Share

10. Sebuah Keluarga

Ini adalah situasi yang canggung.

Rhea ingin merutuki kebodohannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar mandi. Bukan, dia menyalahkan makanan pedas yang tadi malam ia makan. Bukan, ia lebih suka menyalahkan Hansa. Ya, dia lah yang bersalah dalam menciptakan adegan yang penuh kecanggungan ini.

Mereka saling berpandangan. Wajah panik Rhea dan wajah kebingungan Hansa yang masih tidak mengerti keadaan.

"Mesum!" Ia menyalak. 

Hansa segera tersadar dan sebelum botol sampo itu mendarat ke kepalanya, dia menutup kembali pintu kamar mandi secepat tangannya bisa.

Pipi Rhea memerah meski dia tidak mandi uap hari ini. Sial! Hari paginya yang sempurna harus dihancurkan oleh kejadian memalukan. Ia mendengar gumaman dari balik pintu. Rhea mengerang kesal. Tuhan! Kenapa laki-laki itu masih berdiri di depan kamar mandi?

Hal pertama yang ia lihat setelah membuka pintu kamar mandi adalah sosok Hansa yang berdiri didepannya. Tunggu, kenapa pipinya memerah? Ketika Rhea menyadari alasannya, kekesalannya kembali meluap.

"Kamu!" Geramnya. Ia berdecak kesal. Tidak melanjutkan kalimatnya pada akhirnya dan memilih menghentakkan kaki dengan kesal menuju ruang ganti.

Hidup bersama orang asing yang sialnya adalah suaminya membuat Rhea frustasi. Dia menyesal telah mengucapkan kalimat heroik di altar pernikahan dan mulai menyesali kenapa dia dengan mudahnya berkata 'saya bersedia' dan sekarang dia terjebak dalam pernikahan yang tidak dia inginkan. 

Sial!

Hansa masih memerah. Dia memilih untuk mandi air dingin, mencoba untuk menghilangkan sosok Rhea di pikirannya yang sayangnya sulit dihilangkan. Pada akhirnya pemikiran tentang pergi mengunjungi mertuanya berhasil menyadarkannya. Dia tidak boleh terlambat. Terlambat sangat dilarang.

Pada akhirnya Rhea tidak menjawab pertanyaannya mengenai hal yang disukai orangtuanya. Untungnya dia memiliki orang yang diandalkan untuk menyediakan ini itu. Jeremy bisa mengaturnya.

"Rhea, ini Jeremy. Jeremy, ini Rhea." Hansa memperkenalkan mereka sebelum masuk ke mobil.

Perjalanan menuju kediaman Aslein sekitar setengah jam. Rhea masih tidak berbicara dengannya selepas insiden itu. Rupanya pemandangan jalan raya lebih menarik perhatian dibanding melihatnya. Hansa tidak menyalahkannya, dia mengakui dia yang salah karena membuka pintu tiba-tiba.

Aslein menyukai warna putih. Meski areanya tidak sebesar rumahnya. Kemegahan arsitekturnya yang bergaya eropa barat memancarkan aura kekuasaan. Hansa memperhatikan hal ini dengan ketertarikan penuh. Faktanya, ini kali pertama dia berkunjung ke rumah Rhea.

Tuan rumah telah menunggunya di depan pintu utama. Theodorus memakai kaos kasual, yang membut Hansa merasa salah kostum karena dia memakai setelan jas. Ibu mertua tercintanya, Christina memakai dress polos berwarna bunga lavender yang cocok dengan karakternya. Terakhir, ada Edward Aslein dengan tampilan khas remaja pada umumnya yaitu memakai kemeja kotak-kotak.

"Yah, Bu." Rhea memeluk mereka bergantian. Lalu menuju ke saudara laki-lakinya.

"Tuan, nyonya." Hansa menyalami dengan canggung namun hormat.

"Kami telah menunggu kalian. Ayo masuk," ajak Christina.

Jeremy memberi kode dan Hansa langsung bertindak. "Kami membawa hadiah untuk ayah dan ibu mertua."

Rhea mengangkat alisnya ketika Hansa berjalan menuju bagasi dan membukanya.

"Wow," komentar Edward yang mengintip isinya.

Rhea beringsut untuk melihat apa yang dibawa Hansa. Rupanya pria itu bertekad untuk mengambil hati orang tuanya dengan hadiah. Usaha yang sia-sia, seolah orangtuanya akan bersikap lunak padanya hanya dengan sesuap hadiah.

Ada delapan kotak dari berbagai ukuran. Semuanya telah dibungkus rapi. 

"Ya ampun, jadi merasa ngerepotin." Christina menggandeng tangan Hansa dan mengajaknya masuk setelah memberi arahan pelayannya untuk membawa barang-barang ke dalam.

Edward, Theodorus, dan Rhea berjalan mengikuti di belakangnya.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya ayahnya.

"Baik yah."

"Bagaimana malamnya?" Eda dengan jahil bertanya.

Rhea mencubit lengannya untuk itu dan dia mendapat jeweran telinga dari ayahnya.

Mereka dibawa keruang makan dimana Rhea segera mengetahui bahwa ibunya bersikap berlebihan. Jujur saja, ini hanya mereka ber enam yang duduk di meja makan tetapi hidangan diatas meja cukup untuk sepuluh orang. 

"Ini makan. Ini tante sendiri yang masak loh buat Hansa." Christina menyodorkan makanan khas eropa barat, paella, yang terbuat dari nasi dan berbagai seafood.

"Bagaimana?"

"Enak, nyonya." Balas Hansa.

"Aduhh kok manggilnya kembali jadi nyonya sih? Sekarang kamu kan suami Rhea, panggil ibu juga dong harusnya." Protes Christina.

"Enak, bu." Hansa mengulang.

Hansa merasa kehangatan yang tidak bisa dia uraikan dengan kata-kata. Pemandangan di meja makan dengan kedua orang tua yang perhatian dan menanyakan kabar beserta candaannya membuat Hansa nyaman dan betah untuk tinggal. Masakan nyonya Christina juga enak, Hansa tidak berbohong soal itu. Rhea benar-benar beruntung memiliki keluarga yang mencintai dan peduli padanya.

Setelah acara sarapan selesai. Hansa segera dipanggil oleh ayah mertuanya ke ruang depan untuk diajak bermain catur.

Hansa tidak pandai memainkannya dan segera dalam waktu tiga puluh menit, dia telah kalah dua ronde.

"Hansa, " Theodorus memulai setelah dia memenangkan permainan untuk ketiga kalinya. "Apapun berita mengenai Rhea di media itu tidak benar." 

"Saya sudah tahu, ayah."

Theodorus mengangguk angguk mendengar jawaban menantunya. "Dia mungkin terlihat tegar, kuat, dan percaya diri, yang memang itu adalah sifatnya. Tapi saya sebagai ayahnya tahu, dia terkadang berpura-pura terlihat baik-baik saja didepan semua orang. Sama seperti saya sebenarnya."  Theodorus tersenyum saat mengenang karakter putrinya.

"Saya mendidiknya untuk menjadi orang yang mandiri. Sewaktu dia ingin menjadi artis, saya takut kalau dia tidak bisa bertahan, kamu tahu sendiri kan dunia hiburan itu bagaimana. Tapi lagi-lagi dia bisa mengejutkan saya. Mungkin banyak orang yang mengira kalau dia memakai nama keluarga untuk berkarir, tetapi saya tahu sendiri perjuangan Rhea, dimulai dari ikut casting sana-sini, tidak mendapat upah. Dia memilih melakukan semua itu daripada meneruskan jejak ayahnya ini. Benar-benar seorang pejuang."

Hansa mendengarkan dengan seksama.

"Tapi seorang pejuang pun juga memiliki hati, Hansa. Anak saya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kamu tahu sebabnya. Ayah disini mau berpesan, jaga dia baik-baik, jangan mengecewakannya, selalu mendukung karirnya, baginya bermain peran itu telah menjadi sebagian jiwanya. Saya mengawasi kamu Hansa." Theodorus menekankan kalimat terakhir. 

Theodorus tidak bisa tidur dengan tenang sebelum dia yakin anak-anaknya bahagia dengan jalan yang mereka pilih masing-masing. 

Hansa menahan diri untuk tidak menangis setelah mendengar perkataan ayah mertuanya. Dia senang, sangat senang dan bersyukur Rhea memiliki keluarga yang benar-benar peduli padanya. 

Disisi lain, Christina membawa Rhea menuju lantai dua. Menuju kamar Rhea meski dalam beberapa tahun kamar itu jarang dihuni pemiliknya karena Rhea lebih suka tinggal di apartemennya sendiri.

Rhea merasakan nostalgia dan kehangatan saat melihat ruangan bercat biru yang telah sangat dikenalnya. 

"Aku mengepak barang-barangmu di koper ini kemarin." Christina menunjuk koper hitam di sisi pintu. 

"Bu?" Tanya Rhea ketika ibunya mendudukkannya di pinggir kasur. Dia tahu gelagat ini, ibunya akan memulai ceramahnya.

"Hansa itu laki-laki baik." 

Rhea mendengus ketika mendengar nama suaminya disebut. Akibatnya, ibunya menatapnya tajam dan Rhea memutuskan untuk diam agar dialog ini berakhir dengan cepat.

"Ibu tahu kamu masih patah hati karena si Rangga itu."

"Bu?!" Rhea memperingatkan. Setiap nama pria itu disebut Rhea langsung teringat semua hal-hal manis tentangnya dan itu membuatnya semakin sakit ketika berakhir dengan dia menyelingkuhinya. Untuk saat ini, nama itu terlarang untuk disebut-sebut didepannya.

"Tapi beri Hansa kesempatan ya?" Pinta Christina. Dia memegang kedua tangan Rhea. Sebenarnya dia tidak tega melihat anaknya terpuruk seperti ini. 

Rhea memalingkan muka, tidak mau menjawab.

"Aku tahu kamu takut memulai kembali, takut mencinta-"

"Ibu sudah tahu alasannya." Sela Rhea pada akhirnya. "Bu, Aku nggak sanggup mencintai orang lagi, bu." Terangnya nelangsa. 

Rhea menangis didepan ibunya. Christina segera mendekapnya.

"Kasih dia kesempatan, Rhe. Dia tidak akan menyakitimu." Ia meminta. Ini semua demi kebahagiaan anaknya. Rhea kemarin memilih pria yang salah sebagai tempat hatinya berlabuh. "Atau kalau dia berani, ibu sendiri yang akan membunuhnya." Lanjutnya.

Senyum kecil tersungging di bibir Rhea. "Seolah ibu berani membunuh orang." 

"Ibu berani Rhaenira. Ibu berani melakukan apapun demi kamu dan Edward."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status