Malam itu langit sangat cerah dengan taburan bintang-bintang yang membentang cakrawala malam. Mobil-mobil mewah tampak memadati pelataran parkir sebuah hotel mewah bintang lima di Manhattan.
Hotel Manhattan City, sebuah hotel bintang lima milik Tuan Hardin Hawk, ayah Darren. Gedung pencakar langit dengan 30 lantai itu tidak di pungsikan untuk umum. Hanya digunakan untuk acara-acara resmi keluarga Hawk saja, atau digunakan untuk menyambut Clien mereka saat berkunjung ke kota New York.Lobi hotel dijaga dengan sangat ketat oleh beberapa pria bertubuh kekar yang bertugas menjaga keamanan di sana.
Para tamu undangan sudah memadati seisi hotel. Mereka datang berbondong-bondong untuk menghadiri pesta besar-besaran yang diadakan oleh Nyonya Hawk dan suaminya itu. Suatu kehormatan bagi mereka untuk bisa hadir dan menyaksikan pertunangan Darren dan Xavia.Tamu undangan bukan hanya datang dari kota-kota di sekitaran Amerika saja, tapi beberapa di anPukul 12 malam, pesta pun telah usai. Para tamu mulai meninggalkan area pesta dan beralih menuju kamar-kamar hotel yang telah disiapkan untuk mereka. Nyonya Hawk memang menjamu para tamunya dengan sangat baik. Dia menyiapkan kamar-kamar mewah di hotel itu untuk semua tamunya beristirahat. Cuaca di Manhattan sangat dingin malam itu. Namun Darren justru merasa sangat kepanasan, dia sampai membuka seluruh kancing kemejanya sembari duduk lalu berdiri dan mondar-mandir tak jelas di kamarnya. Nyonya Hawk memandanginya dari ambang pintu. Tampaknya obat perangsang yang ia campurkan pada wine yang diminum oleh Darren telah bereaksi. Nyonya Hawk menghembuskan asap rokoknya yang terakhir lalu membuang sisanya ke lantai dan menginjaknya sampai penyek. Dia tersenyum miring lalu melangkahkan tungkainya menuju Darren sembari memegang sebuah kotak perhiasan. "Darren, apa yang sedang kau lakukan, Sayang?" tanya Nyonya Hawk pada puteranya yang sedang tampak
Suhu udara sore itu cukup dingin karena sudah memasuki awal musim dingin di kota New York. Bahkan di pusat kota mulai terlihat butiran-butiran salju yang bertaburan, indah sekali. Musim salju merupakan musim yang paling disukai oleh anak-anak, selain sekolah mereka yang diliburkan, mereka juga bisa menikmati bermain salju di halaman rumah. Namun tidak bagi orang dewasa, musim salju membuat gerak mereka terhambat karena banyak akses jalan yang ditutup karena tebalnya tumpukkan salju. Apalagi jika sampai terjadi badai salju, mereka harus siap siaga untuk mengantisipasinya. Badai salju bisa datang kapan saja, dan badai salju bisa meluluh lantakkan rumah-rumah atau bangunan lainnya. Hm, musim yang menyenangkan tapi juga meresahkan. *** Darren sedang duduk di bangku kebesarannya. Sebuah bolpoint hitam tampak terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Sembari melamun ia memainkan bolpoint itu. Sejak kejadian kemarin malam di hotel
Pukul enam sore Darren sedang berada di kamar mandi. Semburan air hangat dari shower membasahi tubuhnya yang polos. Darren menggosokkan sabun cair yang membusa ke sekujur tubuh atletisnya. Kebetulan wangi sabun itu berbau lavender, persis wangi yang ditimbulkan dari rambut panjang Xavia. Darren mengulas senyum tanpa sadar, dia teringat akan percintaannya dengan Xavia kemarin malam. Sungguh, tak ada percintaan yang lebih indah dari itu, yang pernah ia alami selama ini. Meski dengan Angela sekali pun! Kesucian Xavia sungguh membuatnya sangat menggila. Bahkan ia seakan ingin mengulangnya lagi. Ah, gila! Kejantannannya tiba-tiba menegang. Terngiang-ngiang di telinganya desahan serta erangan Xavia saat dirinya menyentuh tubuh indah gadis itu. Astaga, Darren segera menggelengkan kepalanya. Sial! Apa yang sedang terjadi padanya? Kenapa tiba-tiba otaknya menjadi mesum begitu. Darren segera menyudahi mandinya. Dia mematikan shower lalu meraih handuk putih yang
"Katakan, Darren!" Angela mengguncang kedua bahu Darren dengan tatapan tegasnya. Darren tak bisa menghindar lagi. Dia pun memberanikan diri menatap Angela. Gadis itu memasang wajah cemas menunggu jawabnya. Darren pun mengangguk lesu. Angela membulatkan matanya lalu membungkam mulutnya sembari menggelengkan kepalanya. Dia mundur satu langkah dari pria di depannya itu. Angela pun mulai menangis histeris. Dia hampir tak percaya semua ini. "Angela, aku mohon maafkan aku. Semua itu diluar kendaliku. Percayalah," ucap Darren berusaha meraih bahu Angela, namun Gadis itu menepisnya. "Cukup, Darren. Aku hanya memastikannya saja padamu, karena ibumu baru saja mengirimkan pesan gambar padaku. Ternyata kau benar-benar hanya mempermainkanku saja. Pada akhirnya kau lebih memilih model itu! Aku muak padamu, Darren!" Angela memutar tubuhnya untuk pergi, namun Darren segera mencekal lengannya. "Pesan gambar apa? Apa yang ibuku kirimnkan padamu, Ang
Xavia masih berdiri di ambang pintu. Sepasang netranya mengamati Darren yang tampak mabuk berat. Lantas kenapa Darren minta diantar ke apartemennya? Xavia berpikir sejenak. "Baiklah, Nona Price. Aku tak bisa berlama-lama," tukas Jeremy sembari melepaskan bahunya dari rangkulan Darren. Xavia segera menyambutnya dengan meraih lengan Darren. "Terimakasi, Jeremy." Xavia segera memapah Darren masuki apartemennya setelah Jeremy pamit pergi. "Astaga, Darren. Kenapa kau sampai mabuk begini?" gerutu Xavia sembari memapah Darren menuju kamarnya. Tubuh Darren sangat berat. Xavia sampai tertatih menggiring pria itu menuju tempat tidur. "Istirahatlah," ucap Xavia setelah berhasil merebahkan tubuh Darren ke tengah ranjangnya. Dia segera melepaskan sepasang fantopel yang terpasang pada kedua kaki Darren. Xavia hendak pergi setelah berhasil melepaskan sepatu Darren. Namun tiba-tiba Darren bangkit dari ranjang dan langsung mencekal hingga menarik lengannya.
Jam weker minimalis model digital yang bertandang pada meja nakas menunjukkan pukul enam pagi. Darren yang tadinya masih terlelap dalam pelukkan mimpi mulai terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, menampilkan manik kecokelatan yang tegas namun teduh dipandang. Perlahan Darren mulai bangkit. Tubuh polosnya masih berbalut selimut tebal bad covernya. Dia menetralkan otot-ototnya sembari menguap. Dada bidang atletis terpampang begitu indah dengan perut langsing berkotak-kotak. Rambut kecokelatannya sedikit berantakkan namun tetap enak dipandang. Tiba-tiba dia mengulas senyum mengingat percintaannya semalam bersama ... Bersama siapa? Darren terdiam sejenak seperti sedang berpikir. Xavia? Astaga! Darren mengusap wajahnya lalu sepasang netranya memindai seisi ruangan mewah dimana dirinya berada kini. Ya, ini apartemen Xavia. Namun seingatnya semalam dirinya sedang bercinta dengan Angela. Bahkan beberapa kali di sela percinta
Musim dingin telah berlalu. Sudah satu tahun pasca kejadian malam itu Darren tak pernah lagi mengunjungi rumah mewah orang tuanya. Ternyata rasa kecewa ibunya masih tak kunjung memudar meski sudah satu tahun berlalu. Darren yang sedang dirundung rasa bersalahnya pada Xavia memilih menghabiskan banyak waktunya untuk mengurus kantor. Terkadang dirinya pun lebih memilih bermalam di kamar yang tersedia di ruangan kerjanya daripada harus pulang ke apatrmen. Entah kemana Xavia pergi.. Sudah satu tahun ini Darren berusaha mencarinya tanpa sepengetahuan ibunya. Pasti Nyonya Hawk berpikir Darren baik-baik saja tanpa Xavia. Namun dirinya salah! Darren memang tampak sehat dan baik-baik saja dari luar. Tapi sesunguhnya pria itu sangat dilema dan mengalami sakit yang berkepanjangan setelah Xavia pergi. Adapun beberapa kali dalam satu bulan terakhir ini Tuan Hawk datang mengunjunginya di kantor. Ayahnya itu tentu saja sangat mengkhawatirkan keadaan Darren. Tuah Haw
Pagi itu Darren sedang berada di kamarnya. Persiapan untuk segera berangkat ke Paris pagi ini juga sedang ia lakukan. Undangan pameran lukisan itu sungguh membuatnya gelisah semalaman. Darren sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Xavia. Darren memasukkan beberapa stelan jas ke dalam koper yang bertandang di atas ranjangnya. Sembari bersenandung lagu Jason Mraz idolanya Darren merapikkan seisi koper itu. Nyonya Hawk yang berdiri sembari bersandar pada kusen pintu tampak mengulas senyum melihat Darren yang tampak sangat bersemangat pagi ini. Ya, dia berdoa dalam hati agar Darren dan Xavia bisa bertemu lalu melanjutkan pernikahan mereka yang sempat tertunda. Nyonya Hawk sangat bersyukur karena Nyonya Altano mengiriminya undangan pameran itu. Jika bukan karena itu, entah harus bagaimana lagi dirinya membantu Darren menemukan Xavia. Tanpa memadamkan senyumnya Nyonya Hawk segera berjalan menuju pria dengan stelan jas hitam di depannya. "Apakah semuany