Rumah minimalis dua lantai, dinding bercat putih, dan pagar berwarna hitam telah siap dihuni oleh pasangan pengantin yang resmi menikah dua bulan lalu. Rumah inilah yang akan menjadi tempat di mana Laura dan Abraham menjalin kasih, membesarkan anak-anak mereka kelak dan menghabiskan masa tua bersama. Betapa Laura menjadi orang yang paling bahagia. Satu unit tenda telah terpasang di depan rumah. Kursi beserta meja telah tersusun rapi dengan balutan kain berwarna putih. Hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu Laura beserta keluarganya. Tasyukuran pindah rumah akan digelar malam ini dengan mengundang remaja masjid sebagai pembaca ayat-ayat suci Al-qur’an yang dipimpin oleh ketua takmir. Acara pun dimulai setelah Abraham mengucapkan sepatah dua patah kata sambutan selaku tuan rumah. Laura menengadahkan telapak tangannya—mengucap rasa syu
Gigi adalah satu-satunya penghubung antara Laura dan Galileo. Sudah sejak satu tahun yang lalu Laura mempercayakan Galileo untuk merapikan susunan dari giginya yang terbilang rapi namun tidak cantik. Dan sekarang tinggal memilih waktu yang tepat saja untuk melepasnya.“Yang bener?!?” Laura tiba-tiba saja melebarkan matanya karena kabar yang Galileo berikan. Galileo mengangguk mantap ketika sesi kontrol gigi itu berakhir. “Aku jadi nggak sabar. Kapan rencananya?”“Kita lihat dua sampai tiga bulan ke depan ya. Aku harus pastikan gigimu nggak
Seruputan terakhir Americano menyadarkan Abraham. Pukul 01.00 dini hari dan sebentar lagi café milik Danesha akan segera ditutup. Suasana café yang berangsur sepi menandakan kalau dirinya juga harus bergegas pulang menemui Sang Istri di rumah. Abraham mengecek ponsel yang sejak awal ia telantarkan di meja bersama dengan dua gelas kosong yang telah tandas sejak beberapa jam yang lalu. Hampir tidak ada pesan ataupun telepon dari Laura. Salahnya juga kenapa ia tidak mencoba menghubungi istrinya lebih dulu saat istirahat siang. Apalagi ia juga tahu kalau hari ini Laura akan ke klinik untuk kontrol bersama Galileo. Bicara soal Galileo, Abraham menggeram dengan tangan mengepal. Ia hampir tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya saat Laura tengah bersama laki-laki itu. Kerja nalarnya buntu seketika. Abraham bahkan tidak tahu kenapa dirinya berubah seperti ini. Bahkan ketika ia dulu bersama dengan Alana, rasa itu tidak pernah ada. Ralat. Ada, tapi tidak membabi buta seperti s
Sesuai janjinya Abraham pergi menemui Alana di tempat yang telah mereka berdua sepakati sebelumnya. Jam makan siang membuat restoran keluarga ini tampak ramai di kunjungi oleh pengunjung. Abraham menyeruput es teller yang baru saja ia pesan sembari memperhatikan Alana yang tengah menyendok besar spagetti bolognise yang menjadi makanan kesukaannya ke dalam mulut lebarnya. Tingkah Alana itu membuat pikiran Abraham berkelana ke sepuluh tahun yang lalu. Di mana ketika keduanya masih bersama. Di mana waktu seakan terasa indah ketika menghabiskan waktu bersama-sama. Di mana mereka pernah dinobatkan menjadi best couple saat mengikuti ajang di kampus. Sayangnya itu dulu. Dulu ketika dirinya masih terlalu naif atas semua sandiwara yang selama ini telah Alana lakukan terhadapnya. Senyum seringai menghiasi garis bibir Abraham. Ia bahkan malu sendiri karena sadar akan kebodohannya itu.“Langsung saja, Al. Apa yang telah kamu katakan pada Laura di klinik kemarin? Jawab secara jujur
Laura mengerjapkan matanya berulang kali. Sosok Abraham sudah menyambutnya di depan pintu lift yang terbuka. Senyumnya yang sejak kemarin tidak Laura lihat mendadak membuat dirinya dilanda rindu. Jika bukan karena pemandangan sialan siang itu, Laura tentu tidak akan pergi dari rumah semalaman. Laura mengalihkan pandang ke Freya yang malah tampak biasa saja melihat kemunculan Abraham di depannya. Sahabatnya itu tampak tidak terkejut dengan kehadiran Abraham di apartemennya.“Aku kangen.” Itu adalah sapaan pertama yang berhasil membuat hati Laura melemah. “Kamu masih mau pulang bersamaku, kan?” See? Salahkah jika Laura menjadi lunak karena ditanyai seperti itu? “Daripada pulang ke rumah Mama, gimana kalau kita pulang ke rumah kita saja?”Ulah Si Freya rupanya, batin Laura.Laura kembali mengalihkan pandang ke arah Freya yang sudah terngaga melihat tingkah laku Abraham. Lucu sih, tapi sayangnya
Permasalahan Alana meredup seketika. Dan beberapa minggu terakhir ini Laura dan Abraham kembali dengan rutinitas mereka biasanya. Bekerja sesuai bidang yang mereka geluti sembari menebar cinta di mana-mana. Mereka kembali pada masa-masa honeymoon untuk kesekian kalinya. Hampir disetiap sudut rumah sudah pernah mereka berdua jelajahi menjadi tempat percintaan panas mereka. Dan yang paling ekstrem menurut Laura adalah di dalam mobil saat perjalanan pulang menuju rumah. Bayangkan saja Abraham memintanya melakukan blowjob ditengah-tengah kemacetan sebagai appetizer dan dilanjutkan dengan main course di garasi. Sungguh tidak perlu diragukan lagi keperkasaan suaminya itu. Libidonya tidak pernah turun walau sehari. Dan puncak dari semua hari adalah ketika weekend tiba. Laura akan dibuat tidak bisa berjalan karena harus melayani urusan bawah perut suaminya itu. Tapi setidaknya Laura cukup bahagia sekarang dan mulai menikmati kehidupan pasangan suami istri yang tentram.Sore itu sepul
Laura membuka pintu mobil segera setelah mobil masuk ke area garasi. Napasnya memburu menahan gejolak yang sedang ia rasakan dihatinya. Istri mana yang tidak kecewa mendengar suami yang telah ia nikahi ternyata memiliki keturunan dengan perempuan lain. Parahnya lagi Abraham menampik semua itu. Sejujurnya Laura ingin mempercayainya, tapi perilaku bocah laki-laki itu pada Abraham sungguh sulit ia hilangkan dari pikirannya. Mini dress yang tengah Laura kenakan ia buka sehingga menyisakan tubuh yang hanya berbalutkan bra dan panties berwarna nude. Setelan babydoll Laura ambil dari dalam lemari, namun buru-buru Abraham mencegahnya. Kalau Abraham sudah bertingkah seperti ini, maka sudah dapat dipastikan hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Oleh sebab itu dengan terburu-buru pula Laura mendorong tubuh Abraham hingga mundur beberapa langkah.“Aku nggak mau ada sentuhan malam ini,” kata Laura datar. Bahkan terdengar sedingin es.“Terus kamu ingin aku melakuk
“Kamu gila?!?”Letusan yang menyadarkan Laura adalah letusan yang berasal dari Freya. Memang sejak dulu Freya adalah pematik dari setiap tindakan yang akan Laura ambil.“Tolong jangan mengundang keributan, Frey. Aku sudah cukup pusing memendam ini sendiri sejak kemarin,” desah Laura. Sebenarnya bukan kehendak Laura membuka aib suaminya itu, tapi saat ini ia memerlukan saran dari orang luar yang mungkin bisa membuka otaknya. Dan Freya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang Laura percayai. “Aku bingung, Frey. Awalnya aku mengamuk dengan Mas Abe saat tahu pertama kali, tapi lambat laun aku malah kehabisan semangat dan menerima keadaan.”“Itu sebabnya aku bilang kamu gila. Kamu itu aneh, La. Masalah ini nggak bisa kamu sepelekan karena ini sudah menyangkut kedudukanmu di rumah. Bilang padaku apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?”Laura menyandarkan tubuh di punggung kursi kerjanya kemudian menghela
Rasa pusing itu datang sedemikian hebatnya ketika Laura hendak beranjak dari peraduannya. Jam di nakas sudah menunjukkan pukul enam pagi dan itu artinya Laura harus segera bangun mempersiapkan segala kebutuhannya dan Abraham. Tpi sakit kepala yang datang tiba-tiba ini membuatnya kesulitan untuk bangun. Aroma sabun menyapa hidung Laura. Abraham keluar dari dalam kamar mandi dengan balutan handuk yang masih melilit pinggang. Kecupan ringan dipucuk kepalanya spontan membuat Laura mengalungkan lengannya di leher Abraham.“Bangun yuk!” ajak Abraham dengan satu tangan memeluk Laura, sementara tangan lainnya menyangga tubuhnya agar tidak menindih Laura. “Kok tumben sejak semalam nempel banget sama aku, hm?” Abraham mengusap punggung Laura pelan kemudian menggantinya dengan ciuman pada bibir penuh yang tampak menggoda imannya itu. “Hari ini mau bolos kerja lagi?”Laura menggeleng tanpa melepas pelukannya. “Nggak mungkin, Mas. Nanti aku