Share

RAGU

Penulis: Veronica Za
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-04 16:00:36

Seminggu berselang setelah malam lamaran tak terduga itu. Masih teringat dengan jelas senyum manis dari wajahnya, yang hingga kini masih membuat degup jantung tak karuan.

Malam itu, diriku yang bar-bar berubah menjadi pendiam. Tak ada suara cempreng yang selalu berteriak karena kalah beradu argumen dengannya. Tak ada juga bantal yang melesat dari tanganku menuju wajah bulat berlesung pipi itu.

Aku sibuk meredam suara debaran jantung yang terlalu kencang, seolah takut orang lain pun bisa mendengar. Sesekali melirik ke arah pria berkemeja biru yang juga tampak gelisah. Mungkin ia pun malu, sebagaimana diriku saat itu.

"Hayo ... melamun apaan, nih? Pasti lagi mikirin mau bulan madu ke mana, ya?" Sebuah suara diiringi tepukan ringan pada bahuku sontak membuat lamunan tadi buyar seketika. Gadis itu mengerling ke arahku.

"Apaan, sih? Sah aja belum, udah mikir bulan madu." Aku berpura-pura sibuk dengan map yang masih berserakan di meja, berharap Dina percaya dan tak membahasnya lebih lanjut.

Tak ada sahutan dari bibir kemerahan itu. Ia juga sibuk dengan laporan di mejanya sehingga mungkin tak sempat bercanda lagi.

Dina masih menjadi sahabat baikku. Bahkan, sejak gagal mencomblangi dia dan Kak Raihan, yang kini malah berstatus calon suamiku. Ia bersikap seolah seperti tak pernah ada rasa sebelumnya pada pria itu.

"Kamu dijemput Kak Rai, ya?"

"Nggak."

"Kok calon suami nggak pernah jemput sama sekali? Dulu waktu berstatus kakak, kamu merengek terus minta dijemput. Apa karena aku, ya?" Pertanyaan Dina membuatku merasa bersalah karena tertangkap basah.

Aku tak berani menjawab. Sepintar apa pun aku berbohong, ia selalu tahu. Ia menoleh ke arahku yang semakin menunduk, menahan agar bulir bening tak mengalir dari sudut mata.

"Lakukan apa yang kamu mau dan jangan pikirkan aku. Perasaanku ke Kak Rai itu baru suka pada pandangan pertama. Belum tumbuh jadi cinta. So, just go ahead!"

Dina mencubit kedua pipiku dan memaksa wajah kami saling berhadapan. Air mata yang sejak tadi tertahan, meluncur begitu saja tanpa persiapan. Tak kuasa lagi terbendung karena merasa telah mengkhianati sahabat yang selalu menyayangiku.

"Idih ... calon penganten kok jelek begini, ya? Diet, dong! Pipi kamu tuh udah kayak bakpao, tau!" ejekan Dina bersambut cubitan pada pinggangnya. Kami kembali tertawa tanpa ada rasa canggung yang seminggu ini menemani.

Meja kerja yang bersebelahan membuat kami seakan tak pernah berjauhan. Selalu bersama sejak SMA. Tanpa permisi, Dina mengambil handphone-ku dan mengirim sebuah pesan.

"SMS siapa?" Bukan menjawab, Dina malah pergi membawa beberapa map di tangannya. Ada senyuman tertahan di wajahnya yang membuatku segera mengecek benda pintar itu. Sontak saja aku terperangah melihat isi pesan yang terkirim dan parahnya lagi sudah terbaca.

[Kak, sore ini jemput aku dong. Kangen, nih!]

Aku merutuk kesal. Wajah ini mungkin sudah seperti kepiting rebus. Terdengar suara pesan masuk di handphone. Gemetar aku membaca balasan dari Kak Rai.

[Aku juga kangen sama kamu ....]

Senyum terkembang. Jantungku mulai berpacu dengan cepat. Tak lama pesan selanjutnya masuk.

[Tapi, aku lebih kangen sama Si Kimo. He ...]

What? Kimo? Ikan Koi kesayangan Kak Rai yang ada di rumah. Aku mengerucutkan bibir, merasa kalah saing dengan seekor ikan.

***

Aku masih menunggu Kak Raihan, meskipun jam pulang kantor sudah lewat sepuluh menit yang lalu. Ia sempat memberi kabar bahwa akan sedikit terlambat karena ada urusan mendesak.

Bosan menunggu, aku pergi ke minimarket dekat kantor untuk membeli minuman dan beberapa camilan. Sesekali menengok ke luar kaca transparan untuk melihat kedatangan Kak Rai.

Sebuah mobil putih yang sangat kukenal berhenti tepat di depan minimarket. Posisiku yang berada di dekat kaca tapi terhalang rak roti-roti, sehingga mungkin tak terlihat jelas dari arah luar.

Hampir saja aku berteriak memanggil nama si pengemudi yang sedang berbicara dengan seseorang. Namun, tercekat di kerongkongan saat melihat apa yang dilakukan wanita di sebelahnya.

Wanita cantik itu mencium bibir Kak Rai yang berada di belakang kemudi. Singkat, tapi begitu jelas di mataku. Dadaku bergemuruh menahan perasaan yang bercampur antara sedih, marah, dan cemburu.

Aku masih mematung di tempatku berdiri, saat terlihat wanita tadi memasuki minimarket. Dia berjalan gemulai sambil menelepon seseorang.

Sosok Hawa yang tak memiliki cacat sama sekali. Kulit putih bak porselen dengan tubuh selayaknya model papan atas. Sangat berbanding terbalik denganku yang mempunyai tubuh minimalis.

"Vi, Raihan dijodohin sama anak pemilik panti asuhan sebagai balas budi. Aku nggak mau dong putus gitu aja! Aku masih ngasih dia kesempatan buat batalin lamaran dia. Enak aja tuh cewek main ambil pacar orang--"

Tanpa sengaja terdengar ocehan wanita yang kutebak sebagai mantan atau mungkin masih pacar Kak Raihan.

Remuk redam hati ini tak dapat terdefinisikan lagi. Bunyi telepon dan SMS bergantian masuk dari handphone di tanganku. Ada nama Kak Rai tertera di layar.***

Hari libur ini, aku habiskan mendekam di dalam kamar. Berulang kali Ibu mengetuk pelan dan berlalu setelah mendapat jawaban sama dariku yang menolak untuk keluar.

Sebenarnya penghuni perut sudah memulai orkesnya, meminta segera diisi. Namun, rasa malas mengalahkan keinginanku untuk makan. Ketukan kembali terdengar, kali ini lebih kencang.

"Aku mau di kamar aja, Bu!" seruku dari balik selimut.

Tidak seperti sebelumnya. Kali ini, Ibu malah mengetuk lebih keras lagi. Mau tak mau aku beranjak membuka pintu dengan muka tertekuk.

"Aku lagi nggak mau digang--" suaraku terputus melihat sosok di balik pintu.

Kak Raihan menatap dengan senyuman khasnya. Kalau saja tak mengingat kejadian kemarin, mungkin sekarang aku sudah berjingkrak melihatnya.

Sejak panti asuhan ditutup, hanya beberapa bulan sekali dan saat hari besar saja, ia menginap di rumah kami. Alasannya, ingin belajar mandiri setelah kabar kelulusannya dari SMA.

"Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Kak Rai setelah berhasil memaksaku mengikutinya ke dapur dan makan bersama.

"Nggak kenapa-kenapa, kok. Cuma lagi nggak enak badan, sedikit."

Aku menghabiskan sisa makanan, berharap bisa segera masuk ke kamar. Masih sangat sakit mengingat ciuman gadis itu, jika harus terus berhadapan dengan Kak Rai.

Kemarin setelah mengantarku pulang, Kak Rai sempat bertanya perihal sikapku yang terkesan aneh. Aku memang berusaha bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa. Dalam lubuk hati terdalam aku hanya ingin tahu, siapa yang akan Kak Rai pilih. Cinta atau balas budi?

Semalaman badai dalam dada tak kunjung mereda, terus berputar hingga membentuk sebuah lubang besar menganga. Entah apa yang ada di pikiran lelaki pemilik hatiku itu sehingga sudah berada di rumah pagi-pagi begini.

"Duluan ya, Kak?" Aku berdiri sambil membawa piring kotor. Tangan kekar pria itu dengan cepat menahan bahuku dan membuatku kembali terduduk.

"Tunggu dulu!" Wajahnya menyiratkan kebingungan yang sangat jelas. "Kita jalan, yuk!

"Ke mana?"

"Kamu lupa, ya? Hari ini undangan pernikahan kita harus diambil. Supaya besok sudah bisa disebar."

Aku mengangguk tanda mengerti. Undangan sudah jadi dan siap dibagikan. Berkas kami juga sudah di KUA. Bahkan, persiapan resepsi pun sudah diurus.

 Bagaimana aku bisa membatalkan sepihak, pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi ini? Setidaknya kali ini saja biarkan aku bersikap masa bodoh!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • After Marriage   BERUBAH-UBAH

    “Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah keramaian ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Aku rasa sudah lebih dari cukup hubungan kami sebatas kakak-adik seperti dulu.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami yang sungguh a

  • After Marriage   PERUBAHAN

    “Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tesentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah supermarket ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Kami kembali menjadi saudara yang saling menyayangi sejak saat itu, dan aku merasa cukup.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami ya

  • After Marriage   Keputusan

    Malam ini, Ibu kembali menginap di rumah Kak Amara. Beliau bilang, Kak Amara sedang sakit dan Kak Dodi masih di luar kota. Ibu tak tega meninggalkannya sendirian mengurus bayi dan kedua kakaknya yang hiperaktif itu.Ada baiknya Ibu tak ada di rumah. Malam ini akan kupastikan Kak Raihan menjawab pertanyaan yang selama ini mengusik hidupku. Jika benar hubungan ini sebatas hubungan di atas kertas, maka aku akan memperjelas situasinya dan mengajukan beberapa syarat, salah satunya tentang perceraian. Entah bagaimana respons Kak Raihan menanggapi semua syarat dariku, yang pasti aku mau hubungan yang jelas. Aku juga ingin segera move on dan mulai menata kembali hatiku supaya bisa membuka hati untuk yang lain. Sudah cukup rasanya aku bertahan selama ini.“Aku mau bicara,” ujarku sambil duduk di sisi kanan sofa ruang TV, sementara dia berada di sisi kirinya.“Kenapa?” tanyanya seolah tanpa dosa.Aku ingin membahas tentang kejadian tadi siang, tapi Kak Rai malah terl

  • After Marriage   STALKING

    Dio datang ke rumah bersama Dina. Aku yang baru saja akan pergi akhirnya mengajak mereka ke cafe tempat Kak Raihan dan Saskia janjian bertemu. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan keberadaan mereka. “Kamu yakin mereka janjian di sini?” tanya Dina tak sabar karena dia yang paling mengerti perasaanku saat ini.“Aku sih dengernya begitu, tapi nggak yakin juga karena Kak Rai kan sudah jalan satu jam sebelum kita ke sini,” jawabku sambil masih mencoba menilik seisi cafe.Dio berjalan menuju toilet yang berseberangan dengan toilet wanita. Aku pikir dia hanya ingin ke kamar kecil. Namun, tidak lama kemudian dia muncul dengan wajah memelas.“Dia nggak ada di toilet juga,” ucapnya polos membuatku dan Dina serempak tertawa.Bocah ganteng ini sungguh benar-benar polos. Dia bisa dengan lugunya berpikir mereka berdua ada di toilet. Astaga, apakah benar ini orang yang sama dengan juara kelas yang kukenal dulu?“Yakali mereka ketemuan di t

  • After Marriage   BIMBANG

    Menjadi seorang istri tapi dengan label adik itu terasa sangat menjengkelkan. Bayangkan saja, ketika suami yang sudah sejak beberapa hari ini kau tunggu kabarnya, kini pulang dengan santai sambil membawa oleh-oleh yang katanya semuanya untukku. Hei, aku ini bukan lagi adik kecil yang perlu oleh-oleh saat kamu pergi jauh. Bukan juga senyum tengil yang kini seolah menjadi hal wajib ketika ada bersamaku. Aku benci dia. Aku benci sikapnya. Bahkan, kini aku sangat membenci senyumnya. Aku benci semua hal tentang dirinya.Aku mengurung diri di dalam kamarku sendiri. Aku tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Biar saja dia kembali ke kamar lamanya. Toh, setelah maupun sebelum menikah sama saja bagiku. Dia tetap Raihan yang sibuk dengan segala kegiatannya.“Sa, ayo makan malam. Suami kamu sudah nungguin tuh dari tadi. Masa Ibu yang harus nemenin, sih?” Ibu mengetuk pintu kamarku pelan. “Nissa nggak lapar, Bu. Ibu sama Kak Raihan makan duluan saja.” Aku bergeming. Aku tak mau ke sana. Untuk ap

  • After Marriage   SAHABAT LAMA

    Hari ini adalah malam kedua Kak Raihan pergi ke Semarang untuk ikut seminar kantor dan hingga saat ini pula chat yang aku kirimkan tak mendapat respons apa pun. Jika saja aku tak punya kesabaran ekstra, tentu sudah kususul dia dan kumaki di depan semua rekan kerjanya. Sebegitu sibuknyakah sampai lupa memberi kabar.Okelah kita anggap dia tengah sibuk, tapi apakah tak ada satu menit pun di sela-sela waktu istirahatnya untuk membaca chat-ku? Kalaupun mungkin handphone Kak Raihan bermasalah, entah hilang atau rusak, harusnya dia bisa memberi kabar lewat telepon rumah. Apa mungkin dia terlalu bersemangat saat pergi dengan Saskia dan menghabiskan waktu istirahatnya berdua saja? Ah, pikiranku semakin kacau. Jujur, yang paling aku sesali sekarang adalah aku tidak pernah mengetahui siapa saja teman Kak Raihan yang bisa kuhubungi di saat genting.“Sa, tolong pergi ke supermarket sebentar, ya. Ibu lupa beli susu buat bikin puding.” Ibu menghampiriku yang tengah memberi makan ikan Koi kesayangan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status