Share

Kenangan Rani

Tujuh belas tahun kemudian, Rani telah beranjak remaja. Kini Rani sudah duduk di bangku SMA. Ia tumbuh menjadi gadis yang pintar dan cantik, tetapi itu semua sama sekali tidak berpengaruh untuk Maminya. Kebencian Liana yang tidak beralasan kepadanya masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, saat ia hadir dalam rahim Maminya.

Wanita itu masih belum menerima kehadiran anak kandungnya sendiri, sikap tidak acuhnya pun seperti sudah menjadi makanan sehari-hari untuk putri bungsunya.

Bibi Tina dengan tulus selalu mengingatkan Rani untuk selalu patuh dan tidak membantah kepada kedua orang tuanya, Bi Tina juga selalu mendukung setiap aktifitas yang dilakukannya. Meskipun Rani besar tanpa kasih sayang dari ibu kandungnya, tetapi ia bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Walaupun sedikit tertutup, tapi hatinya selalu terbuka untuk melakukan kebaikan pada orang lain.

Pernah suatu hari Rani bertanya kepada Bi Tina, kenapa ia tidak dicintai oleh ibu kandungnya seperti kedua kakaknya, Vino dan Kinara.

Dua belas tahun yang lalu

Ketika Rani berusia lima tahun, Rani sudah sangat pintar bicara. Ia pintar merangkai kata layaknya orang dewasa, ia juga pintar mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Bi Tina dan Papinya kebingungan untuk menjawab.

Suatu hari, pada Minggu sore

Liana mengajak jalan-jalan Kinara ke mall. Mereka hanya pergi berdua saja, Rani yang melihat hal itu merasa sedih. Gadis kecil itu terlihat duduk murung di sudut rumahnya yang berada tidak jauh dari dapur, Gion yang melihat anak bungsunya duduk seorang diri segera menghampirinya.

“Rani, sayang ... anak papa yang cantik. Kenapa kamu murung disini, sayang?” tanya Gion sambil mengelus rambut sebahu putrinya.

Rani tetap bergeming, gadis kecil itu memeluk kakinya dan menyandarkan pipinya pada kedua lututnya.

“Sayang ... kok diam, cerita dong ke papi. Kamu kenapa?” Gion mencoba merayu Rani agar mau bicara.

Gadis kecil itu mengangkat kepalanya, melihat ke arah papinya dengan mata berkaca-kaca.

“Papi ... kenapa ya Mami nggak pernah suka sama Rani, Rani salah apa ya Pi sama Mami?” ucapnya lirih dengan bibir gemetar karena menahan tangis.

Hati Gion berdenyut nyeri, terasa begitu menyesakkan. Pria itu masih terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat untuk anak bungsunya.

Suasana kembali menjadi hening, sampai akhirnya Gion angkat bicara.

“Sayang ... siapa bilang mami tidak sayang sama Rani. Mami sayang kok sama Rani.”

Pria itu tampak meluruskan kakinya, ia duduk di dekat Rani dan melingkarkan tangannya di pundak kecil putrinya.

“Mami nggak sayang sama Rani, itu yang terjadi, Pi ....” Rani menundukkan kepalanya, air matanya sudah tidak terbendung lagi.

Dengan terisak gadis kecil itu mengerjap-kerjapkan matanya dan mencoba tersenyum menatap papinya.

“Kalau mami sayang sama Rani, mami pasti mau bicara sama Rani, mami pasti mau peluk Rani,” imbuhnya dengan suara lirih.

Hati Gion terasa hancur, putri kecilnya sudah pandai bicara. Dia bahkan bisa mengungkapkan perasaannya dengan lancar lewat mulut mungilnya. Pria itu mendongakkan kepalanya agar air mata yang sudah penuh di ujung kedua matanya tidak sampai jatuh.

“Papi, kenapa ....?” tanya Rani yang kini mulai mencemaskan keadaan Papinya karena melihat gelagat aneh pria yang sangat menyayanginya itu.

Gion segera meraup wajahnya dengan kasar, lalu menatap putri kecilnya.

“Papi tak apa-apa, sayang ... kamu jangan sedih lagi ya, 'kan ada papi disini!” sahutnya.

Gion melingkarkan kedua tangannya di tubuh kecil Rani. Memeluk erat dan menggoyang-goyangkan secara pelan tubuh gadis kecil itu, Rani terkekeh dalam pelukan Papinya.

Bi Tina yang sedari tadi mengawasi Rani dan Gion hanya bisa memegang dadanya yang terasa sesak dan sesekali menyeka air matanya yang sudah membanjiri pelupuk matanya.

“Papi sayang, Rani, 'kan ...? Papi tak akan membenci, Rani, 'kan ....?” bibir mungil itu terus mencecar Papinya.

Bibi Tina yang masih menyaksikan adegan mengharukan itu, akhirnya tidak kuat melihatnya. Ia memilih untuk pergi ke kamarnya, tidak sanggup mendengar rentetan pertanyaan yang sudah menunggu untuk dikeluarkan dari isi kepala si gadis mungil itu.

Bibi Tina terisak di dalam kamarnya, ia mencengkeram tangannya sendiri. Dadanya terasa sesak sekali melihat Rani protes kepada Papinya.

Sejak saat itu, Rani tidak pernah lagi menanyakan kenapa maminya tidak menyayanginya. Gadis kecil itu selalu mengingat kalimat Papinya, bahwa maminya menyayanginya sama halnya seperti sayang mami pada kedua kakaknya, hanya saja dengan cara yang berbeda.

Rani yang masih terlalu kecil untuk memahami tentang arti kehidupan, dipaksa untuk mengerti kondisi yang terjadi dalam hidupnya.

🍁🍁🍁

Sore itu Rani sedang berada di halaman belakang rumahnya, ia berada dekat kolam renang. Tempat favorit kedua setelah kamarnya. Seperti biasa gadis itu duduk di tepi kolam dengan kaki yang sudah terendam air, ia menggoyang-goyangkan kakinya dan sesekali meninggikan gerakan kakinya.

Terdengar suara riuh di ruang tamu, sahabat Papi dan Maminya sedang berkunjung kerumahnya. Kinara yang sedang asyik membaca novel kesayangannya di ruang keluarga merasa terganggu dengan suara tawa Papi dan sahabat Papinya, Kinara beralih duduk di kursi yang berada di samping kolam.

Melihat kedatangan kakaknya, Rani segera menoleh ke arah Kinara.

“Kakak tidak ada jadwal pemotretan hari ini?” tanya Rani basa basi.

“Hmm ... Tidak ada,” jawab Kinara singkat.

Kinara adalah seorang selebgram terkenal, ia juga sering menjadi model iklan untuk produk-produk lokal maupun brand yang cukup terkenal di Indonesia. Wajahnya yang cantik dan kulit yang putih bersih, membuatnyat idak sulit untuk famous.

Kinara dan Rani tidak cukup dekat, mereka bertegur sapa jika memang benar-benar perlu sesuatu. Tetapi walaupun begitu Kinara tidak sedingin sikap maminya terhadapnya, hanya saja Kinara orang yang sangat cuek. Bukan hanya kepada Rani, tetapi kepada seluruh anggota keluarga kecuali dengan maminya.

“Boleh aku ikut gabung?” suara seorang pria seketika membuat Kinara dan Rani terkesiap.

Kedua gadis itu refleks menoleh pada laki-laki tersebut, yang tak lain adalah Baska anak sahabat Papinya. Baska juga merupakan sahabat Vino kakak dari mereka berdua.

Tidak menunggu jawaban persetujuan dari kedua kakak beradik itu, Baska segera melipat celananya hingga sampai lutut dan duduk di sebelah Rani. Perlahan kakinya di masukkan ke dalam kolam yang berukuran besar itu.

Rani merasa tidak nyaman dengan kehadiran Baska, meskipun ini bukan pertama kalinya mereka bertemu. Tetapi Rani masih menutup diri untuk sekedar basa basi dengan Baska.

“Aku bosan duduk dengan para orang tua, obrolan mereka sama sekali nggak asyik.” Baska mencoba mengakrabkan diri dengan Rani, tetapi gadis itu hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Baska.

“Kenapa ya ...? Obrolan orang tua kalau nggak masalah pekerjaan ya masalah anak ... Memang tidak ada ob—”

“Hoy ... bisa diam nggak sih, aku lagi fokus baca nih,” potong Kinara kesal.

Kinara merasa ketenangannya terusik untuk kedua kali, ia memilih beranjak dari kursinya dan berjalan ke kamarnya dengan menatap Baska kesal.

“Ups ... sorry,” ucap Baska seraya menatap kepergian Kinara.

“Apa dia selalu begitu?” tanya Baska sambil menunjuk ke arah Kinara yang sudah berlalu. Rani hanya mengedikkan bahunya sambil tersenyum simpul.

Gadis itu mengangkat kedua kakinya dan menekuknya hingga kini ia telah berdiri di pinggir kolam. Baska terus mengawasi setiap gerakan Rani hingga kepalanya mendongak ke atas karena mengikuti gerak tubuh gadis itu.

“Mau kemana?” tanya Baska yang seolah tidak rela ditinggal sendirian dipinggir kolam.

“Masuk kamar, kemana lagi?” jawab Rani singkat.

“Ah ... kamu sama saja dengan kakakmu, nggak asyik,” celetuk Baska dengan nada kesal.

Rani hanya tersenyum mendengar kalimat Baska, ia tetap berjalan meninggalkan sahabat kakaknya yang kini duduk sendirian di pinggir kolam.

Baska tidak kehabisan ide, ia segera menelepon sahabatnya yang tidak lain adalah Vino untuk menemaninya. Ia sudah mengetahui bahwa sahabatnya sudah pulang tiga hari yang lalu dari Melbourne, tempat Vino menimba ilmu.

“Halo ... iya Bas, ada apa?” Vino menyahuti dari sebrang sana.

“Vin, temenin gue dong!” pinta Baska dengan suara memelas.

“Ck ... Lo ganggu orang tidur aja, Bas, emang lo lagi di mana sekarang?” tanya Vino dengan suara malas.

“Di rumah lo!” ucapnya datar.

“Kenapa nggak langsung masuk kamar aja si, Bas, lo nggak tau apa kalau gue lagi males keluar kamar!” seru Vino sedikit kesal pada sahabatnya tersebut.

“Dasar lo ... sama aja sama adek-adek lo, nggak ada hormat-hormatnya sama sekali sama tamu,” tukas Baska seraya menutup telepon Vino dengan kesal.

🍁🍁🍁

Tidak berapa lama, Vino keluar menghampiri sahabatnya.

“Udah lama lo, Bas?” sapa Vino sambil menepuk bahu Baska dari samping.

“Iya, udah dari seabad yang lalu,” jawab Baska ketus.

Vino hanya tertawa menanggapi laki-laki yang sudah ia kenal dari umur tujuh tahun itu. Mereka berdua kemudian larut dalam obrolan seputar laki-laki dan bercerita tentang pengalaman Vino di Melbourne.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status