Share

02.Aira's

"Bukan orang lain saja yang bisa dibanggakan, aku juga."

Aira

***

SMA Nusa Bakti. Dikenal dengan pendidikannya yang bagus dan pengajaran yang sangat extra. Tak heran alumni sekolah ini banyak yang menyandang gelar sarjana dengan beasiswa kuliah di luar kota bahkan negeri.

Penghuni SMA ini adalah manusia pintar dan jenius nan ambisius. Walau ambis, tapi tidak memiliki suasana tegang. Mereka tetap sama seperti anak sekolah pada umumnya. Bermain saat jam istirahat, jajan, bahkan bersikap konyol. 

Aku sendiri bingung dengan suasana sekolah ini. Pasalnya mereka semua anak-anak pintar sedangkan aku bodoh.

Lalu siapa yang harus ku ajak kenalan lebih dulu. "Bingung!"

Masa orientasi sekolah ini seperti penjara bagiku. Semuanya serba diatur osis, bahkan makan, jajan, dan bersikap pun mereka atur sedemikian rupa. Makanya tak aneh jika anak-anak di sini memiliki jiwa konsisten yang tinggi.

Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan tersenyum simpul ke arah dia. "Indro!" Dia sahabatku sejak kecil dengan sikap dan otak yang jauh berbeda.

Indro itu gendut, berkacamata, perutnya buncit. Tapi tampan menurut aku.

"Kenapa dilihat doang? Gak diajak kenalan?" tanya Indro heran.

Aku mengangkat bahu acuh. "Aku takut gak bisa beradaptasi sama mereka. Kamu juga tau aku ini bodoh dalam hal apapun," ucapku sambil duduk di bangku sekolah.

Indro ikut duduk bersama. "Kata siapa kamu bodoh? Kamu itu pintar cuma … pasion kamu belum ketemu," ucap Indro yang tidak akan jauh dari perkataan sebelumnya.

"Kenapa kamu selalu ngomong gitu?"

Indro malah mengangkat bahu acuh. "Gak tau? Tapi menurut aku kamu memang belum menemukan jati diri kamu sendiri. Kamu masih mengikuti apa kata orang lain," katanya.

Aku menatap Indro. "Selama ini aku selalu mengikuti apa kata ayah sama ibu. Mereka, kan, bukan orang lain?" Kalian, kan, tau aku ini telat dalam berpikir. Makanya saat Indro berbicara seperti itu otak ini malah beku.

Indro memejamkan matanya sebentar. "Mereka jelas bukan orang lain. Tapi maksud aku itu … kamu harus ikuti apa kata hati kamu sendiri bukan orang tua apalagi orang lain." Aku baru mengerti sekarang.

Aku memandang ke arah lain. "Dari dulu kamu, kan, tau. Ayah sama ibu selalu memaksa aku untuk jadi anak pintar seperti kak Ayu dan kak Andi. Tapi aku tetap gak bisa, In," ucapku sendu.

Ekspresi wajah Indro seperti tau apa yang sedang aku rasakan. "Tapi apa kamu bahagia?" tanya Indro.

Aku spontan menoleh dan menggeleng lirih. "Siapa yang akan bahagia jika setiap hari selalu dibandingkan dengan kakak sendiri, In!"

Indro menepuk bahuku. "Sebenarnya orang tua kamu terlalu ambis. Ditambah dengan profesi mereka yang selalu dituntut konsisten dalam hal belajar," jelas Indro.

"Setiap orang menurut aku punya bakatnya masing-masing, Ra. Mungkin aku pintar di bidang akademik. Tapi aku bodoh dalam bidang non akademik, Ra. Kesimpulannya setiap orang itu punya pasionnya masing-masing."

Aku masih tak habis pikir pada Indro. Mengapa dia selalu menyangkal bahwa aku ini bukan bodoh, hanya saja aku belum menemukan jati diri.

Apa mungkin itu memang benar?

Hampir setiap hari aku selalu mendengar kata 'bodoh' terlontar lancar dari mulut ayah dan ibu. Mereka seakan menganggap aku ini salah satu baterai yang habis di antara empat baterai yang masih memiliki daya maksimal. Jika satu jari terputus keindahan itu akan hilang.

Indro pun hanya mampu tersenyum simpul saat melihat aku meneteskan air mata. Aku ini hidup di lingkungan bebas namun terperangkap di dalam ruang hampa tak terlihat.

"Aira! Aku permisi ke toilet dulu, ya," pamit Indro lantas aku mengangguk.

Indro pergi aku berdiri. Aku berjalan menyusuri ruang hampa ini. Tetesan air mata membasahi setiap langkahku.

"Kapan aku akan menjadi ratu ayah dan ibu?" Lantas lidah ini berucap saat melihat ibu lebih banyak menebar senyum manisnya pada orang lain dibandingkan aku.

Aku melihat name tag ruangan yang baru saja memperlihatkan ibu dan satu orang siswa— ketua osis.

Ruang lab.

Samar-samar percakapan mereka terdengar. "Ridwan! Untuk latihan soal hari ini sudah cukup. Ibu lanjut besok dengan soal yang mungkin lebih banyak keluar di olimpiade bulan depan." Jadi ibu sedang membimbing dia rupanya.

Tapi mengapa saat di rumah, ibu hanya memberi aku soal tanpa memberitahukan maksud dari semua itu.

Aku tersenyum kecut. Aku menunduk lemah-semuanya hampa. Aku tidak punya kebahagiaan sama sekali, bahkan jika belum menyelesaikan soal dari ayah dan ibu belum diperbolehkan untuk makan.

Aku melihat ibu pergi meninggalkan Ridwan. Aku tetap berdiri di tempat sambil memperhatikan mereka. Tak lama kemudian Ridwan melihat keberadaan aku. Dia terkejut bahkan langsung menatap seperti orang yang bersalah.

Kepalaku mengangguk pada Ridwan untuk sekedar menghormati sebagai— ketua osis dan kakak kelas.

Aku melewati Ridwan begitu saja. Hati ini sangat sakit melihat orang lain lebih akrab dengan orang yang seharusnya lebih akrab denganku.

"Sebenarnya aku anak siapa? Berbeda sendiri bahkan selalu dibedakan." Bibir keluh ini terus bergumam sepanjang langkah.

Saat pulang sekolah aku diberi jatah makan sedikit, setelah itu harus mengerjakan soal latihan dari ayah dan ibu. Setelah selesai baru jatah makan kembali normal.

Normal ketika aku berhasil mendapatkan nilai 10. Jika kurang jatah makan juga ikut kurang.

Sepertinya jalan hidupku diatur oleh nilai ulangan, bukan keinginan.

Langkahku berbelok ke dalam perpustakaan. Aku mungkin bisa lebih tenang di tempat hening itu. Hari ini aku ingin membolos, tidak mengikuti kegiatan MOS lagi.

Capek? Iya capek! Aku ingin berhenti berlari dan dikejar. Aku ingin beristirahat dan berjalan sesuai keinginan sendiri.

Mungkin jika aku pintar ayah dan ibu akan memberikan ruang kebebasan sama halnya seperti kak Ayunda dan kak Andika.

Di perpustakaan ini sepi sekali. Hanya ada lima orang termasuk aku. Menyusuri rak-rak buku yang berderet rapi.

Tidak ada buku yang aku sukai. Semua tentang rumus yang tidak aku mengerti. Akhirnya aku hanya bisa berjalan sambil menunduk sampai tragedi pun terjadi.

Aku menabrak seorang siswi— kakak kelas. Terkejut? Pasti! Aku juga langsung mengambil buku yang sudah berjatuhan itu.

"Ya ampun, Kak! Maaf! Saya gak sengaja," pintaku.

Dia malah tersenyum dan mengambil bukunya. "Gak pa-pa, kok. Kamu emang lagi cari buku apa?"

Aku menggeleng. "Enggak, kok. Aku cuma gak tau harus ngapain?" jelasku.

Dia menatap penampilanku dari atas sampai bawah. "Kamu peserta MOS?"

Aku mengangguk ragu dan dia terlihat heran. "Bukannya MOS udah dimulai lagi dari tadi. Tapi kamu masih di sini," ujarnya.

Aku gelagapan dan bingung harus beralasan apa. "Anu … aku gak tau, Kak. Kalo gitu aku permisi." Lebih baik berlari untuk menghindari pertanyaan selanjutnya.

Sudah sedikit lega, namun kembali merasa sesak dari sebelumnya. Saat ingin keluar pintu aku menabrak ibu yang hendak masuk.

Kami saling memandang. "Jadi kamu di sini?" tanya ibu ketus.

"Maaf, Bu!" lirihku sambil menunduk.

Ibu langsung membawa aku ke tempat yang lebih sepi. Ibu mengempaskan tanganku kuat. "Mau jadi apa kamu, Aira?" desis ibu.

Aku tetap menunduk sambil menahan isak tangis.

"Acara MOS belum dimulai karena kamu belum datang. Kamu mau mempermalukan ibu di sini? Hah! Ibu sekolahin kamu di sini supaya otak kamu pintar dan gak bodoh selamanya," ucap ibu sedikit merendahkan nada suaranya.

Akhirnya aku terisak. "Aira cuma pengen istirahat, Bu," jawabku.

Ibu melotot. "Istirahat? Kalo memang kamu ingin istirahat ubah otak kamu jadi pintar." Ibu langsung membawa aku.

"Ikut!" Ibu terus menarik pergelangan tanganku.

"Bu sakit!" ringisku.

"Diam!" Ternyata ibu membawa aku ke tengah lapangan, berdiri di antara peserta MOS dan para Osis.

"Ridwan hukum anak ini! Dia nakal," ucap ibu pada Ridwan— ketua osis.

Ridwan seperti ragu, namun karena ibu ini pembina Osis terpaksa Ridwan menurut. "Baik, Bu!"

Aku menggeleng sambil menangis. "Bu … Aira minta maaf," lirihku.

Ibu malah menghiraukanku. "Ridwan! Wc dekat gudang sudah lama tak dibersihkan. Jadi biar Aira bersihkan sebagai hukuman," perintah ibu yang membuat Ridwan dan anggota Osis lainnya terkejut.

"Tapi Bu … wc itu, kan sudah rusak," ucap Ridwan.

"Rusak karena tak terawat." Aku pasrah, semuanya memang harus seperti ini selamanya.

Ridwan mengangguk sambil melihat aku yang menangis. Aku memalingkan wajah tepat ke arah Indro. Indro menangis melihatku, namun berusaha tersenyum menguatkan.

Mengapa aku dibedakan?

***

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status