedangkan aku hanya mengekor di belakangnya.

Kedua pria itu tampak senang karena kebetulan bertemu. Aku menyambut ramah jabat tangan Kak Tio, sahabat sekaligus rekan kantor Kak Rai.

"Lama banget nggak ketemu kamu, Sa. Jadi, pangling aku lihat kamu."

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya. Memang terakhir bertemu dengannya, ketika aku masih SMA.

Mataku menangkap sosok wanita yang kemarin membuat badai dalam hatiku. Wanita yang seenaknya mencium calon suami orang. Di sampingnya, wanita itu tak kalah cantik, hanya bedanya ia memakai hijab.

"Eh, lupa! Kenalin ... ini Saskia. Ini Davina, istriku sekaligus partner kerja." Aku menjabat tangan mereka. "Ini Nissa, adiknya Raihan."

Aku tak suka saat Kak Tio menyebutku “Adik”. Apa Kak Rai tidak bercerita tentang lamarannya waktu itu? Aku tetap diam, karena melihat Kak Rai terkesan tak peduli.

Jadi, wanita kurang kerjaan itu bernama Saskia. Dia terus-menerus menatap ke arah Kak Rai Padahal yang di pandang malah sibuk dengan handphone-nya.

Setelah berbasa-basi, Saskia berdiri dan tiba-tiba menunduk berbisik di telinga Kak Rai. Meskipun Kak Rai menghindar, sehingga jarak mereka tidak rapat. Namun, tetap saja membuat wajah ini terasa panas.

"Sa, aku keluar sebentar, ya? Tunggu di sini aja!" kata Kak Rai langsung mengikuti langkah Saskia yang berjalan keluar setelah pamit pada Kak Tio dan istrinya.

Ingin menangis tapi malu pada dua orang di hadapanku. Mencoba tetap tersenyum walaupun sebenarnya tanganku mengepal, menahan cairan bening di pelupuk mata agar tidak terjun bebas.

"Mereka berdua itu aneh tau, Sa! Yang satu ngaku pacar eh yang satunya ngaku teman." Kak Tio menjelaskan seolah menangkap ekspresi bingung di wajahku.

"Kok gitu, Kak?" tanyaku mulai tertarik untuk mencari informasi.

"Ya gitu, deh! Saskia naksir Raihan sejak pertama masuk kerja. Ada-ada saja ulahnya yang kadang sampai bikin gerah. Bahkan, kemarin hampir saja Saskia nyosor si Rai."

"Hampir?" Aku mencoba mencerna kata yang janggal itu. Jelas-jelas kemarin mereka berciuman.

Aku menyimpulkan bahwa orang yang ditelepon Saskia di minimarket itu adalah Davina. Aku masih ragu soal kedekatan mereka. Nyatanya, sekarang aku ditinggal demi bisa berduaan dengan Saskia.

"Tapi, kenapa Kak Rai mau aja meladeni cewek begitu?"

"Karena dia anak Pak Aryo, Bos kami. Mana mungkin kami tolak, yang ada malah dipecat."

Belum lagi aku mengajukan pertanyaan lain, Kak Rai sudah berada di depan kami sambil membawa paperbag kecil. Saskia tidak terlihat lagi bersamanya.

"Sudah selesai makannya?" tanya Kak Rai yang kujawab dengan anggukan. "lanjut pulang, yuk!"

Lagi-lagi aku mengangguk. Aku berpamitan pada dua orang yang tidak sengaja menjadi informanku tadi. Sebelum berpisah, Kak Rai memberikan paperbag itu kepada Kak Tio.

"Hari Senin nanti, tolong bagikan ini ke teman-teman di kantor, ya! Aku sudah mengajukan cuti dua minggu buat persiapan."

"Cuti apaan, Rai?"

"Nikah," jawab Kak Rai santai.

Mereka berdua sontak terkejut. Bahkan, Davina segera membuka isi paperbag dan membaca salah satu kertas undangan.

"Menikah. Raihan Putra Wiryawan dengan Denissa Anastasya."

Davina dan Kak Tio menatap kami tak percaya. Seolah baru saja mendengar berita yang tak masuk akal.

"Kamu beneran nikah sama Nissa, Rai?" tanya Kak Tio yang sudah tahu nama asliku sejak dulu.

"Dennisa itu Nissa?" Davina menunjuk ke arahku, yang sudah seperti kepiting rebus menahan malu. "Jadi, benar kata Saskia. Kamu nikah sama anak pemilik panti asuhan, kan?"

"Iya, benar. Hanya itu kalimat yang benar dari ucapan Saskia. Selebihnya bohong!"

Kak Rai mengajakku pulang. Aku berpamitan dan meminta maaf karena kabar ini mengejutkan mereka.

Sepanjang perjalanan, kami berdiam diri. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di rumah, Kak Rai hanya mengantarku sampai teras.

"Kak," panggilku ragu hendak bertanya.

"Hmm?"

"Maksud dari 'selebihnya bohong' itu apa?"

"Kamu penasaran? Kenapa nggak tanya langsung dari tadi?" Kak Rai mengerling ke arahku yang menyesal karena bertanya.

"Se-sedikit."

"Untuk saat ini, aku nggak bisa menjelaskan dan menjanjikan apa pun sama kamu. Tapi, aku minta supaya kamu bisa mencoba percaya pada semua keputusanku. Insha Allah, semua sudah jadi takdir bagi kita." Ada jeda sejenak sebelum Kak Rai melanjutkan kata-katanya, "Kamu bisa kan mempercayaiku? Sekarang dan juga seterusnya?"

Aku terpana mendengar kalimat ajaib Kak Rai. Tak menyangka jika seorang yang memiliki tingkat kejahilan tertinggi itu bisa berkata seserius itu. Anggukan kecil dariku membuatnya tersenyum penuh arti. Aku akan berusaha untuk percaya!

Kak Rai pamit pulang ke apartemen miliknya setelah berbincang sebentar dengan Ibu.

Aku tertidur sambil memeluk album foto masa kecil kami yang penuh cerita. Semoga masa depan kami nantinya juga akan berakhir bahagia.

Persiapan menjelang hari pernikahan mencapai sembilan puluh persen. Rumah yang semula damai, kini menjadi layaknya sebuah pasar.

Teriakan dua bocah berlaina jenis terdengar nyaring memekakkan telinga. Mereka berlarian mengitari seisi rumah. Sedangkan, ibu mereka malah asyik mengobrol dengan ibuku sambil memilah-milah beberapa baju.

"Ra, kamu nggak ngajak Dodi?" tanya Ibu sambil melipat baju yang dipilihnya.

"Nanti malam nyusul, Bu. Dia masih ada kerjaan yang belum selesai. Kan besok dia mau cuti panjang." Wanita berhidung mancung itu mengelus perutnya yang buncit. Ada calon jagoan baru di dalam sana yang sedang menanti hari kebebasannya.

"Kamu kan lagi hamil besar, Amara. Harusnya nggak usah datang."

"Masa iya, di hari bahagia kedua adikku, kakaknya yang cantik ini nggak datang. Nanti Raihan bisa dendam bertahun-tahun."

Amara, kakak kami yang selalu menjadi tempat curhat bagiku dan Kak Rai. Suster cantik itu, kini menjelma menjadi ibu muda yang menawan dengan sepasang anak kembar.

"Tapi, Kak. Itu anaknya kok, mirip banget sama ibunya, ya? Pecicilan." Aku menatap ngeri kedua bocah hyperactive yang sedang berloncatan di atas sofa ruang keluarga.

Kak Amara terkekeh. Dengan santai ia berkata, "Lebih tepatnya mirip kamu sama Raihan. Untung aja mereka saudara kandung. Coba kayak kalian, pasti jatuh cinta juga!"

Kata-kata ibu hamil itu membuatku merona seketika. Teringat kebiasaanku dan Kak Rai saat kecil dulu. Sama nakalnya seperti si kembar.

Aku pura-pura sibuk memilih baju yang sudah dilipat Ibu. Beliau tertawa melihat perdebatan kami tadi.

Baju-baju ini akan dibawa saat aku resmi menjadi istri Kak Rai nanti. Sedangkan sisanya, akan disumbangkan ke panti asuhan sahabat Ayah.

Suara denting pertanda pesan masuk terdengar dari benda pintar berwarna gold itu. Aku segera membukanya sambil berlalu, meninggalkan Ibu dan Kak Amara yang tersenyum nakal.

[Lagi ngapain?]

Segera kubalas pesan dari calon suamiku itu.

[Lagi santai sambil nonton si kembar ngobrak-abrik rumah.]

[Ada Kak Amara, ya? Ada Nadin sama Vino juga?]

[Iya.]

[Waah ... kangen banget nih, sama mereka. Jadi pengen ke rumah, deh.]

Aku merasa cemburu pada dua malaikat nakal itu. Mereka mencuri perhatian Kak Rai dengan mudah.

[Cuma kangen sama mereka?]

[Iya. Kalau saja nggak ada acara pingitan, aku pasti udah meluncur ke rumah.]

[Ngapain? Ketemu Si Kembar?]

Aku mulai kesal tak mendapat perhatiannya.

[Bukan. Tapi ketemu kamu ....]

Pipiku mungkin sudah berubah merah, menahan reaksi dari hati yang bergejolak.

Lusa adalah hari yang benar-benar kunantikan. Entah bagaimana perasaan Kak Rai saat ini. Bagiku, membayangkan saja membuat jantung ini berdetak hingga hampir lepas dari tempatnya.

Lamunanku buyar setelah mendengar bunyi vas bunga pecah dari arah ruang tamu. Secepat kilat aku berlari menuju asal suara.

"Pasti ulah si kembar!" Aku menggerutu, kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status