Share

Bayi Mungil

Bi Tina dan Gion masih menunggu di depan ruang bersalin, dan tidak lama tampak seorang perawat menghampiri mereka.

"Tuan, Nyonya Liana sudah sadar. Sekarang akan dipindahkan ke kamar, mari ikuti saya," jelas perawat tersebut seraya membalikkan badan dan berjalan mendahului Gion dan Bi Tina.

“Baik, terima kasih,” jawab Gion sambil mengekor di belakang perawat tersebut.

Dua perawat yang sudah bersiap di sisi kanan dan kiri mengangguk saat mereka mendapat isyarat untuk mendorong ranjang Liana keluar dari kamar, wanita itu terlihat masih lemas akibat pengaruh obat bius. Gion menyunggingkan sebuah senyuman saat pertama kali masuk ke dalam ruangan tersebut, Ia merasa sangat lega karena istri dan bayinya baik-baik saja. Ia pun segera mengikuti para perawat-perawat itu, tanpa mengucap sepatah kata.

Sebuah kamar kelas VIP yang bertuliskan Graha Anggrek menjadi ruangan Liana saat ini. Pintu kamar terbuka lebar agar ranjang dorong bisa masuk keseluruhan.

Dengan perlahan mereka melangkah masuk, Gion mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Terdapat satu buah lemari es berwarna silver berukuran sedang, sebuah televisi berukuran tiga puluh dua inch dan tiga buah sofa berukuran sedang. Sebuah kamar VIP yang berukuran cukup luas dan terkesan seperti kamar hotel yang cukup nyaman. Ia memang sengaja memilih kamar tersebut, agar sang istri bisa istirahat layaknya di rumah sendiri.

Beberapa perawat yang mengantar Liana ke kamar tampak berpamitan untuk meninggalkan kamar tersebut, Gion mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Setelah kepergian para perawat itu, Gion berjalan mendekati Liana yang masih terbaring lemah di ranjang.

“Apa kamu haus, sayang?” tanya Gion sambil membelai rambut Liana.

Liana hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara, ia segera meraih gelas yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Mengambil segelas air putih dan sedotan karena Liana masih harus minum dengan keadaan berbaring.

“Sayang, anak kita sangat menggemaskan. Dia sangat cantik persis sepertimu.” Gion mencoba mencairkan suasana sembari menuang minuman ke dalam gelas kaca tersebut, tetapi Liana malah memalingkan wajah seolah tidak ingin mendengar apa-apa tentang anak yang baru saja dilahirkannya.

“Kamu mau melihatnya, aku akan menyuruh perawat untuk membawanya kesini!” ucap Gion penuh semangat seraya mengangsurkan gelas pada Bi Tina untuk membantu Liana minum.

Namun, suasana yang semula hening. Tiba-tiba terasa menyesakkan karena ucapan tegas Liana.

“Aku tak ingin melihatnya!” seru Liana cepat. Ia bahkan tidak mengindahkan gelas yang diarahkan kepadanya oleh Bi Tina.

“Sayang!”

Gion mengambil alih gelas yang berada di tangan Bi Tina. Lalu kembali mendekati Liana yang masih enggan menatapnya, ia dengan sabar membelai lembut tangan sang istri.

“Jangan seperti ini, sayang,” ucap lirih Gion seraya duduk di ranjang tepat sebelah Liana.

“Aku benar-benar tak ingin melihat anak itu, jauhkan dia dariku!” Liana tetap bersikeras, napasnya tampak memburu karena menahan kesal.

Gion mengembuskan napas berat, Ia bergeming sambil menatap lekat-lekat istrinya yang masih memalingkan wajah darinya.

“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Liana. Dia darah dagingmu. Kamu menghukumnya atas keegoisanmu sendiri,” gumam Gion dalam hati.

Tok... Tok... Tok....

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Gion. Seorang perawat datang dengan membawa tempat tidur bayi, perawat itu mendorong Infant bed masuk ke dalam kamar.

Dengan perlahan perawat itu menggendong bayi mungil nan cantik untuk mendekati ibunya.

“Nyonya silahkan susui adik bayinya!” perintah perawat itu. Ia tampak sangat berhati-hati menyerahkan bayi itu kepada sang ibunda.

Namun, penolakan Liana kembali terjadi. Kali ini lebih keras dan tanpa tedeng aling-aling.

"AKU SUDAH BILANG, AKU TIDAK MAU MELIHAT BAYI ITU. KENAPA KALIAN MEMAKSAKU. SUNGGUH, AKU SANGAT MEMBENCI ANAK ITU!" teriak Liana, suaranya memenuhi seisi ruangan kamarnya. Tatapannya tajam memandang perawat yang sedang menggendong bayinya.

Perawat itu tampak sangat terkejut dengan reaksi Liana, ia langsung terdiam mematung .

Gion yang merasa reaksi istrinya keterlaluan segera mengambil alih bayinya dari si perawat.

“Maafkan istri saya, biar saya saja yang menggendongnya. Nanti akan saya coba untuk membujuknya,” ucap Gion mencoba menguasai situasi yang terasa canggung bagi perawat tersebut.

“Baik, Tuan!”

Liana menoleh ke arah Gion dengan tatapan dingin, raut wajahnya menunjukkan rasa kesal.

Bi Tina sedari tadi hanya bisa mengusap air matanya yang berulang kali membasahi pipinya, ia berinisiatif untuk menggendong bayi majikannya.

“Tuan, biar saya saja yang menggendongnya,” pinta Bi Tina.

Gion menyerahkan bayinya pada Bi Tina. Wanita itu sejenak memandang bayi yang sekarang sudah dalam dekapannya dengan tatapan iba, air mata Bi Tina tidak bisa berhenti keluar dari kedua sudut matanya.

Kamu sangat cantik, Nak, semoga kebahagiaan selalu mengelilingimu, gumam Bi Tina dalam hati. Ia lalu membelai lembut pipi kemerahan si bayi.

Sementara itu, perawat rumah sakit tersebut memilih segera pamit keluar dengan perasaan yang masih tidak percaya dengan sikap yang ditunjukkan Liana.

“Sungguh bayi yang malang, padahal bayi itu sangat cantik dan menggemaskan. Tapi kenapa ibunya sendiri tak mau melihat bayi itu,” gumam perawat tersebut. Ia hanya menggeleng dan segera berlalu pergi meninggalkan kamar tempat Liana di rawat.

🍁🍁🍁

Suara tangis bayi mungil yang berada di gendongan Bi Tina semakin memekakkan telinga Liana, wanita yang baru beberapa jam melahirkan itu tampak begitu geram dengan suara tangis bayinya.?

“Bawa pergi bayi itu dari sini, Bi. Suaranya benar-benar membuatku pusing dan tak bisa tidur,” teriak Liana dengan wajah memerah karena menahan amarahnya.

Bi Tina yang berdiri sambil mendekap bayi itu tampak panik, pasalnya Gio masih keluar untuk membelikan susu formula untuk bayinya.

Tangisan bayi yang semakin kencang, akhirnya menarik perhatian seorang Dokter yang tidak sengaja lewat di depan kamar Liana.

Seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun yang merupakan Dokter bedah senior di Rumah Sakit tersebut memilih untuk mengetuk kamar tempat Liana dirawat.

Bi Tina yang mendengar ketukan pintu tersebut segera membuka pintu dengan satu tangannya dan satu tangannya lagi masih mendekap bayi Liana yang masih menangis kencang.

“Oh iya, Dok, silahkan masuk!” ucap Bi Tina yang mengira Dokter tersebut adalah Dokter yang sedang berkunjung.

Dokter Yusuf terpampang jelas dalam name tag yang menempel di jas putih Dokter tersebut.

“Terima kasih!” ucap Dokter Yusuf. Dokter yang sangat berwibawa pembawaannya itu membuat Bi Tina sedikit canggung.

Pandangan Dokter Yusuf langsung terpusat pada Liana yang kini tengah berbaring malas di atas ranjang, wanita itu tampak tak menggubris kedatangan Dokter senior di Rumah Sakit tempatnya di rawat saat ini.

"Nyonya, bayi anda sedang menangis. Kenapa anda tidak memberinya ASI?" tanya Dokter Yusuf seraya menautkan kedua alisnya.

Liana memutar bola matanya malas, ia merasa kenapa semua orang tidak ada yang mengerti perasaannya. Ia bahkan tidak menginginkan bayi itu sebelumnya, kenapa malah membuat semua orang repot mengurusinya.

“Kenapa Dokter begitu peduli? Bayi itu bahkan tidak ada hubungannya dengan Dokter, 'kan? Kenapa anda yang repot?”

Dokter Yusuf tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, pria paruh baya itu tampak kasihan melihat bayi mungil tersebut.

“Anda seorang Ibu, bahkan Ibu kandung dari bayi ini! Kenapa anda dengan mudahnya mengabaikan bayi tak berdosa ini!” hardik Dokter Yusuf dengan pandangan tidak senang menatap Liana.

Gion yang baru saja datang, tampak terkesiap karena mendengar seorang pria tampak berkata dengan nada tegas kepada istrinya.

Pria yang kini memiliki tiga orang putra putri itu tampak mengerti situasi yang terjadi, Ia segera menengahi agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak ia inginkan.

“Dokter, saya mohon maaf atas sikap istri saya!” ucap Gion seraya menunduk kepada Dokter Yusuf.

Dokter tersebut mengalihkan pandangannya, menatap Gion dengan seksama.

“Tuan, tolong beritahu istri anda. Agar memberikan ASI kepada bayi anda, kasihan dia. Seorang Ibu harusnya bisa lebih bijak dalam bersikap!” desis Dokter Yusuf sembari melempar pandangannya menatap Liana dengan tatapan yang sulit diartkma

Gion mengangguk. “Iya, Dok, saya minta maaf atas sikap istri saya.”

“Saya maklum untuk saat ini, tapi untuk ke depannya saya mohon jangan bersikap seperti ini, Nyonya. Baiklah, saya permisi dulu kalau begitu!” pamit Dokter Yusuf dan segera meninggalkan ruangan.

Setelah kepergian Dokter Yusuf, Gion meminta kepada Liana untuk memberi ASI kepada bayinya. Namun, wanita itu tetap bersikeras tidak ingin menyusui bayinya, bahkan untuk menyentuhnya pun Ia enggan.

Gion hanya bisa mengesah kasar, melihat sikap sang istri. Ia bahkan tidak tahu, apa yang harus Ia lakukan untuk menghadapi wanita yang sangat Ia cintai itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status