Share

MALAM PERTAMA

Sosok cantik tersenyum di hadapanku. Bibirnya merah merekah dengan riasan natural. Tak ada bulu mata palsu yang menghias matanya yang sudah indah sejak lahir. Tak ada pula sapuan blush on di pipinya yang merona alami.

Balutan kebaya putih dengan hijab senada, membuat penampilan sosok itu tampak berbeda dari biasa.

Senyum terkembang tanpa henti di bibirnya. Mengingat sebentar lagi, ia akan menempuh hidup yang baru. Mengarungi bahtera kehidupan bersama orang yang dicintainya.

Sosok itu adalah diriku yang terjebak dalam cermin. Di luar sana, Kak Rai tengah mempersiapkan diri untuk membaca ijab kabul.

Andai saja Ayah masih di sini, mungkin Beliau yang akan menikahkanku. Om Tedy, adiknya Ayah, bersedia mengisi posisi wali yang kosong.

Saat yang mendebarkan akhirnya tiba. Kak Rai menjabat erat tangan wali dan mengucap ijab kabul dengan satu helaan napas.

Cairan bening dan hangat mengalir, diiringi ucapan syukur kepada-Nya dari bibirku dan juga keluarga.

Aku mencium tangan Kak Rai dengan takzim. Ia mengusap kepalaku, lembut. Ibu dan seluruh kakak kami di panti yang hadir menatap kami penuh haru. Perasaanku saat ini sudah bercampur aduk, tak dapat dilukiskan walau dengan kata-kata.

***

"Duh ... pegel banget berdiri seharian," keluhku ketika sudah berada di kamar. Aku meluruskan kaki di atas kasur, bersender pada dua bantal yang ditumpuk.

Kak Rai masih beramah tamah pada sahabat dan keluarga yang masih mengobrol di ruang tamu. Aku sempat berpikir, apakah seharian dipajang pada acara resepsi pernikahan kami tak membuatnya lelah?

Aku beringsut ke sisi ranjang, mengambil kotak berpita biru di atas meja. Hadiah itu dari Kak Amara. Ia sendiri yang menaruhnya di kamarku sebelum pergi ke gedung resepsi.

Penasaran, kubuka perlahan. Aku terpekik saat melihat isinya. Baju tidur putih panjang tanpa lengan dengan belahan dada yang cukup lebar.

Isi kado itu seakan menyadarkanku. Bukan hanya jiwa yang bersatu, melainkan juga raga kami. Seketika wajahku terasa panas, mungkin kini sudah sangat merah.

Terdengar suara langkah kaki menuju kamarku. Segera kusembunyikan kado Kak Amara di bawah ranjang. Aku merebahkan tubuh, memejamkan mata senormal mungkin.

Terdengar pintu dibuka dan langkah kaki yang kian mendekat. Aku mengatur napas supaya tak terlihat berpura-pura.

Desahan napas terasa sangat dekat dari wajahku. Hangat. Membuatku tergelitik untuk membuka mata dan memeluk pria yang sudah sah sebagai suami.

Jemarinya terasa membelai wajahku. Mungkin ia berpikir aku benar-benar terlelap. Mulai dari kening, pipi kemudian bibir.

Jantung ini hampir lepas, saat jemarinya tak juga beranjak dari bibirku. Aku sudah tak kuat lagi menjaga mata ini tetap terpejam. Namun, juga malu untuk membukanya.

Jari lembut itu terus menyapu bibirku dan kemudian beralih ke atas. Aku berteriak dan terduduk, saat ia dengan kencang mencubit hidungku.

"Pake acara pura-pura tidur segala, sih!" Kak Rai tergelak melihat hidungku yang merah.

"Iih ... Kak Rai jahat banget!" Aku mengusap hidung yang terasa berdenyut. Tega sekali suamiku ini!

Ia berhenti tertawa dan duduk di sampingku. Ia membawaku dalam pelukannya lama. Aku pun hanyut dalam rengkuhannya.

"Alhamdullillah. Akhirnya perjuangan selama ini berbuah hasil yang kuinginkan," bisiknya lembut di telingaku.

Aku tersenyum, meng-iyakan. Ia menatap lekat wajahku. Perlahan ia mengikis jarak di antara wajah kami. Aku memejamkan mata, menghitung dalam hati.

Lima centi ....

Tiga centi ....

Dan, sebelum kedua bibir ini bertemu. Tiba-tiba suara ketukan keras terdengar dari luar. Suara panik Ibu membuat Kak Rai tergesa membuka pintu.

"Rai, tolong Ibu. Kak Amara mau melahirkan. Ketubannya sudah pecah dan keluar darah."

"Hah ... yang benar, Bu?"

Tanpa menunggu jawaban, Kak Rai melesat ke arah kamar Ibu diikuti aku dan Ibu.

Kak Amara terlihat menahan sakit sambil memegangi perutnya. Cairan bening terus mengalir dari jalan lahir. Suamiku dengan sigap menggendong tubuh hamil yang kesakitan itu menuju mobil.

"Kak Dodi ke mana, Bu?" tanyaku sambil membantu menyiapkan barang yang dibutuhkan saat persalinan. Baju ibu dan bayi serta perlengkapan mandinya.

"Nganter kakakmu yang lain ke Bandara. Dia sudah Ibu telepon. Mungkin sudah balik lagi."

"Aku ganti baju dulu, ya. Aku tadi ketiduran jadi lupa ganti baju. Tunggu aja di mobil." Aku berbohong menutupi sikap bodoh yang lupa mengganti baju karena malu.

"Kamu nggak usah ikut! Jagain Nadin dan Vino. Nggak ada orang lagi di rumah. Mungkin Dodi juga langsung ke rumah sakit." Ibu berlalu setelah mendapat anggukan kepala dariku.

Mereka berangkat dengan iringan doa dalam setiap perjalanannya. Aku berharap Ibu dan bayinya sehat.

Aku mengganti baju dengan kaos panjang dan celana training panjang pula. Aku merebahkan diri di damping Vino dan Nadin yang terlelap tanpa mengetahui kondisi ibunya.

"Malam pertama yang menegangkan!" Aku berguman seiring mata yang terpejam. Kali ini nyata tanpa rekayasa.

***

Ting ... Tong!

Suara bel di pintu pagar membuatku berusaha membuka mata. Pagi mungkin sudah beranjak siang saat mataku menangkap sinar matahari yang menyeruak dari balik tirai.

Seolah mengumpulkan kesadaran, aku memindai seisi kamar. Dua bocil masih terlelap padahal mereka yang membuatku harus menahan kantuk hingga subuh. Keinginan untuk bertemu dengan adik barunya tak bisa sedikit pun mereka tahan.

Mataku berhenti memindai saat menangkap sosok yang baru sehari menjadi suamiku. Orang yang dulu pernah menjadi figur ayah, kakak, bahkan sahabat. Aku berharap, meskipun kami menikah dan sedikit canggung di awal, tetapi perlahan rumah tangga kami akan berjalan seperti layaknya pasangan yang saling mencintai.

Ting ... Tong!

Ah, aku lupa! Suara bel yang membangunkanku tadi malah terabaikan. Salahkan Kak Raihan yang tidur dengan wajah penuh senyum itu. Mau tak mau aku kembali mengingar ciuman hangat semalam. Andai saja duo bocil itu tidak terbangun, mungkin bulan depan sudah akan ada kabar bahagia dari kami. Astaga ... aku semakin melantur.

Suara bel yang ditekan berulang kali ditambah gedoran di pintu membuatku kesal. Tak bisakah orang itu sedikit bersabar. Harusnya dia juga mengerti adab bertamu, bukan malah membuat keributan di saat penghuni rumah masih belum sepenuhnya terjaga.

“Saskia? Ngapain ke sini pagi-pagi?” tanyaku sambil membuka pintu.

Seorang wanita yang tak mungkin aku lupakan seumur hidup itu ada di hadapanku. Wajahnya yang aku yakini memiliki berbagai macam perawatan itu terlihat marah. Wanita itu mengenakan gaun merah terang yang melekat erat di lekuk tubuhnya. Tubuh sintal yang tentu saja akan membuat suami tetanggamu sendiri menoleh. Highheels silver menambah kesan menggoda bagi semua Kaum Adam yang menatapnya.

“Di mana Raihan?” tanyanya ketus.

“Mau apa?” balasku tak kalah ketus. Enak saja pagi-pagi begini sudah mencari suami orang. Pakai baju super seksi lagi. Tanpa sengaja aku melirik baju yang kukenakan. Baju tidur Doraemon kedodoran membuatku bak bebek buruk rupa di hadapan angsa.

“Kamu nggak perlu tahu. Ini adalah urusan kami. Cepat panggil Raihan ke sini. Dia harus ikut aku ke suatu tempat.”

Belum lagi aku melawan ucapannya, suara Kak Raihan menyela. “Ada apa kamu ke sini, Sas?”

“Rai!”

Wanita itu berubah manja dan mendorongku ke samping dengan keras. Tanpa malu ia memeluk tubuh yang hanya berbalutkan kaos putih tipis. Dilihat dari posisi mana pun, sudah pasti tubuh sintal itu menekan tubuh sixpack Kak Rai.

Seolah mengetahui kecemburuanku, Kak Rai segera mendorong tubuh Saskia untuk menjauh. Dengan sopan Kak Rai menyuruh Saskia untuk duduk di sofa diikuti olehku dan Kak Raihan sendiri. Seharusnya aku membuatkan minuman demi menjaga tata krama, tapi kalau tamu yang datang adalah duri dalam daging, tentu aku tak perlu memikirkan itu.

"Ada perlu apa kamu kemari?" tanyaku senormal mungkin sambil menyodorkan bantalan sofa untuk menutupi pahanya itu, sebelum menjadi zina mata suamiku nanti.

Ia menerimanya sambil tersenyum sinis lalu bertanya dengan nada mengejek, "Kamu takut, ya? Takut suamimu itu tergiur pada tubuhku?"

Aku hanya melengos, berusaha bersabar.

"Ada apa, Sas? Pagi-pagi sudah berkunjung. Minggu depan di kantor, kan, bisa ketemu.”

Sontak saja aku kesal mendengar kalimat terakhirnya. Mereka sering bertemu di kantor.

"Aku ingin bicara sama kalian. Kalau di kantor kan cuma ada kamu," jawab Saskia dengan nada manja membuatku ingin muntah.

"Menikahlah denganku, Raihan!"

Kata-kata yang meluncur dari bibir sensualnya itu seolah tanpa filter. Seenaknya menerobos tembok tak kasat mata yang baru kami bangun satu hari lalu.

"Kamu gila, ya?" Aku berdiri tak terima dengan permintaannya. Kak Rai menggenggam tanganku erat. Otomatis, aku kembali terduduk dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir suamiku. Apakah ia sedang mempertimbangkan tawaran Saskia? Aku menggigit bibir bawah, demi menahan gejolak amarah yang hampir memuncak.

"Apa kurangnya aku dibandingkan dia?" Jari telunjuk Saskia mengarah tepat ke wajahku. "Cantik, terpelajar, dan yang terpenting aku ini kaya. Kalau kamu menikahiku, Papa nggak bakal cuma jadiin kamu seorang manajer. Sama sekali tak ada rugi bagimu jika menikahiku, malah untung. Sekarang aku rela jadi yang kedua. Apa lagi yang kamu pikirkan, Raihan?"

Tangan Kak Rai tetap menggenggam tanganku yang bergetar hebat. Jika tidak, mungkin saja sudah melayang ke wajah cantiknya itu. Aku yang sudah berada di ambang murka akhirnya tidak mampu berkata-kata.

"Kamu salah jika berpikir seperti itu, Saskia. Aku sama sekali tidak menginginkan semua yang ada padamu dan keluargamu. Hanya akan ada satu pendamping dalam hidupku. Nissa!"

Saskia mencebik, kemudian dengan angkuh berkata, "Dasar bodoh! Baiklah, jika memang itu yang kamu mau. Satu pendamping, ya?"

Wanita dengan tubuh semampai itu berlalu setelah agak lama menatap lelakiku. Kulihat raut wajah Kak Rai berubah cemas. Entah apa itu. Mungkinkah kariernya yang kini jadi terancam?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status