Share

RAGU

Seminggu berselang setelah malam lamaran tak terduga itu. Masih teringat dengan jelas senyum manis dari wajahnya, yang hingga kini masih membuat degup jantung tak karuan.

Malam itu, diriku yang bar-bar berubah menjadi pendiam. Tak ada suara cempreng yang selalu berteriak karena kalah beradu argumen dengannya. Tak ada juga bantal yang melesat dari tanganku menuju wajah bulat berlesung pipi itu.

Aku sibuk meredam suara debaran jantung yang terlalu kencang, seolah takut orang lain pun bisa mendengar. Sesekali melirik ke arah pria berkemeja biru yang juga tampak gelisah. Mungkin ia pun malu, sebagaimana diriku saat itu.

"Hayo ... melamun apaan, nih? Pasti lagi mikirin mau bulan madu ke mana, ya?" Sebuah suara diiringi tepukan ringan pada bahuku sontak membuat lamunan tadi buyar seketika. Gadis itu mengerling ke arahku.

"Apaan, sih? Sah aja belum, udah mikir bulan madu." Aku berpura-pura sibuk dengan map yang masih berserakan di meja, berharap Dina percaya dan tak membahasnya lebih lanjut.

Tak ada sahutan dari bibir kemerahan itu. Ia juga sibuk dengan laporan di mejanya sehingga mungkin tak sempat bercanda lagi.

Dina masih menjadi sahabat baikku. Bahkan, sejak gagal mencomblangi dia dan Kak Raihan, yang kini malah berstatus calon suamiku. Ia bersikap seolah seperti tak pernah ada rasa sebelumnya pada pria itu.

"Kamu dijemput Kak Rai, ya?"

"Nggak."

"Kok calon suami nggak pernah jemput sama sekali? Dulu waktu berstatus kakak, kamu merengek terus minta dijemput. Apa karena aku, ya?" Pertanyaan Dina membuatku merasa bersalah karena tertangkap basah.

Aku tak berani menjawab. Sepintar apa pun aku berbohong, ia selalu tahu. Ia menoleh ke arahku yang semakin menunduk, menahan agar bulir bening tak mengalir dari sudut mata.

"Lakukan apa yang kamu mau dan jangan pikirkan aku. Perasaanku ke Kak Rai itu baru suka pada pandangan pertama. Belum tumbuh jadi cinta. So, just go ahead!"

Dina mencubit kedua pipiku dan memaksa wajah kami saling berhadapan. Air mata yang sejak tadi tertahan, meluncur begitu saja tanpa persiapan. Tak kuasa lagi terbendung karena merasa telah mengkhianati sahabat yang selalu menyayangiku.

"Idih ... calon penganten kok jelek begini, ya? Diet, dong! Pipi kamu tuh udah kayak bakpao, tau!" ejekan Dina bersambut cubitan pada pinggangnya. Kami kembali tertawa tanpa ada rasa canggung yang seminggu ini menemani.

Meja kerja yang bersebelahan membuat kami seakan tak pernah berjauhan. Selalu bersama sejak SMA. Tanpa permisi, Dina mengambil handphone-ku dan mengirim sebuah pesan.

"SMS siapa?" Bukan menjawab, Dina malah pergi membawa beberapa map di tangannya. Ada senyuman tertahan di wajahnya yang membuatku segera mengecek benda pintar itu. Sontak saja aku terperangah melihat isi pesan yang terkirim dan parahnya lagi sudah terbaca.

[Kak, sore ini jemput aku dong. Kangen, nih!]

Aku merutuk kesal. Wajah ini mungkin sudah seperti kepiting rebus. Terdengar suara pesan masuk di handphone. Gemetar aku membaca balasan dari Kak Rai.

[Aku juga kangen sama kamu ....]

Senyum terkembang. Jantungku mulai berpacu dengan cepat. Tak lama pesan selanjutnya masuk.

[Tapi, aku lebih kangen sama Si Kimo. He ...]

What? Kimo? Ikan Koi kesayangan Kak Rai yang ada di rumah. Aku mengerucutkan bibir, merasa kalah saing dengan seekor ikan.

***

Aku masih menunggu Kak Raihan, meskipun jam pulang kantor sudah lewat sepuluh menit yang lalu. Ia sempat memberi kabar bahwa akan sedikit terlambat karena ada urusan mendesak.

Bosan menunggu, aku pergi ke minimarket dekat kantor untuk membeli minuman dan beberapa camilan. Sesekali menengok ke luar kaca transparan untuk melihat kedatangan Kak Rai.

Sebuah mobil putih yang sangat kukenal berhenti tepat di depan minimarket. Posisiku yang berada di dekat kaca tapi terhalang rak roti-roti, sehingga mungkin tak terlihat jelas dari arah luar.

Hampir saja aku berteriak memanggil nama si pengemudi yang sedang berbicara dengan seseorang. Namun, tercekat di kerongkongan saat melihat apa yang dilakukan wanita di sebelahnya.

Wanita cantik itu mencium bibir Kak Rai yang berada di belakang kemudi. Singkat, tapi begitu jelas di mataku. Dadaku bergemuruh menahan perasaan yang bercampur antara sedih, marah, dan cemburu.

Aku masih mematung di tempatku berdiri, saat terlihat wanita tadi memasuki minimarket. Dia berjalan gemulai sambil menelepon seseorang.

Sosok Hawa yang tak memiliki cacat sama sekali. Kulit putih bak porselen dengan tubuh selayaknya model papan atas. Sangat berbanding terbalik denganku yang mempunyai tubuh minimalis.

"Vi, Raihan dijodohin sama anak pemilik panti asuhan sebagai balas budi. Aku nggak mau dong putus gitu aja! Aku masih ngasih dia kesempatan buat batalin lamaran dia. Enak aja tuh cewek main ambil pacar orang--"

Tanpa sengaja terdengar ocehan wanita yang kutebak sebagai mantan atau mungkin masih pacar Kak Raihan.

Remuk redam hati ini tak dapat terdefinisikan lagi. Bunyi telepon dan SMS bergantian masuk dari handphone di tanganku. Ada nama Kak Rai tertera di layar.***

Hari libur ini, aku habiskan mendekam di dalam kamar. Berulang kali Ibu mengetuk pelan dan berlalu setelah mendapat jawaban sama dariku yang menolak untuk keluar.

Sebenarnya penghuni perut sudah memulai orkesnya, meminta segera diisi. Namun, rasa malas mengalahkan keinginanku untuk makan. Ketukan kembali terdengar, kali ini lebih kencang.

"Aku mau di kamar aja, Bu!" seruku dari balik selimut.

Tidak seperti sebelumnya. Kali ini, Ibu malah mengetuk lebih keras lagi. Mau tak mau aku beranjak membuka pintu dengan muka tertekuk.

"Aku lagi nggak mau digang--" suaraku terputus melihat sosok di balik pintu.

Kak Raihan menatap dengan senyuman khasnya. Kalau saja tak mengingat kejadian kemarin, mungkin sekarang aku sudah berjingkrak melihatnya.

Sejak panti asuhan ditutup, hanya beberapa bulan sekali dan saat hari besar saja, ia menginap di rumah kami. Alasannya, ingin belajar mandiri setelah kabar kelulusannya dari SMA.

"Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Kak Rai setelah berhasil memaksaku mengikutinya ke dapur dan makan bersama.

"Nggak kenapa-kenapa, kok. Cuma lagi nggak enak badan, sedikit."

Aku menghabiskan sisa makanan, berharap bisa segera masuk ke kamar. Masih sangat sakit mengingat ciuman gadis itu, jika harus terus berhadapan dengan Kak Rai.

Kemarin setelah mengantarku pulang, Kak Rai sempat bertanya perihal sikapku yang terkesan aneh. Aku memang berusaha bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa. Dalam lubuk hati terdalam aku hanya ingin tahu, siapa yang akan Kak Rai pilih. Cinta atau balas budi?

Semalaman badai dalam dada tak kunjung mereda, terus berputar hingga membentuk sebuah lubang besar menganga. Entah apa yang ada di pikiran lelaki pemilik hatiku itu sehingga sudah berada di rumah pagi-pagi begini.

"Duluan ya, Kak?" Aku berdiri sambil membawa piring kotor. Tangan kekar pria itu dengan cepat menahan bahuku dan membuatku kembali terduduk.

"Tunggu dulu!" Wajahnya menyiratkan kebingungan yang sangat jelas. "Kita jalan, yuk!

"Ke mana?"

"Kamu lupa, ya? Hari ini undangan pernikahan kita harus diambil. Supaya besok sudah bisa disebar."

Aku mengangguk tanda mengerti. Undangan sudah jadi dan siap dibagikan. Berkas kami juga sudah di KUA. Bahkan, persiapan resepsi pun sudah diurus.

 Bagaimana aku bisa membatalkan sepihak, pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi ini? Setidaknya kali ini saja biarkan aku bersikap masa bodoh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status