Lelaki itu masih terus membawa Cinta dan meninggalkan bandara. Ini tidak bisa aku biarkan. Siapa dia? Lalu kenapa dia membawanya?
Dalam pikiranku berkecamuk, tentang apa yang harus aku lakukan. Pertama-tama, aku harus kabur dari para penjaga bandara yang menuduhku menculik istriku sendiri. Aku membutuhkan ponsel untuk menghubungi Rahman.
“Pak, I need ponsel,” kataku membuat dia menggeleng. “No!” jawabnya singkat.
Wadew, bagaimana ini? Aku harus melarikan diri secepatnya. Pandanganku mengarah ke kanan dan kiri. Mereka masih memakan burger. Aku menelan saliva. Rasanya lapar sekali. Aku selama perjalanan hanya memakan makanan pesawat. Aku masih sangat lapar. Bagaimana tidak, lempengan perut rataku ini sangat panjang. Pasti aku akan cepat lapar. Jadi kangen masakan Ibu di rumah. Sayur asem sambal pete ikan asin. Duh, kriuk!
Aku terus memutar otak, mencari cara cepat kabur. Aku ini cerdas. Pasti akan bisa melakukan apapun juga. Agus &he
Aku masih mendengar suaranya. Bayangan itu persis seperti Cinta. Dia sangat aku rindukan. Bayangannya selalu saja membuatku merana. Kenapa aku sampai hilang ingatan. Semua sudah fatal, dan aku tidak bisa menemukannya. Dia bersama lelaki tidak aku kenal. Dia berada di dalam dekapannya. Aku tidak bisa melakukan apapun. Sekarang aku sebaiknya pasrah saja.“Agus …”Aku menundukkan kepala. Masih memikirkan Cinta. Dia, bayangan di hadapanku ini mirip dengannya. Kepalaku selalu terisi dengan dirinya. “Plak!” Bahkan pipiku terasa tamparannya. Aku semakin gila. Pikiranku tidak waras.Kedua pipiku merasa dia pegang dengan kedua tangannya. Bibirnya menghangatkan bibirku. Sejenak aku memejam menikmati kenyamanan ini. Seakan hidupku melayang.“Plak!”Tamparan itu kembali aku rasakan. Sudah! Aku tidak waras. Aku sepertinya pingsan di bawah pohon ini terus tidak bernyawa hingga melihat sosok Cinta di hadapanku. Bahkan be
Cinta melucutiku, membuka semua bajuku. Dia menarikku, masuk ke dalam kamar mandi. “Masuk dang anti baju, cepat!” Cinta memberikan baju yang ternyata sudah disiapkan pihak hotel kepadaku. “Cinta, dari mana baju ini?” tanyaku sembari dengan cepat memakainya.“Aku tadi di taxi segera meminta untuk menyiapkan. Aku ada teman disini. Dia dengan cepat mengirimkannya. Pihak hotel memasukkan ke dalam kamar. Jelas? Tanya saja,” ucapnya kesal melihatku cerewet.“Sudah pakai baju. Lalu kita mau ke mana?” Cinta menunjukkan atap. Aku mendongakkan kepalaku ke atas. “Kita akan melewati sana?” Cinta menggelengkan kepalanya. Aku semakin tidak mengerti. “Cinta, lalu kita ke mana?”Cinta menarikku kencang. Sepertinya aku baik-baik saja. Kita bersatu kembali jiwa. Raga … belum sih. Tunggu waktu yang tepat.“Agus, kita akan membuka atap. Biar semua orang mengira kita lewat atas. Nah, kita ber
Aku semakin melotot melihatnya. Taxi itu terlalu kencang. Semua satpam berdiri seakan shock melihatnya hingga membuat mereka malah tidak bisa bergerak.“Pergi!” teriakku sembari memegang kepala.“Go away!” Ben mengulurkan tangannya menambah teriakan. “Arrrrghh!” teriak Rahman melengking kayak mbak kunti saja.“Brak!”Kami semua menutup kedua mata. Aku berpelukan dengan Ben, sementara Rahman berpelukan dengan … Kurang ajar!“Man, kamu mau ta makan? Tak iris sampai kecil, terus tak masukin ke tusuk sate, ta bakar, kunyah lembut!”Rahman melepaskan Cinta yang kini berada di dalam dekapanku. Dia tanpa sengaja memeluk Cinta. Memang cari gara-gara saja!Ben menunjukkan jarinya ke arah pintu dengan wajah pucat. Wajahnya semakin putih kayak anak kecil yang mau berangkat sekolah pakai bedak tebelnya minta ampun. Tapi perasaanku tidak enak, dan aku ikut menatap ke arah yang ditu
Aku melihat Rahman dan Ben berlari kayak dikejar dedemit. Kenapa ya ama mereka?“Kabur!” teriak mereka lari terbirit-birit. Aku melotot melihat Leo dan pengawalnya mengejar bersama kedua anjing besar, siap menggigit belalaiku! Kabur!Aku segera berlari. Kita bertiga lari kencang. Namun napasku sudah tidak kuat. Hingga aku berpikir harus berbuat sesuatu untuk mengatasi hal ini. Jika tidak, bisa-bisa aku mati di tempat gak bisa napas.“Pagar, iya! Itu ada pagar!” Lebih baik aku menaikinya untuk menghindar dari 2 anjing yang sudah menjulurkan lidahnya, siap untuk memakan asetku yang sangat seksi di belakang.“Guys kita naik pagar! Biar mereka tidak bisa mengejar kita,” teriakku kencang membuat Rahman dan Ben menoleh sesaat lalu mengikutiku.“Kenapa sih sial begini, siang-siang mau beli minuman malah dikejar anjing? Dasar Leo tidak tahu diri,” gerutu Rahman. Ben mengikuti di sebelahnya Dia sangat berkerin
Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Leo. Dia tersenyum menatap Cinta yang diam hanya melirikku. Cinta dengan santai mengambil semua botol yang sudah terisi air. Dia menghintungnya dengan teliti.“Agus, aku memiliki segalanya. Kau tidak bisa bersaing denganku. Semua bisa aku berikan kepada Cinta. Dia mengatakan iya, saat aku melamarnya. Pengacaraku akan mengatur surat perceraian denganmu.”“Opo?”Ini tidak bisa aku biarkan. Aku mendekati Cinta yang masih saja memasukkan botol air di dalam ransel. Mungkin Leo yang memberikannya. Namun aku mengernyit menatap Cinta. Dia sepertinya menyimpan sesuatu. Wajah itu sangat aku hafal.“Cinta, honey. Bagaimana, apa kau sudah puas mengambil air itu? Kita akan pergi untuk menemui Mami aku. Semua pernikahan megah akan secepatnya kita lakukan,” katanya membuatku bengek.“Kamu awas ya. Kalau akan menikahi Cinta, ta rusak semua acara kamu.” Aku mengancamnya, mem
Aku tidak percaya melihat Cinta sudah keluar dari toilet tanpa ketahuan.“Agus, jangan berisik. Ayo keluar, lompatlah dari sana! Aku saja bisa melakukan, masa kamu tidak bisa?’“Hah? Jadi kamu juga melompat dari jendela setinggi ini? Tidak aku percaya ternyata memiliki istri yang benar-benar kayak Wonder Woman.”“Sudah jangan banyak ngomong, cepat waktu kita itu tinggal sedikit.”“Iyo! Tunggu aku! sebentar lagi aku turun.”Aku mulai masuk ke dalam jendela yang kira-kira hanya sekotak saja. Semoga tubuhku tidak tersangkut di dalamnya. Sementara kedua pengawal itu sudah mulai mendobrak pintu toilet. Mereka sepertinya tahu jika aku ini akan kabur. Wes, tidak aku hiraukan saja mereka. Yang penting aku sekarang terbebas dari semua ini, pulang ke Yogyakarta, lalu menyelesaikan kewajiban semua acara yang harus aku lakukan demi si kembar.“Cinta! Kamu pegang tangan aku, nanti tarik ya!”
Semua aparat kepolisian yang ada di kantor sangat kebingungan. Mereka tidak berani membuka pintu ruangan. Salah satu polisi saling berbisik dan memegang kepala. Mereka berbicara menggunakan bahasa asing yang aku tidak mengerti artinya.“Agus itu kenapa ya, kok pada ribut? Sepertinya terjadi sesuatu loh, di dalam. Kita ini diam saja, apa harus membantu mereka?” Rahman menatapku dengan sangat serius. Sementara Ben menganggukkan kepalanya dengan cepat. Aku sendiri sangat kebingungan, apa yang harus kulakukan. Hingga kuputuskan untuk berdiri dan mendekati mereka.“Agus kamu mau kemana?” Rahman menarik lenganku saat aku akan melangkah.“Ya, aku ke sana, ngintip. Gimana sih kamu itu? Katanya disuruh menanyakan. Siapa tahu mereka butuh bantuan, lalu berbaik hati sama kita.”“Kamu bener juga, Agus. Kita ke sana, lalu ikut membantu. Siapa tahu kita dibebaskan.”“Yes! That's good idea. Kalian berdua ini s
Tidak aku percaya Cinta datang? Padahal dia, kan, tadi ama si Leo? Kok bisa?“Cinta, kok kamu ada di sini? tanyaku segera mendorong wanita ini agar melepaskan tubuhnya yang masih memelukku. Namun … sepertinya terlambat …“Argh! Plak!”Cinta menariknya, mendorong sampai tersungkur, lalu menamparnya. Sungguh menyeramkan. Istriku kalau marah kayak singa. Menakutkan. Tapi aku suka. Hihi. Apalagi galak gitu di ranjang. Sampai cakar-cakar. Jadi sedep-sedep enak. Heheh.“Agus!”Lamunanku buyar melihat Cinta mendorong tubuhku. Untung saja aku kuat, jadi tidak tersungkur. Bau tubuhnya sangat harum sampai menusuk hidungku. Rasanya aku bahagia bisa melihatnya kembali. Tapi, bagaimana dia bisa lepas dari Leo? Weslah, tidak akan aku pikirkan. Yang terpenting sekarang aku bisa bersamanya.“Cinta, dia itu tiba-tiba datang, dan langsung memelukku. Aku tidak tahu. Itu tiba-tiba saja,” kataku membuat Cin