Ibunya meninggalkannya sendirian. Rhea menyukai sifatnya yang penuh perhatian, tahu bahwa dia butuh waktu sendiri di kamarnya, tempat yang pernah menjadi tempat dia menghabiskan sebagian besar waktu di masa anak-anak hinggga remaja.
Dia melihat-lihat sekelilingnya dan tatapannya berakhir di meja belajarnya. Kamarnya tidak berubah, bahkan letak penempatan deretan pulpennya yang ia atur sesuai warna tetap berbaris rapi di raknya.
Rhea menyunggingkan senyum dan duduk di kursi belajarnya. Tidak ada debu yang melapisi furnitur telah memberikan jawaban bahwa kamarnya telah rutin dibersihkan secara berkala. Ia menyenderkan kepalanya ke alas meja, merasakan nostalgia.
Rhea remaja selalu berteman dengan meja belajarnya. Tidak mengenal waktu dalam belajar dan menggambar hingga tangannya pegal dan sempat kram. Ia juga membaca naskah-naskah perannya di awal karirnya disini. Mengingat semua itu membuatnya menyesalkan diri karena dia jarang pulang ke rumah, pulang ke kamarnya yang hangat dan nyaman, alih-alih dia lebih memilih tinggal di apartemen.
Dia menghela nafas. Tidak berlama-lama duduk, ia sekarang bangkit dan berjalan menuju balkonnya. Pemandangan tepat di luar kamarnya adalah kebun milik ibunya yang berisi berbagai tanaman hias warna-warni. Ibunya dengan khusus membuat taman itu didepan balkon kamarnya ketika dia memintanya. Ya, Rhea menyukai bunga. Bunga matahari lebih tepatnya.
Rhea tertawa. Tertawa getir. Dia ingin kembali menjadi dirinya yang dulu. Dia bisa melihat anak kecil dengan kepang dua yang berlari-lari menyusuri taman bunga miliknya. Menyentuh kelopak-kelopak warna-warni tanpa merisaukan apapun dalam dunia utopianya.
Suara ketukan membuatnya terbangun dari khayalannya.
"Rhea, boleh aku masuk?"
Terdengar suara Hansa yang terendam oleh dinding kamar.
"Silahkan," balasnya.
Hansa telah melepas jasnya, menyisakan kemeja biru tuanya yang dua kancing atasnya dibiarkan terbuka.
"Kamu suka bunga?" Dia berdiri disamping Rhea. Bersandar di balkon dan melihat ladang tanaman. "Kita bisa membuat taman bunga di rumah nanti." Lanjutnya.
"Benarkah?"
"Ya, kamu bisa melakukan semua yang kau mau. Kamu nyonya rumah." Hansa menjelaskan.
Rhea mengesampingkan tubuhnya agar bisa melihat Hansa. "Kenapa kau mencariku? Ada yang ingin kau bicarakan?"
"Ah, itu..." Hansa menyisir rambutnya dan memilih memandang ke lain arah selain menatap istrinya. Matanya menyipit terkena pancaran sinar matahari pagi. "Aku hanya ingin memberitahumu, aku tidak sesuai yang media tulis." Terangnya.
Rhea mengerjapkan matanya, tampak bingung.
"Maksudku, aku bukan orang yang dingin, kejam, tidak berperasaan-," Hansa menyebutkan berbagai sifat tentang dirinya yang ditulis berita dengan canggung. "- mengerikan, dan aku bukan-"
Tawa Rhea menghentikannya untuk melanjutkan.
"Ada yang salah?" Dia bertanya, bingung.
Tawa Rhea semakin keras, wanita itu memegangi perutnya dan tangannya mencengkeram pagar balkon sebagai sandaran. Dia menggeleng dan menyibakkan tangannya ke udara.
"Oh maaf... Aku tidak mencoba untuk menertawakanmu," nafasnya tersengal. "Hanya saja itu lucu."
"-dan aku bukan gay." Tutup Hansa dengan ekspresi tabah.
"O…kay?" Rhea menatap Hansa, masih dalam keadaan menahan tawa. "Biar imbang, aku akan menyebutkan apa yang media tulis tentangku." Imbuhnya.
"Kejam, kasar, tukang bully, pengg-"
"Stop. Tolong jangan melanjutkan, aku tahu kamu tidak seperti itu." Pinta Hansa.
"Sekali lagi kamu bersikap aneh. Kita tidak saling mengenal, mungkin saja rumor di media tentangku itu benar."
"Kamu orang baik." Hansa bersikukuh.
"Ya ya ya terserah." Rhea memutar bola matanya. "Tapi aku tidak akan bersikap baik untukmu."
"Kita lihat saja."
***"Rumah ini selalu terbuka untuk kalian." Kata Theodorus saat Rhea dan Hansa berpamitan.
"Ayah dan Ibu harus jaga diri, jaga kesehatan." Rhea mengingatkan.
"Tentu saja sayang, ayah masih ingin lihat anak ayah sampai tua."
Mereka saling berpelukan. Rhea berganti kearah ibunya. Christina memeluk erat anak perempuan satu-satunya itu. "Hati-hati di jalan."
Hansa memeluk pinggang Rhea dan menuntunnya ke dalam mobil. Jeremy dengan sigap mengikuti sambil membawa koper Rhea untuk dimasukkan ke bagasi.
Jeremy tidak bisa untuk tidak melirik nyonya barunya lewat kaca mobil sepanjang perjalanan. Rhea itu cantik, jenis kecantikan yang sulit untuk dilupakan dalam sekali pandang. Pada perjalanan pertama, atmosfer dalam ruangan terasa aneh dan mencekik. Suami istri dibelakangnya duduk menjauh satu sama lain dan tidak ada kata satupun yang terucap. Jika dia tidak melihat dengan kepala sendiri pernikahan mereka, Jeremy tidak akan tahu kalau mereka berpasangan. Entah apa yang dipikirkan bosnya sehingga menikahi aktris secara mendadak, Jeremy tidak berani untuk bertanya lebih jauh.
"Kau pasti akan menyukai Bi Darsa, dia ahli merawat tumbuhan. Dia akan membantumu membuat taman bunga sesuai keinginanmu." Hansa memulai pembicaraan.
Faktanya, dia sedikit cemburu pada smartphone yang Rhea pegang sekarang. Istrinya tampak asyik bermain gawainya dan menghiraukan suami tampan yang berada disampingnya.
"Hmm." Rhea membalas dengan singkat. Tampak tak tertarik dengan pembicaraan ini.
Hansa mengerutkan keningnya. Kenapa Rhea kembali bersikap dingin? Dia mencoba mencari topik lain.
"Apa kamu menyukai anj-" dia tidak meneruskan kalimat ketika melihat Rhea mengangkat telepon.
"Ada apa?" Rhea bertanya tanpa basa-basi. Kay hanya akan langsung meneleponnya dalam urusan bisnis. Jika selain itu, dia akan memberi pesan tulis terlebih dahulu untuk bertanya apakah dia mengganggu Rhea atau tidak. Mereka banyak berbicara tentang gosip dunia hiburan. Rhea bisa mengetahui berita dan rumor terbaru dari para selebriti berkat Kay.
"Pak Bertha memaksaku bertanya kepadamu, kapan kamu mengadakan konferensi pers?"
"Konferensi pers tentang apa?" Dia meminta kejelasan.
"Pernikahanmu tentu saja."
Rhea menggerutu kesal. Menurutnya berita semacam pernikahan itu tidak penting. Apalagi yang dinikahinya bukan sesama selebriti. Dan dia tidak merasa perlu untuk mengadakan konferensi pers ketika semua orang sudah mengetahui beritanya.
"Tidak akan ada konferensi." Dia memutuskan.
"Serius? Pak Bertha tidak akan menyukai ini." Kay memastikan.
"Dengar Kay, kenapa aku harus melakukan konferensi ketika semua orang sudah tahu berita pernikahanku? Lagipula aku menikahi orang non selebriti," Rhea melirik Hansa. "Dan dia tidak mau melakukannya."
"Aku mau. Kenapa tidak?" Hansa menyahut.
Dia mendapat pelototan Rhea untuk itu.
"Pokoknya aku tidak mau." Putusnya. Rhea memutuskan sambungan telepon.
Menyandarkan tubuh, Rhea menoleh menatap Hansa. "Kenapa kamu bilang mau melakukannya?"
"Aku menyukainya."
Rhea mendengus. "Aku sudah memutuskan ini. Kita tidak akan terlihat bersama di depan publik kecuali dalam peristiwa penting." Terangnya.
"Kupikir kita sudah memiliki kesepakatan untuk hal ini." Hansa mengingatkan.
"Dengar Hansa. Ini mengenai karirku. Aku memiliki rencana jangka panjang untuk karirku dan aku tidak ingin orang-orang menilai keartisanku menanjak karena menikahimu."
"Oh, maafkan aku. Aku yakin orang-orang akan menilaimu karena kemampuanmu. Kamu artis yang berbakat."
"Oh ya?" Rhea dengan skeptis bertanya. "Memangnya kamu pernah melihat aktingku?"
"Tentu saja aku telah melihat semua film-film istriku." Hansa menjawab dalam nada ceria sambil menyunggingkan senyum manis.
Jeremy secara tidak sadar menginjak rem. Dia tergagap, apa tadi? Bosnya berkata dengan nada kekanakan dan tersenyum?
"Duh!"
Akibat dari rem mendadak, Rhea yang lupa memakai sabuk pengaman tersentak dan mencari pegangan. dia merasakan pegangan yang pas di tangannya dan terasa hangat.
Hansa menahan tawa saat merasakan tangan Rhea di pangkal pahanya. Betapa dia menyukai kejadian ini.
"Sial!" Rhea mengumpat ketika menyadari dimana letak tangannya berada. Rona merah muncul di pipinya, terlebih ketika ingin menarik tangannya, tangan Hansa mencegahnya.
"Hansa," Ia memperingatkan.
Rhea duduk dengan canggung setelah berhasil menarik tangannya. Rasa ingin mengumpati Jeremy membuncak.
Dia baru sadar, kenapa ketika bersama Hansa selalu terjadi hal-hal yang memalukan?!
Rhea menatap dirinya di cermin. Jelas dia sedang tidak dalam keadaan baik. Rambutnya kusut karena ia sendiri lupa kapan menyisir rambut. Pelupuk matanya sedikit bengkak karena habis menangis satu malam. Rhea tidak menyukai tampilannya.Dia melewatkan sarapan bersama pagi ini karena ingin menghindari ibunya. Dia juga akan keluar rumah hari ini, pergi ke tempat baru yang akan ia tuju mengikuti seberapa jauh dia bisa mengendarai mobilnya. Sendirian, tanpa memberitahu Kay atau siapapun. Dia ingin menghilang sejenak, menenangkan diri, dan berpikir mengenai masa depannya yang baru.Dia memakai jaket dengan kaos putih dibaliknya dan ripped jeans yang ia beli beberapa tahun yang lalu yang untungnya masih muat. Dia memakai pakaian yang seadanya yang masih tertinggal di lemarinya.Ketika dia keluar, dia berpapasan dengan Eda.Adiknya bertanya, "Mau kemana?""Pergi." Balasnya singkat.Eda menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk, lalu pergi.
Dua hari setelah dia bangun dari koma dan dinyatakan sehat, dia akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Rhea senang dengan hal itu karena dia tidak menyukai berlama-lama tinggal di ruangan dengan alat-alat kesehatan dan bau obat yang menguar di setiap dindingnya.Berbeda dengan sikap penuh bunga yang ditampilkan Rhea. Christina menampilkan aura sebaliknya. Bukan karena dia tidak suka anaknya sembuh, Christina bahkan hampir gila ketika menunggui Rhea agar terbangun dari komanya yang berjalan selama sepuluh hari. Hanya saja, dia sebal dan ingin mulutnya gatal untuk memarahi anak sulungnya itu yang sekarang duduk di kursi belakang mobil suaminya dengan Edward disampingnya.Rhea tidak seharusnya pulang kerumahnya. Dia harusnya pulang bersama Hansa, bukan bersama mereka.Christina sebagai ibu sudah menyadari hubungan Rhea dengan suaminya sedang kisruh alias tidak sedang baik-baik saja. Itu membuatnya bingung, dia hanya tidak mengerti jalan pikiran anaknya yang sepert
Hansa seketika mematung. Dia sangat terkejut dengan perkataan Rhea yang tiba-tiba mengungkit soal perceraian. Tangannya berhenti bergerak dan dia menatap Rhea yang sekarang tengah memalingkan muka dan menolak menatapnya.Kedua mertuanya yang berdiri disampingnya juga sangat terkejut atas perkataan Rhea. Bagaimana tidak? Kalimat pertama yang diucapkan Rhea selepas terbangun dari komanya adalah meminta perceraian didepan suaminya yang merawatnya dengan baik ketika dia tenggelam dalam koma."Rhea, apa kau sadar apa yang kau katakan?" Christina bertanya dengan penuh kehati-hatian. Dia melirik menantunya yang wajahnya langsung berubah drastis dari kebahagiaan menjadi penuh tanda tanya.Rhea menolak untuk melihat mereka. Matanya menunduk dan lebih memilih melihat selang infus yang menyalurkan nutrisi ke tubuhnya."Kalian keluar saja. Aku ingin sendirian bersama Hansa." Ucapnya enggan.Christina ingin mendebat namun tangan Theodorus yang menyentuh bahunya
Rhea terduduk saking tidak bisa berdirinya dia setelah mengetahui akhir kisah dari Sekar yang ada dalam mimpinya. Itu bukan kisah yang akan dia harapkan. Rhea tidak pernah menebak Sekar akan berakhir mati di tangan Arya, juga tidak pernah menebak kehidupan pernikahan Sekar akan lebih sering terselimuti duri dibanding bahagia.Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua matanya yang ia tujukan kepada Sekar yang masih duduk didepannya."Sekarang kamu telah tahu ceritaku." Sekar menatap Rhea dengan pandangan yang tak terbaca.Itu membuat Rhea semakin tidak mengerti kenapa dia harus memiliki pengalaman seperti ini. Dia sendiri tidak tahu dia masih hidup atau mati, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan tokoh di mimpinya. Rasa-rasanya Rhea sudah tahu seperti apa keterkaitan antara mereka berdua tetapi dia mencoba untuk tidak berpikir kearah itu."Jatuh cinta membuat kita bodoh bukan?" Tanya Sekar, melanjutkan kisahnya dengan
Tepat hari minggu pertama sejak istana berduka atas kematian permaisuri, alun-alun kota ramai dengan berbagai kalangan yang kesemuanya punya satu tujuan. Melihat perang tanding antara rajanya dengan patihnya hingga salah satu diantara mereka mati.Mereka semua sudah tahu mengenai berita cinta segitiga diantara raja ratu dan patihnya. Rakyat biasa mengira itu hanyalah rumor yang dibuat untuk mencoreng nama permaisuri. Namun sekarang melihat dua pria itu bertanding yang kabarnya berhubungan dengan kematian Sekar membuat mereka tertarik mendengar gosip lebih dalam lagi.Pertandingan masih akan dimulai di sore hari namun saat siang alun-alun sudah padat dengan orang. Para pejabat kerajaan sudah berdiri di poskonya masing-masing. Terbagi menjadi dua kubu. Kubu pendukung Ayudhipa dan kubu pendukung Arya yang rata-rata dari prajurit bekas perang terakhir.Ketika matahari mulai tergelincir dari puncaknya, rombongan Aryalah yang pertama kali muncul. Dia
Arya langsung melepaskan gagang pedangnya. Seluruh tubuhnya gemetar ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Tidak," bisiknya.Dia terduduk lemas ditanah. Matanya menatap siapa yang ia hunus dengan pandangan tidak percaya.Ini semua tidak ada dalam rencananya.Ayudhipa lah yang ingin dia bunuh. Bukan perempuan yang dicintainya yang sekarang tengah berbaring di tanah didepannya dengan darah bersimbah di perutnya."Sekar!" Teriak Ayudhipa.Pria itu menatap pedang yang menancap di perut Sekar dengan ketakutan. Dia segera bersimpuh dan memangkunya."Rwanda!" Teriaknya. Memanggil bawahannya yang izin buang air kecil.Senopati muda itu datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan rajanya. Matanya melihat kejadian didepannya dan keterkejutan serta ketakutan terlihat di matanya."Panggil tabib! Cepat!" Perintah Ayudhipa. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya telah berkac